Liputan6.com, Jakarta - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengungkap realisasi investasi di Indonesia selama kuartal II-2024. Angkanya mencapai Rp 428,4 triliun dalam kurun waktu April-Juni 2024.
Bahlil mengatakan, angka itu meningkat sebesar 6,7 persen dari kuartal I-2024. Bahkan, lebih tinggi 22,5 persen dari realisasi investasi pada periode yang sama tahun lalu. "Artinya kalau dibandingkan dari kuartal pertama ke kuartal kedua, tumbuh sekitar 6,7 persen tapi kalau di kuartal II dibandingkan dengan kuartal II di tahun 2023 itu tumbuh 22,5 persen," ungkap Bahlil Lahadalia dalam Konferensi Pers Realisasi Investasi Triwulan II dan Semester I 2024, di Kantor BKPM, Jakarta, Senin (29/7/2024).
Advertisement
Dilihat dari persentase sumber dananya, pada periode tersebut, yang paling banyak dikucurkan adalah penanaman modal asing (PMA) dengan nominal mencapai Rp 217,3 triliun. Angka ini naik 6,3 persen dari kuartal sebelumnya dan naik 16,6 persen dari kuartal II-2023. Porsinya mencapai 50,7 persen dari keseluruhan investasi.
Sementara itu, penanaman modal dalam negeri (PMDN) mencapai Rp 211,1 triliun atau naik 7,1 persen dari kuartal I-2024 dan naik 29,1 persen secara tahunan. Porsi PMDN mencapai 49,3 persen.
"Komposisi antara PMA dan PMDN, PMA-nya 50,7 persen, alhamdulillah masih bagus, dan PMDN-nya masih 49,3 persen," ucap Bahlil.
Bahlil menegaskan, realisasi investasi pada periode tersebut berdampak pada penyerapan tenaga kerja yang tidak sedikit. Jumlahnya mencapai 677.623 orang pekerja.
Dominan Luar Jawa
Bahlil mengatakan, realisasi investasi pada kuartal II-2024 tadi paling banyak menyasar daerah-daerah di Luar Jawa. Porsinya mencapai 50,2 persen di Luar Jawa dan 49,8 persen di Pulau Jawa.
Sebagai rincian, investasi di Luar Jawa mencapai Rp 215,2 triliun. Angka ini naik 7,1 persen dari kuartal sebelumnya dan meningkat 18,3 persen dari periode yang sama tahun lalu.
Sementara itu, investasi di Pulau Jawa mencapai Rp 213,2 triliun. Angka ini naik 6,3 persen dari kuartal I-2024 dan meningkat 27,1 persen dari kuartal II-2023 lalu.
"Jawa itu tumbuhnya besar sekali sebesar 27,1 persen dibandingkan dengan Luar Jawa yang tumbuhnya 18,3 persen. Biasanya pada kuartal-kuartal sebelumnya itu di Luar Jawa tumbuhnya lebih gede daripada di Jawa," pungkas Bahlil.
Realisasi Investasi Kuartal I-2024
Diberitakan sebelumnya, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia melaporkan, realisasi investasi di bidang hilirisasi telah mencapai Rp 75,8 triliun pada kuartal I-2024.
Capaian tersebut setara dengan 18,9 persen dari total realisasi investasi kuartal I-2024 yang mencapai Rp 401,5 triliun.
"Dari total investasi kita Rp 401,5 triliun, data hilirisasinya ini adalah Rp 75,8 triliun atau setara 18,9 dari total realisasi investasi kuartal I-2024," kata Bahlil dalam konferensi pers paparan kinerja investasi Kuartal I-2024, di Kantor Kementerian BKPM, Senin (29/4/2024).
Untuk rinciannya, investasi di sektor mineral mencapai Rp 43,2 triliun yang terdiri dari smelter nikel Rp 33,4 triliun smelter tembaga Rp 8,4 triliun, dan smelter bauksit Rp 1,4 triliun.
Selanjutnya, di sektor kehutanan investasi hilirisasinya sebesar Rp 13,3 triliun yang khususnya untuk penanaman modal pada industri pulp and paper.
Lalu investasi hilirisasi di sektor pertanian mencapai Rp 11,1 triliun untuk pengembangan CPO/oleochemical. Kemudian, realisasi investasi hilirasi di sektor migas mencapai Rp 7,4 triliun untuk pengembangan petrokimia.
Advertisement
Ekosistem Kendaraan Listrik
Terakhir, "Ekosistem kendaraan listrik Rp 0,8 triliun untuk baterai kendaraan listrik," ujarnya.
Melihat capaian tersebut, Bahlil optimistis ke depannya investasi di sektor hilirisasi akan terus meningkat. Kendati begitu, Pemerintah masih mencermati kondisi global yang penuh dengan ketidakpastian, apalagi adanya konflik di Timur Tengah yang dikhawatirkan bisa berdampak terhadap perekonomian Indonesia.
"Kami khawatirkan persoalan Timur Tengah, karena itu berdampak liuar biasa terhadap harga minyak dan itu pasti akan berdampak pada nilai tukar rupiah dan itu berdampak ke persoalan investasi, karena biaya produksinya pasti jauh lebih tinggi, sehingga mereka akan berpotensi wait and see," pungkasnya.