Liputan6.com, Jakarta Dua orang dosen dan satu mahasiswa mengajukan permohonan uji materi sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Pasal-pasal yang diuji antara lain Pasal 7 angka 57, Pasal 86 ayat (4), Pasal 86 ayat (6), Pasal 86 ayat (7) huruf a, Pasal 7 angka 6, Pasal 276 angka 3, Pasal 276 angka 13, Pasal 276 angka 24 UU PPSK.
Para Pemohon Perkara Nomor 85/PUU-XXII/2024 tersebut mengaku memiliki potensi kerugian konstitusional dari berlakunya pasal-pasal tersebut. Sebab, ketentuan norma dari pasal-pasal tersebut mengganggu independensi Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai lembaga regulator independen.
Advertisement
“Tindakan intervensi politik kepada LPS sebagai lembaga independen yang mempunyai kedudukan constitutional importance secara nyata bertentangan dengan semangat Pasal 23D UUD 1945 yang menjamin independensi bank sentral secara khusus dan tata kelola sistem moneter, keuangan, dan perbankan secara umum serta dapat turut menyebabkan hilangnya pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang dijamin oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” ujar kuasa hukum para Pemohon, Miko Susanto Ginting, dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di Ruang Sidang Mahkamah Konstitusi, dikutip dari laman mkri.id, Sabtu (1/8/2024).
Kedua dosen dimaksud yaitu Giri Ahmad Taufik (Pemohon I) sebagai pengajar Hukum Tata Negara di Universitas Djuanda, Bogor, dan Wicaksana Dramanda (Pemohon II) sebagai pengajar Hukum Tata Negara di Universitas Islam Bandung.
Selain itu, mahasiswa yang menjadi Pemohon perkara ini bernama Mario Angkawidjaja (Pemohon III) yang juga menjadi nasabah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) Nusantara Bona Pasogit (NBP) 31 Jatinangor.
Pemohon III sebagai nasabah BPR sangat rentan dengan tindakan-tindakan yang diambil oleh LPS karena fakta empiris menunjukkan BPR adalah bank yang paling banyak dilikuidasi oleh LPS.
Hanya dalam kurun waktu 1 Januari sampai dengan 29 April 2024 saja, terdapat 10 BPR yang dilikuidasi oleh LPS dengan pembayaran klaim sebesar Rp237 miliar terhadap 42.248 nasabah.
Dengan berlakunya ketentuan Pasal 7 angka 6 yang mengubah Pasal 6 ayat (1) huruf l, Pasal 276 angka 3 yang menyisipkan Pasal 16 ayat (3) UU 9/2016, Pasal 276 angka 13 UU 4/2023 yang menyisipkan Pasal 20B, Pasal 20C, dan Pasal 20D UU 9/2016 serta Pasal 276 angka 24 UU 4/2023 yang mengubah Pasal 30 huruf b UU 9/2016 yang memberikan wewenang bagi LPS untuk dapat melakukan penempatan dana pada bank dalam penyehatan berdasarkan permintaan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hal ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih (overlap) kewenangan dengan Bank Indonesia (BI) sebagai lender of last resort.
Penempatan Dana di Bank
Apalagi kewenangan LPS dalam penempatan dana pada bank dalam penyehatan memiliki syarat yang berbeda yang lebih mudah, dalam hal ini yang tidak memenuhi Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek berdasarkan prinsip Syariah yang dipunyai BI.
Akibat ketidakjelasan dan tumpang tindih ini, maka timbul potensi membebani LPS, dalam hal ini menurunkan kemampuan LPS dan mengarah pada gagalnya LPS untuk menjalankan fungsi utamanya, yaitu menjamin simpanan nasabah yang merupakan bentuk perlindungan terhadap simpanan para Pemohon.
Intervensi pemerintah dalam bentuk persetujuan Menteri Keuangan atas rencana kerja dan anggaran tahunan LPS dalam pasal-pasal tersebut menimbulkan keraguan yang sah pada sisi nasabah mengenai kepastian hukum bahwa LPS akan melaksanakan kewenangannya secara profesional dan berdasarkan expertise semata, tanpa campur tangan politik.
Meskipun independensi memiliki batas akuntabilitas, tetapi kewenangan persetujuan Menteri Keuangan pada ketentuan tersebut tidak memiliki dasar kebutuhan (necessary) dan keseimbangan (balancing).
Dari sisi kebutuhan dan keseimbangan, ketentuan yang sangat intervensionis pada perencanaan kerja dan keuangan untuk kegiatan operasional LPS tidak memiliki alasan yang kuat, menimbang desain kelembagaan LPS yang dipimpin secara kolektif kolegial oleh seluruh anggota Dewan Komisioner, di mana seluruh keputusan LPS harus 33/48 diambil melalui proses musyawarah untuk mufakat (vide Pasal 7 angka 46 UU No. 4/2023 yang mengubah Pasal 72 ayat (1) UU No. 24/2004).
Advertisement
Berpotensi Dirugikan
Para Pemohon berpotensi dirugikan kepentingan maupun hak konstitusional, baik sebagai warga negara maupun sebagai nasabah bank, berupa jaminan atas suatu sistem perbankan yang independen dan pembagian urusan yang tepat bagi bank sentral dan lembaga-lembaga constitutional monetary lainnya sebagaimana dimuat Pasal 23D UUD 1945, hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya sebagaimana dimuat dalam Pasal 28C ayat (2) UUD 1945 serta hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana termaktub dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Dalam petitumnya, para Pemohon memohon kepada Mahkamah agar menyatakan frasa “untuk mendapat persetujuan” pada Pasal 7 angka 57, Pasal 7 angka 57, frasa “yang telah mendapatkan persetujuan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (6)” pada Pasal 7 angka 57, Pasal 7 angka 6, Pasal 276 angka 3, Pasal 276 angka 13, serta Pasal 276 angka 24 UU 4/2023 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Nasihat Hakim
Perkara ini disidangkan Majelis Hakim Panel yang dipimpin Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih didampingi Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah dan Hakim Konstitusi Anwar Usman. Enny mengatakan, para Pemohon belum menyampaikan petitum sebagaimana yang lazim disampaikan kepada Mahkamah.
Selain itu, menurut Enny, para Pemohon harus lebih bisa menjelaskan lebih detail mengenai kedudukan hukum (legal standing). Kemudian kedudukan hukum tersebut dikaitkan dengan hak konstitusional yang dirugikan atas berlakunya pasal-pasal yang diuji. Para Pemohon harus meyakinkan Mahkamah atas kerugian konstitusional dimaksud.
“Jadi penting sekali itu kedudukan hukum dulu, jadi harus jelas banget apa sih kerugian konstitusionalnya itu, benar enggak ini kemudian memiliki kausalitasnya juga, kalau enggak ada kausalitasnya enggak bisa juga kemudian ada kerugian konstitusional di situ, apakah itu potensial ataukah aktual juga harus dijelaskan,” jelas Enny.
Advertisement