LPS Menangkan Gugatan di Pengadilan Supreme Court of Mauritius

Substansi gugatan adalah terkait dengan Mandatory Convertible Bond (MCB) yang dimiliki oleh salah satu penggugat yang dahulu diterbitkan oleh Bank Century.

oleh Tira Santia diperbarui 31 Jul 2024, 19:42 WIB
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memenangkan gugatan di Supreme Court of Mauritius. LPS berkomitmen penyitaan dan pengembalian Aset Bank Century akan terus dikejar.(Foto: Liputan6.com/Tira Santia)

Liputan6.com, Jakarta - Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) memenangkan gugatan di Supreme Court of Mauritius. LPS berkomitmen penyitaan dan pengembalian Aset Bank Century akan terus dikejar.

Supreme Court of Mauritius / Pengadilan Mauritius mengabulkan tuntutan agar Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan mantan pimpinan LPS yaitu Kartiko Wirjoatmojo dan Fauzi Ichsan dikeluarkan dari perkara.

Sebelumnya, pada 2017, LPS dan mantan pimpinannya digugat di Pengadilan Mauritius oleh para Penggugat, antara lain oleh First Global Funds Limited PCC (FGFL), Weston International Asset Recovery Company Limited (WIARCO), Weston Capital Advisor, Inc (WCAI), Weston International Asset Recovery Corporation Inc (WIARCI) dan Weston Capital Advisor, Inc (WICL).

Substansi gugatan adalah terkait dengan Mandatory Convertible Bond (MCB) yang dimiliki oleh  salah satu penggugat yang dahulu diterbitkan oleh Bank Century (sekarang Bank Jtrust Indonesia). Para Penggugat mendalilkan, berdasarkan MCB tersebut, para Penggugat haruslah menjadi pemenang dari lelang saham LPS pada bank Mutiara ketika diselamatkan oleh LPS beberapa tahun lalu.

Secara keseluruhan, Para Penggugat mengajukan tuntutan sebesar USD 408 juta atau kurang lebih setara dengan Rp6,648 triliun. Para Penggugat juga mengajukan permohonan Mareva Injunction atau permohonan sita atas segala aset milik Para Tergugat senilai USD400 juta.

“Setelah melalui proses persidangan yang cukup panjang, akhirnya dalam persidangan tanggal 19 Juni 2024 yang lalu, Pengadilan Mauritius telah mengabulkan tuntutan agar LPS dan mantan pimpinannya dikeluarkan dari perkara,” kaya Ketua Dewan Komisioner LPS Purbaya Yudhi Sadewa di acara Temu Media, di Jakarta Rabu (31/7/2024).

Mengenai proses gugatan tersebut, bahwasanya sejak awal LPS telah langsung mengajukan upaya dan langkah hukum pembelaan, antara lain pengajuan Surat keberatan yang memuat antara lain mengenai penetapan pengadilan yang telah mengizinkan untuk memanggil para pihak yang berada di luar Mauritius.

“Karena pengadilan di Mauritius sejatinya tidak berwenang untuk memeriksa perkara, serta pemanggilan para pihak di Indonesia tidak dilakukan secara patut dan sah karena tidak mengindahkan prinsip kedaulatan hukum Indonesia,” ujar Purbaya.

 


LPS Ajukan Bantahan Lain

Acara Temu Media bersama LPS, di Jakarta Rabu (31/7/2024). (Foto: Liputan6.com/Tira Santia)

Selain itu, LPS juga telah mengajukan bantahan lain berupa kesaksian tersumpah (affidavit) antara lain melalui Direktur Eksekutif Hukum LPS Ary Zulfikar dan Wakil Pemerintah RI, Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kemenkumham RI, Cahyo Rahadian Muhzar.

Mereka berdua menyatakan, berdasarkan doktrin State Immunity, LPS patut dikeluarkan dari perkara karena kedudukan dan tindakan-tindakan yang dilakukannya khususnya terkait dengan penanganan resolusi bank yang telah dilakukan adalah tindakan yang berlandaskan mandat undang-undang dan dilakukan secara professional.

“Dan, dengan telah dikeluarkannya LPS dan mantan pimpinannya dari Main Case di Supreme Court of Mauritius, maka LPS dan mantan pimpinannya telah dibebaskan dari tuduhan-tuduhan Para Penggugat yang dianggap tidak berdasarkan fakta-fakta hukum yang ada,” jelas Ary Zulfikar.

Dalam proses penanganan perkara ini LPS juga didukung penuh oleh pihak pemerintah, dalam hal ini  Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU), khususnya Direktorat Otoritas Pusat dan Hubungan Internasional, Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia (Kemenkumham RI), di mana Tim LPS dan Kemenkumham RI melakukan kunjungan dan koordinasi secara langsung kepada Pemerintah Mauritius, guna menjelaskan sekaligus meminta dukungan mengenai kepentingan hukum LPS dalam perkara ini yang notabene juga merupakan kepentingan hukum Pemerintah Indonesia.

Dengan tetap mempertahankan semangat dan upaya penanganan perkara yang dilakukan, LPS kembali mengharapkan dukungan dari pemerintah dan masyarakat khususnya terhadap penanganan perkara terkait lainnya, yakni perkara Contempt of Court yang diajukan oleh Para Penggugat yang sama di Supreme Court of Mauritius (General Division) yang saat ini masih aktif namun statusnya tertahan (pending) karena menunggu putusan dalam perkara lainnya yang masih diperiksa.


