Liputan6.com, Aceh - Upaya Belanda menancapkan kolonialismenya di Aceh mendapat perlawanan yang hebat serta pantang menyerah. Perlawanan yang meletup di negeri itu kelak membawa Aceh sebagai wilayah yang sulit ditaklukkan oleh kompeni serta mengabadikannya sebagai salah satu perang terlama di dalam sejarah.
Belanda ditampar oleh kenyataan yang mencoreng nama mereka di kancah internasional. Sejarawan Belanda yang menulis buku Aceh: Kisah Datang dan Terusirmya Belanda dan Jejak yang Ditinggalkan (2021] bernama Anton Stolwijk menyebut bahwa Perang Aceh tak dimasukkan ke dalam sejarah Belanda karena itu adalah "masa lalu yang memalukan bagi Belanda.
Advertisement
Aceh, secara de jure memang berhasil dikuasai kala itu yang dibuktikan dengan masuknya Aceh secara administratif ke dalam Hindia Timur Belanda (Nederlansch Oost-Indie), tetapi perlawanan terus meletup di pelojok-pelojok. Para pejuang Aceh bergerilya menghidupkan api perlawanan bahkan dengan kekuatan mereka paling lemah sekalipun.
Lebih kurang sebanyak 37.500 orang tewas di pihak Belanda. Korban jiwa dari pihak Aceh disebut-sebut hampir dua kali lipatnya—sekitar 70.000 orang—hingga 1914. Kematian demi kematian tercatat di pihak Belanda, kisah-kisah kematian para prajurit mereka pun jadi laporan yang cukup panjang.
Salah satu kematian menimpa seorang letnan bernama H.P. de Bryuin atau Bruijn. Menurut buku Perang Kolonial Belanda di Aceh (2021, hal. 243), De Bruijn tewas pada 11 Juli 1902 di dekat Kampung Sapi, Jeuram, waktu itu masih di dalam wilayah administrasi Aceh Barat.
Ia mengembuskan nyawa dengan tombak yang menghujam perut serta mendapat 15 bacokan dalam pertempuran melawan pejuang Aceh. Sang letnan disebut-sebut tewas menjelang pernikahannya, telah meninggalkan calon mempelai wanitanya dalam kondisi hati yang hancur mumur.
Jauh setelah Bruyin tewas pada 1902, salah satu subbab dari buku Aceh: Kisah Datang dan Terusirmya Belanda dan Jejak yang Belanda (2021) mengutip sebuah kisah tentang arwah perempuan yang gentayangan. Ia sesosok hantu perempuan muda pirang berpayung kuning yang suka menampakkan diri sewaktu hujan turun.
Namun, tak jelas apakah rawi dari kisah hantu yang digambarkan sebagai hantu noni Belanda yang bersedih karena menunggu tunangannya yang tak pernah sampai itu benar berkaitan dengan kisah Bruijn atau tidak. Mengingat adanya kesan dramatisasi serta templat cerita yang lazim ditemui pada banyak kesempatan.
Mengikuti buku Aceh: Kisah Datang dan Terusirmya Belanda dan Jejak yang Belanda (2021), De Bruijn merupakan letnan marsose berusia 28 tahun dengan pengalaman sebagai prajurit selama 10 tahun serta pernah mendapat penghargaan, dan digambarkan sebagai laki-laki cakap dengan warna mata gelap dan kumis lancip. De Bruijn bertunangan dengan seorang anak perempuan dari pejabat tinggi militer yang hidup sendirian di Aceh sejak ayahnya tewas.
Nama perempuan itu disebut "Louise". Karena De Bruijn merupakan seorang letnan yang berbakat tetapi miskin, urusan tetek bengek menjelang pernikahan keduanya dibantu oleh Van Heutz atau Johannes Benedictus van Heutz, Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang menjabat pada tahun 1904 hingga 1909.
Lousie bahkan dizinkan tinggal di rumah Van Heutz untuk mempermudah urusan pernikahan ini. Selanjutnya, dari Belanda pelbagai jenis gaun pernikahan pun dikirim dengan kapal ke Jawa lalu melalui pos mendarat ke bagian lain di Hindia Belanda untuk kemudian dipilih manasuka oleh sang tunangan.
Tiga Agustus 1902 adalah waktu yang sudah ditetapkan sebagai malam di mana lampion pernikahan akan digantung di lapangan gubernuran nanti. Namun, De Bruijn sebagai marsose dan bujangan masih terus terlibat pertempuran dengan para pejuang Aceh detik-detik menjelang pernikahannya.
Ia berbulan-bulan menyusuri pedalaman Aceh untuk melacak keberadaan para pejuang. Diceritakan bahwa De Bruijn memimpin iring-iringan pasukan marsose yang bergerak menuju Pulo Teungoh.
Laju iring-iringan itu dihambat oleh kanal kecil yang hanya bisa diseberangi melalui sebuah papan sempit yang membuat para marsose melangkah perlahan dan goyah menuju ke seberang. Sewaktu mereka menunggu giliran dan berkumpul di sekitar kanal, tiba-tiba mereka diserang.
Para pejuang Aceh bermunculan dari segala penjuru yang membuat marsose panik dan buyar. Serangan itu merenggut nyawa 15 marsose hanya dalam waktu lima menit, sementara De Bruijn dilaporkan sekarat dan hanya dapat bertahan selama dua jam serta menemui ajal dengan rasa sakit yang luar biasa.
Ketika waktu yang dinanti-nanti tiba, tepatnya pada 3 Agustus 1902, De Bruijn tiba di pelabuhan Banda Aceh untuk menemui tunangannya. Dalam keadaan sudah tidak bernyawa.
"Anakku, kamu gantilah pakaian. De Bruijn sudah tiba, tetapi dia harus dibawa ke makam daripada ke kamu," begitu kata Van Heutz kepada Louise, seperti yang dikutip dari buku Aceh: Kisah Datang dan Terusirmya Belanda dan Jejak yang Ditinggalkan (2021).