MK Minta Judul Gugatan 'Kaesang Dilarang Jadi Gubernur' Dihapus, Ini Alasannya

Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan saran terhadap Aufaa Luqmana Re A, warga Surakarta yang juga putra dari Boyamin Saiman, atas gugatan Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, khususnya Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada yang mengatur batas usia para calon kepala daerah.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 05 Agu 2024, 17:00 WIB
Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep saat ditemui di kediaman Prabowo Subianto di Jalan Kertanegara IV Jakarta Selatan, Rabu (20/3/2024). (Liputan6.com/Lizsa Egeham)

Liputan6.com, Jakarta Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan saran terhadap Aufaa Luqmana Re A, warga Surakarta yang juga putra dari Boyamin Saiman, atas gugatan Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, khususnya Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada yang mengatur batas usia para calon kepala daerah.

Salah satunya soal penggunaan judul gugatan yang secara langsung menyebutkan nama Kaesang Pangarep.

 Hakim Konstitusi Arsul Sani menyampaikan dalam persidangan, bahwa hasil dari putusan MK tentu akan mengikat untuk semua pihak. Sebab itu, penggunaan nama Kaesang Pangarep dalam gugatan tersebut dinilai kurang tepat.

"Ini saran, yang namanya perkara yang dituangkan dalam bentuk permohonan dari pemohon di Mahkamah Kontitusi itu adalah permohonan uji formil atau uji materil yang putusannya itu bersifat mengikat semua. Jadi sebagai sebuah permohonan yang nanti apakah putusannya nanti dikabulkan, apakah dikabulkan seluruhnya atau dikabulkan sebagian, atau pun ditolak ya, itu berlaku mengikat untuk semua. Jadi ini bukan permohonan tentang orang perorangan atau pun tentang terhadap orang tertentu," tutur Arsul di Gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (5/8/2024).

"Oleh karena itu, saran penasehatan yang pertama sebaiknya judul permohonan yang berbunyi Kaesang dilarang jadi gubernur itu tidak perlu ada," sambungnya.

Arsul juga memberikan pemahaman, bahwa MK memiliki kewenangan untuk menguji norma Undang-Undang dengan norma Undang-Undang Dasar, namun bukan menguji putusan lembaga peradilan lain atau lembaga lain yang bukan pembentuk Undang-Undabg dengan Undang-Undang Dasar. 

"Jadi ya pemohon sebaiknya fokus saja bahwa yang dimohonkan dalam perkara ini adalah pemaknaan untuk memperjelas tentang Pasal salah satu poin syarat pencalonan, itu saja dimaknai," jelas dia.

"MK itu bukan de juris-nya dari lembaga peradilan lain ataupun lembaga lain. Kalau pun mau de juris-nya itu ada pembentuk Undang-Undang yakni DPR dan Presiden. Jadi saran yang kedua adalah sebaiknya tidak dikaitkan. Kenapa, meskipun itu sebagai sebuah fakta ada putusan yang lain tetapi Mahkamah Konstitusi juga tidak bisa tergantung ada atau tidaknya putusan lain. Itu yang perlu pemohon ingat," lanjut Arsul Sani.

 

 


Tak Lazim

Hakim Konstitusi Arief Hidayat juga menilai judul gugatan yang dilayangkan Aufaa Luqmana Re A tidak lazim dan jauh dari etika. Sebab itu, dia berharap pemohon dapat mempertimbangkan untuk mengubah judul dari permohonan tersebut.

"Permohonan itu bagaimanapun harus memenuhi unsur kepatutan, kewajaran, dan kesopanan. Ini kalau gini nih ya setelah kepada Ketua Mahkamah Konstitusi perihal ada heading Kaesang dilarang jadi gubernur ini tidak memenuhi kaidah-kaidah kepatutan, kaidah-kaidah kepantasan, dan itu tidak ada dan itu tidak lazim," ujar Arief.

"Supaya dihapus, ini provokatif, tidak boleh permohonan begini. Seolah-olah memprovokasikan orang Indonesia atau memprovoksi hakim supaya memutus seperti apa yang diinginkan ini nggak bener ini," imbuhnya.

Sebagai masyarakat yang tinggal di Indonesia, Arief menjelaskan, tentu berhukum harus sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, termasuk soal kepatutan dan etika hukum yang baik. Jadi selain berhukum berdasarkan rule of law, seluruh warga negara juga mesti memegang teguh rule of ethics.

"Ini permohonan yang nggak etis kalau saya mengatakan, tidak boleh dikasih begini. Apalagi ini kuasa hukumnya dan pemohonnya adalah anak-anak muda, tadi sudah disinggung oleh Yang Mulia Doktor Arsul, nggak perku dikasih begitu, nggak etis, ya," bebernya.

Arief meminta semua pihak dapat membiasakan diri untuk berhukum di Indonesia sesuai dengan ideologi dasar negara yakni Pancasila. Selain tidak melanggar hukum, juga sangat penting untuk tidak melanggar etika.

"Harus patut dan wajar, tidak provokatif begini, ya. Tolong ini dihapus, tapi terserah saudara mau dihapus atau tidak. Tapi dari sisi saya sebagai orang tua memberi nasihat ya, yang hukum itu juga dibalik hukum juga ada moral, etika, kepatututan, kepantasan, kewajaran, dan ada semangat tidak saling menyakiti, itu harus kita lakukan. Jadi kalau nganu ya dihapus saja," Arief menandaskan.


Diberi Judul Kaesang Dilarang Jadi Gubernur

 Warga Surakarta yang juga diketahui putra Boyamin Saiman, Aufaa Luqmana REA mengunggat Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, khususnya Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada yang mengatur batas usia para calon kepala daerah ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Di mana pasal 7 ayat (2)  berbunyi; Berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur serta 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota.

Adapun UU Pilkada itu tafsirannya berubah setelah adanya putusan Mahkamah Agung, di mana MA membolehkan seseorang dapat mencalonkan diri sebagai calon gubernur dan wakil gubernur apabila berusia minimal 30 tahun dan calon bupati dan wakil bupati atau calon wali kota dan wakil walikota jika berusia minimal 25 tahun ketika dilantik, bukan ketika ditetapkan sebagai pasangan calon.

"Bahwa permohonan a quo tidak bisa dilepaskan dengan putusan Mahkamah Agung atas penentuan usia dalah saat pelantikan yang mana menurut pemohon apa yang diputusan Mahkamah Agung adalah keliru dikarekan yang berwenang memaknai perkara tersebut adalah Mahkamah Konstitusi," demikian bunyi Sebagian pokok permohonan uji materi sebagaimana dikutip pada Senin (5/8/2024).

Selain itu, dia menyebut Pasal 7 ayat (2) huruf e UU Pilkada sebagaimana yang ditafsirkan MA tersebut tidak memberikan kepastian hukum. Alasannya, tidak menentukan titik perhitungan pada tahapan mana syarat usia paling rendah 30 tahun untuk Cagub atau cawagub dan Bupati dan Wakilnya atau Walikota, padahal banyak tahapan pemilihan yang harus dilalui.

"Bahwa aturan yang tidak memberikan kepastian hukum dimanfaatkan oleh beberapa orang untuk mendukung calon gubernur yang sebenarnya belum memenuhi persyaratan Pilkada Gubernur Tahun 2024," demikian seperti dikutip.

Yang menarik, judul uji materi ini adalah 'Kaesang Dilarang Jadi Gubernur', di mana didaftarkan pada 23 Juli 2024.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya