Pemerintah Diminta Bijak Atur Beleid Pengelolaan Sumber Laut Berbasis Pelestarian Lingkungan

Dalam perspektif hukum lingkungan, ketidaksesuaian antara PP Nomor 26 Tahun 2023 dan UU Kelautan menyoroti persoalan mendasar dalam kerangka regulasi Indonesia.

oleh Muhammad Radityo Priyasmoro diperbarui 04 Agu 2024, 17:47 WIB
Pakar Kemaritiman, DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa dari IKAL Strategic Centre (IKAL SC) (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta - Pengamat Maritim Marcellus Hakeng Jayawibawa, menyoroti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.

Menurut dia, aturan itu cenderung memprioritaskan keuntungan ekonomi dalam pengelolaan sumber daya laut, terutama dalam konteks hasil sedimentasi laut dan berpotensi menimbulkan konflik dengan Pasal 56 UU Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan yang secara menekankan pentingnya perlindungan lingkungan laut sebagai prioritas utama.

“Dua regulasi ini mencerminkan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam menyeimbangkan antara kebutuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan, terutama di wilayah pesisir dan laut,” kata Hakeng melaui keterangan tertulis, Minggu (4/8/2024).

Pria yang tergabung alam Ikatan Keluarga Besar Alumni Lemhannas Strategic Center (ISC) ini juga berpendapat, dalam perspektif hukum lingkungan, ketidaksesuaian antara PP Nomor 26 Tahun 2023 dan UU Kelautan menyoroti persoalan mendasar dalam kerangka regulasi Indonesia.

Hal itu dijabarkan melalui penelitian akhir yang dilakukan olehnya, kemudian dituangkan dalam bentuk Tesis yang berjudul “Tinjauan Yuridis terhadap Pengelolaan Sumber Daya Laut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 Berdasarkan Perlindungan Kelestarian Kelautan” saat berstatus sebagai Mahasiswa Pascasarjana Magister Ilmu Hukum dari Universitas Bhayangkara Jakarta Raya.

Hasilnya, ditemukan dalam penelitiannya diperlukan revisi dan penegakan hukum yang lebih tegas untuk memastikan bahwa pengelolaan sumber daya laut dapat dilakukan secara berkelanjutan, dengan mempertimbangkan kepentingan lingkungan dan masyarakat lokal.

“Tujuannya agar mampu mengakomodir kepentingan yang beragam, serta meminimalisir potensi konflik di masa mendatang,” jelas Hakeng.


Revisi

Selanjutnya Hakeng menjelaskan, revisi tersebut harus didasarkan pada kajian ilmiah dan masukan dari berbagai pihak. Harapannya, agar ada prioritas pemerintah dalam melindungi lingkungan laut.

"Terutama dalam menghadapi tekanan pembangunan ekonomi yang terus meningkat,” Hakeng menandasi.

Sebagai salah satu Pembina dari Perhimpunan Mahasiswa Peduli Hukum (PMPH), Hakeng mengatakan apa yang dituliskan dalam penelitiannya merupakan contoh nyata dari konflik regulasi. Hal itu dapat dilihat pada kasus penambangan pasir laut ilegal di Batam dan Tanjung Balai Karimun.

“Kasus-kasus ini menunjukkan lemahnya penegakan hukum, yang ditandai dengan ketidakadilan dalam pemberian sanksi terhadap pelaku ilegal. Sering kali, pelaku dengan kekuatan ekonomi besar mampu lolos dari jeratan hukum atau menerima sanksi yang ringan, sementara kerusakan lingkungan yang diakibatkan sangat signifikan,” Hakeng menutup.

Infografis Ada 204 Juta Lebih DPT di Pemilu 2024. (Liputan6.com/Abdillah)

Tag Terkait

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya