Diserbu Barang Impor, Industri Petrokimia Minta Ini ke Pemerintah

Inaplas: Permendag 36/2023 dan penerapan BMAD-BMTP jadi harapan menjaga industri petrokimia

oleh Septian Deny diperbarui 03 Agu 2024, 20:00 WIB
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (29/10/2021). Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan neraca perdagangan Indonesia pada September 2021 mengalami surplus US$ 4,37 miliar karena ekspor lebih besar dari nilai impornya. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Asosiasi Industri Olefin Aromatik dan Plastik Indonesia (Inaplas) mengatakan perlu adanya keterbukaan antara sektor hulu dan hilir industri petrokimia guna meningkatkan nilai investasi sektor itu bagi pemajuan ekonomi nasional.

"Kita berharap antara hulu dan hilir terjadi saling keterbukaan dan memberikan kepastian kira-kira mapping kebutuhan dan pertumbuhan dalam negeri itu seberapa besar, sehingga kita bisa memprediksikan kapan kita mulai investasi, dan seberapa besar investasi itu bisa ditanamkan dan kembali berapa lama," kata Sekretaris Jenderal Inaplas Fajar Budiono dikutip dari Antara, Sabtu (3/8/2024).

Hal itu menurut dia perlu dilakukan, mengingat utilitas sektor petrokimia hulu kini sudah di bawah 80 persen karena masifnya produk impor.

Ia berargumen, selain kolaborasi sektor hulu dan hilir petrokimia, pihaknya juga meminta pemerintah untuk kembali menerapkan pengetatan impor yang dinilai bisa mengatur ketersediaan (supply) dan permintaan (demand) sektor petrokimia secara ideal di pasar domestik.

"Jadi kalau kita kembali ke Permendag 36/2023 semangatnya adalah memenuhi kebutuhan industri dalam negeri dengan prioritas material lokal dulu. Selebihnya nanti bila ada kekurangan, baru dipenuhi oleh produk impor," katanya.

Selain itu, untuk lebih memacu utilitas dan investasi di sektor ini, pihaknya juga ingin adanya penerapan kebijakan trade remedies atau hambatan perdagangan berupa Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atau Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP). Alasannya, itu karena impor barang jadi plastik dalam beberapa bulan terakhir masih cukup tinggi.

Sebelumnya, Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat pada Januari-Juni (semester I) 2024, realisasi investasi bidang hilirisasi mencapai Rp181,4 triliun. Dalam realisasi tersebut sektor petrokimia menempati urutan nomor empat terbesar dengan nilai penanaman modal mencapai Rp13,2 triliun.


Indonesia Darurat Barang Impor, Industri Lokal Minta Perlindungan

Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Selasa (25/10). Kebijakan ISRM diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pelayanan dan efektifitas pengawasan dalam proses ekspor-impor. (Liputan6.com/Immaniel Antonius)

Sebelumnya, Asosiasi Industri Plastik Hilir Indonesia (Aphindo) menyampaikan perlunya pengetatan impor produk barang jadi plastik dari negara lain untuk memproteksi industri hilir plastik dalam negeri, sehingga sektor ini bisa memberikan kontribusi yang lebih besar bagi pemajuan ekonomi Indonesia.

Sekretaris Jenderal Aphindo Henry Chevalier mengatakan masifnya barang jadi plastik tersebut secara langsung mengganggu kinerja industri hilir plastik domestik, hal itu dikarenakan produk impor lebih diminati karena memiliki harga yang lebih murah.

"Barang-barang jadi yang masuk ke Indonesia jauh lebih murah dibandingkan dengan produk dalam negeri," kata dia dikutip dari Antara, Selasa (16/7/2024).

Henry mencontohkan, salah satu negara pemasok barang impor yang lebih murah ke Indonesia yaitu China. Disampaikannya, alasan barang yang dijual oleh negara tersebut lebih murah dikarenakan upah pekerja (labour cost) di sana bisa lebih rendah, serta tingginya ketersediaan bahan baku.

"Kenapa kita lebih mahal? Karena impor bahan bakunya, kemudian biaya listrik, upah buruh, kemudian biaya birokrasi seperti perizinan, cukai, pajak," ujarnya.

Oleh karena itu dirinya mendorong supaya pemerintah menerapkan pengetatan impor khususnya untuk barang jadi plastik di setiap regulasi yang diterapkan, terlebih apabila produk tersebut sudah diproduksi oleh industri domestik. Hal itu bertujuan supaya produk yang dihasilkan di dalam negeri bisa lebih terserap oleh pasar.

"Salah satu contoh yang dikeluarkan Permendag 36/2024, saya kira itu salah satu tools yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka proteksi industri dalam negeri. Tapi tidak cukup hanya sebatas lartas (larangan dan pembatasan), tapi harus diatur tata impornya," ujarnya.

 


Pengetatan Impor

Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (29/10/2021). Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan neraca perdagangan Indonesia pada September 2021 mengalami surplus US$ 4,37 miliar karena ekspor lebih besar dari nilai impornya. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Lebih lanjut, ia mengatakan selain menerapkan pengetatan impor di setiap regulasi yang diterapkan, pemerintah dalam hal ini Bea Cukai mesti menindak dengan tegas dan menolak barang plastik impor yang tidak sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI).

"Misalnya spesifikasi yang masuk dari barang-barang impor jadi plastik itu tidak sesuai dengan spesifikasi SNI yang ada di Indonesia, nah itu tentunya peran dari Bea Cukai harus menolak itu, dan Bea Cukai harus paham SNI itu apa aja," katanya.

Di sisi lain Sekretaris Jenderal Industri Olefin, Aromatik, dan Plasik Indonesia (Inaplas) Fajar Budiono menyampaikan, pihaknya mencatat sudah ada penurunan utilisasi di industri plastik hilir hingga di bawah 50 persen, sehingga apabila masifnya barang impor di pasar domestik dibiarkan bisa berdampak kepada industri hulu yakni petrokimia.

"Itu sudah mulai terasa juga di beberapa pabrik hulu, ada yang sudah mematikan/shut down mesinnya, mereka wait and see," kata dia.

 


Barang Jadi

Surplus yang didapat pada periode Juni 2024 berasal dari nilai transaksi ekspor yang mencapai 20,84 miliar dolar AS, serta impor sebesar 18,45 miliar dolar AS. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Pihaknya sepakat dengan Aphindo supaya pemerintah melakukan pengetatan impor khususnya untuk barang jadi plastik di regulasi apapun, mengingat kebijakan yang kontraktif berpotensi melemahkan iklim investasi di Tanah Air yang berujung pada menurunnya kontribusi industri hulu.

Ia menjelaskan dampak positif industri petrokimia berdasarkan studi kasus investasi Naptha Cracker Terintegrasi bisa memberikan output langsung pada kontribusi perekonomian sebesar Rp41,04 triliun, menyerap tenaga kerja hingga 3,22 juta orang, peredaran upah hingga Rp8,56 triliun, serta manfaat fiskal berupa pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar Rp2,67 triliun.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya