Liputan6.com, Jakarta SUN Energy kembali menerima dukungan pembiayaan hijau ‘Green Financing’ dari salah satu lembaga perbankan syariah di Indonesia. Pembiayaan kali ini didapatkan dari Nanobank Syariah yang memasuki babak baru dengan mendukung program pembiayaan hijau (green financing) dan Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang berdampak positif bagi pertumbuhan ekonomi bangsa khususnya ekonomi syariah.
Penandatanganan akad pembiayaan antara Nanobank Syariah dengan SUN Energy untuk mendukung Green Energy Project berupa Pengadaan Energi Listrik Tenaga Surya senilai Rp 200 miliar.
Advertisement
Fasilitas pembiayaan dari bank syariah ini merupakan yang pertama di Indonesia dan menjadi tonggak sejarah bagi pertumbuhan bisnis energi surya atas dukungan ekosistem perbankan di Indonesia.
“Sektor jasa keuangan termasuk perbankan syariah memiliki peran penting dalam mewujudkan ekonomi hijau dan Pembangunan berkelanjutan salah satunya melalui aktivitas green financing atau pembiayaan sektor hijau dalam hal ini adalah pengadaan energi Listrik tenaga Surya Bersama dengan SUN Energy Group," kata Direktur Financing Nanobank Syariah, Soejanto Soetjijo dikutip Sabtu (3/8/2024).
Adanya tantangan seperti perubahan iklim, siklus alam dan permasalahan lingkungan hidup dan sosial, telah mendorong bank untuk melakukan transformasi praktik bisnisnya berdasarkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dengan menerapkan konsep ESG atau Environmental (lingkungan), Social (sosial) and Governance (tata kelola).
Dalam menjalankan keberlangsungan bisnisnya, Nanobank Syariah tidak hanya memperhatikan kepentingan mendapatkan keuntungan semata melainkan juga memperhatikan kebermanfaatan bagi masyarakat, menjalankan bisnis yang selaras dengan program pemeliharaan lingkungan, serta memberikan dampak terhadap perekonomian khususnya ekonomi syariah.
Perkembangan Bisnis SUN Energy
Direktur SUN Energy Garry Perdana menyatakan bahwa dukungan dari Nanobank Syariah tidak terlepas dari perkembangan bisnis SUN Energy yang semakin positif, “Dengan meningkatnya permintaan pasar, terutama dari sektor industri dan komersial, serta regulasi yang semakin mendukung, hal ini mendorong SUN Energy untuk berkomitmen dalam memperluas pemanfaatan energi surya di Indonesia.
Fasilitas pembiayaan ini akan kami gunakan untuk perluasan proyek pengembangan energi surya di Indonesia yang sedang dan akan kami kerjakan pada sektor komersial dan industri. Kami berharap ke depannya sektor perbankan dapat terus memberikan produk ‘Green Financing’ yang lebih kompetitif sehingga pemanfaatan energi surya di Indonesia meningkat secara signifikan dan lebih masif” jelas Garry.
“Keberhasilan bisnis berkelanjutan harus memiliki dampak terhadap tiga indikator yaitu Profit (Ekonomi), People (Sosial), Planet (Lingkungan),” tutup Pak Soejanto Soetjijo. SUN Energy berharap dukungan dari Nanobank Syariah ini dapat mendorong pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia yang sejalan dengan pemenuhan target Indonesia bebas emisi karbon di tahun 2060,mempercepat transisi energi di Indonesia menuju masa depan yang lebih bersih dan berkelanjutan, serta meningkatkan kontribusi terhadap pencapaian target energi terbarukan sebagai perusahaan energi surya terkemuka di Indonesia.
Advertisement
Target EBT 2025 Sulit Tercapai, Ganjalannya Terlalu Banyak
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyebut target bauran energi baru terbarukan (EBT) di 2025 akan sulit tercapai. Pasalnya, ada sejumlah kendala untuk bisa menembus target bauran EBT antara 17-19 persen di tahun depan.
"Target EBT 2025 kita (berpotensi) tidak mencapai bauran. Bauran paling cuman 13-14 persen, karena kan itu infrastruktur kita, dan juga masih ada bottleneck," jelas Arifin Tasrif di Kantor Ditjen Migas Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (2/8/2024).
Di sisi lain, ia mengakui tingkat permintaan terhadap energi baru terbarukan sejauh ini belum naik secara pesat.
Kementerian ESDM pun terus mendorong peluasan penggunaan melalui pemakaian kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) hingga pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di sektor industri.
"Makanya program-program untuk mendorong demand harus kita lakukan. Contohnya EV terus kemudian PLTS untuk industri dan perumahan, ini harus bisa di dorong," tegas Arifin.
Adapun sebelumnya, pemerintah melalui Dewan Energi Nasional (DEN) telah merevisi target bauran energi baru terbarukan (EBT) pada 2025 menjadi 17-19 persen, dari target sebelumnya sebesar 23 persen lewat pembaharuan Kebijakan Energi Nasional (KEN).
DEN menyusun pembaharuan PP Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional yang menyesuaikan dengan perubahan lingkungan strategis yang selaras dengan komitmen perubahan iklim serta mengakomodasi upaya transisi energi menuju netral karbon 2060.
"Targetnya, 2023 dulu 23 persen. Dalam pembaharuan KEN, nanti kalau diketok, diteken Presiden, maka berubah menjadi 17-19 persen," kata Kepala Biro Fasilitasi Kebijakan Energi dan Persidangan DEN, Yunus Saefulhak dikutip dari Antara beberapa waktu lalu.
Skenario Terendah
Yunus menjelaskan, perubahan target di kisaran angka tersebut dimaksudkan agar jika capaian target tetap masuk meski hanya tercapai di skenario angka terendah.
"Kalau skenario rendah di antaranya kita tercapai, ya sudah bagus, KEN menuntun jalan sesuai koridornya," ungkapnya.
Dalam peta jalan transisi energi pada Revisi PP KEN tersebut, ditargetkan pada tahun 2030 bauran energi primer EBT mencapai 19-21 persen, lalu pada 2030 sekitar 25-26 persen, kemudian pada 2040 ditargetkan mencapai 38-41 persen, hingga pada 2060 mendatang sebesar 70-72 persen.
Lantaran fokusnya pada transisi energi, Yunus mengatakan perubahan terbesar juga terjadi di target bauran EBT pada 2060 yang lebih besar. Ia menyebut di PP KEN lama, targetnya sebanyak 70 persen energi berasal dari fosil.
"Nanti di 2060, itu 70-72 persen EBT-nya, kalau dulu di PP KEN lama, itu 2050 70 persennya adalah fosil. Sekarang justru dibalik, 70 persen EBT, fosilnya jadi 30 persen," pungkas Yunus.
Advertisement