Jaga Kemandirian LPS, Masyarakat Ajukan Uji Materil UU PPSK ke MK

Nasabah melakukan transaksi perbankan di KCU Bank Mandiri Bintaro, Tangerang Selatan, Banten, Jumat (26/2/2021). Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menjamin simpanan nasabah di bank hingga Rp 2 miliar per nasabah per bank dengan syarat 3 T. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, kelompok masyarakat yang terdiri dari dosen dan mahasiswa mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) ke Mahkamah Konstitusi.

Uji materiil ini dilakukan dalam upaya menjaga kepastian jaminan perlindungan simpanan masyarakat ketika bank di cabut izin usahanya oleh OJK dan dilakukan proses likuidasi berdasarkan ketentuan LPS.

Salah satu aspek yang disorot adalah ketentuan Pasal 86 ayat (4) UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) yang mengatur rencana kerja dan anggaran tahunan untuk kegiatan operasional LPS yang harus mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan.

Uji materiil ini telah terdaftar di Mahkamah Konstitusi dengan Nomor 85/PUU-XXII/2024 dan akan mulai disidangkan pada 1 Agustus 2024.

“Tujuan utama permohonan ini adalah menjaga kemandirian dan independensi LPS agar perlindungan jaminan simpanan masyarakat dapat dilakukan secara optimal, terutama ketika bank dicabut izin usahanya dan memasuki tahap likuidasi. Kami berharap LPS yang mandiri dan independen tidak akan terpengaruh oleh keberpihakan yang dapat menyebabkan simpanan masyarakat di bank yang dilikuidasi kehilangan jaminan perlindungan," kata Kuasa Hukum Pemohon, Miko Ginting dikutip Rabu (31/7/2024).

Para Pemohon khawatir bahwa LPS dapat kehilangan independensinya karena intervensi pihak lain yang secara tidak langsung mengendalikan keuangan LPS. Intervensi semacam ini bertentangan dengan praktik terbaik (best practices) yang diakui dalam dunia perbankan, terutama bagi lembaga deposit insurance.

Tindakan LPS dalam menjamin simpanan masyarakat di bank yang dilikuidasi seharusnya didasarkan pada pendekatan keahlian (teknokratik), bukan pertimbangan politik yang dapat menyebabkan keberpihakan pada pihak tertentu dibandingkan kepentingan masyarakat luas.

 

 


Kondisi Krisis

Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) siap membayar klaim penjaminan simpanan nasabah PT BPR Usaha Madani Karya Mulia, Surakarta. (Dok LPS)

Terlebih lagi, Pasal 276 angka 28 UU PPSK (vide Pasal 36C ayat (1)) menyatakan, dalam kondisi krisis, LPS memberikan penjaminan terhadap seluruh simpanan milik Pemerintah.

Hal ini menimbulkan kekhawatiran, kontrol Kementerian Keuangan terhadap LPS dapat menyebabkan penjaminan simpanan dimanfaatkan untuk kepentingan pemerintah semata, yang pada akhirnya merugikan nasabah kecil.

“Kita pernah mendapatkan pembelajaran berharga dari sebuah pendekatan yang tidak semata berbasis pada keahlian (teknokratik), yaitu pada era BLBI. Pengambilan keputusan yang tidak independen saat itu menjadi problem di kemudian hari. Hingga hari ini kita masih melihat banyaknya kewajiban obligor kepada negara yang belum terselesaikan”, kata Miko.

Selain persoalan persetujuan Menteri Keuangan terhadap rencana kerja dan anggaran tahunan LPS tersebut, permohonan ini juga mempersoalkan kewenangan tambahan pada LPS berupa penempatan dana dalam proses penyehatan bank.

Miko menjelaskan bahwa adanya kewenangan tambahan pada LPS ini mengakibatkan ketidakjelasan mengenai kedudukan BI dan LPS terkait entitas mana yang difungsikan sebagai lender of last resort. 

 


Kewenangan LPS

Ditambah kewenangan LPS dalam penempatan dana pada bank dalam penyehatan memiliki syarat yang berbeda dan jauh lebih mudah dibandingkan syarat Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek yang dipunyai BI.

Secara sistematis Pasal 276 angka (3), angka (11), angka (13), dan angka (24) UU PPSK mengatur kewenangan penempatan dana oleh LPS yakni untuk Bank Sistemik maupun selain Bank Sistemik yang mengalami permasalahan likuiditas dan tidak memenuhi persyaratan solvabilitas dari BI, dan tidak memiliki proyeksi kas yang memadai. Bank penerima penempatan dana oleh LPS hanya disyaratkan "harus memberikan jaminan berupa aset yang dianggap layak untuk pengembalian penempatan dana".

"Penambahan kewenangan penempatan dana bagi LPS dengan persyaratan yang jauh lebih mudah dibandingkan Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek dari BI berpotensi mengakibatkan kemampuan finansial LPS menjadi lebih difokuskan untuk kepentingan tertentu dibandingkan untuk keperluan melakukan penjaminan dana nasabah masyarakat kecil secara luas, dan hal ini pada akhirnya akan merugikan masyarakat yang memiliki simpanan di bank", terang Miko.

“Pemohon sebagai warga negara, dalam kapasitasnya sebagai dosen dan mahasiswa sekaligus nasabah, ingin mengantisipasi hal tersebut. Sebagai dosen hukum tata negara yang fokus pada lembaga-lembaga independen, Pemohon melihat ada persoalan jaminan hukum di sini. Sebagai nasabah yang simpanannya dijamin oleh LPS, Pemohon sangat berkepentingan akan independensi LPS yang tidak berpihak pada kepentingan tertentu baik dalam menjalankan rencana kerja dan anggaran serta kewenangan yang tidak merugikan penjaminan dana nasabah," ujar dia.

Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya