Rokok Dilarang Dijual Dekat Area Sekolah, Pemilik Warung Kelontong Protes

Perkumpulan Pengusaha Kelontong Seluruh Indonesia (PERPEKSI) mengkritisi keras aturan tembakau dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang telah disahkan Presiden pada 26 Juli lalu.

oleh Septian Deny diperbarui 07 Agu 2024, 08:30 WIB
Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta Perkumpulan Pengusaha Kelontong Seluruh Indonesia (PERPEKSI) mengkritisi keras aturan tembakau dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan yang telah disahkan Presiden pada 26 Juli lalu.

Ketua Umum PERPEKSI, Junaidi, menyatakan aturan larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain adalah aturan yang sangat rancu untuk diberlakukan kepada pelaku usaha. Ia menilai aturan tersebut sebagai masalah besar karena menitikberatkan pelarangan hanya kepada pelaku usaha perseorangan.

Perlakuan pelarangan kepada pedagang warung kelontong ini dapat memberikan perlakuan yang berbeda pada satu pedagang dengan pedagang lainnya dan imbasnya menjadi timpang sekali kepada anggota PERPEKSI di seluruh wilayah. Apalagi, warung kelontong umumnya adalah usaha mikro dan ultra-mikro. Maka, aturan ini dinilai merugikan rakyat kecil.

“Ini sangat tidak etis. Bahkan, sebelum adanya peraturan ini, banyak toko kelontong dan warung kecil lainnya yang sudah berjualan. Jaraknya pun gak selalu lebih dari 200 meter. Ini bagaimana jadinya? Masa tiba-tiba dilarang?” kata dia dikutip Rabu (7/8/2024).

Kurang Sosialisasi

Junaidi melanjutkan aturan ini menjadi tidak etis karena kurangnya sosialisasi dengan pelaku usaha dan asosiasi lainnya yang menjadi korban utama pelarangan tersebut. Menurutnya, awal kemunculan dari rencana aturan ini sudah menuai kritik banyak pihak, tidak hanya bagi pelaku usaha, tetapi juga bagi masyarakat yang merasakan dampaknya.

“Aturan ini jelas berisiko apalagi untuk warung kecil. Presentase penjualan rokok untuk satu warung itu bisa sampai 50-80%. Ini besar sekali dan memang produk ini adalah produk yang laku. Bisa dibayangkan kalau aturan ini dijalankan, pasti akan memberatkan kami,” terangnya.

 


Warung Kelontong

Cukai rokok memang senikmat kepulan asap tembakau. Bisa dibilang, inilah ATM bagi pemerintah yang tak pernah kering.

Junaidi menekankan bahwa aturan ini memiliki dampak negatif yang signifikan bagi para pedagang. Ia mengingatkan bahwa pemerintah perlu melihat kondisi di lapangan karena banyak sekali warung kelontong yang sudah lama berjualan di dekat sekolah bahkan sebelum sekolah tersebut ada.

Aturan ini menjadi sangat diskriminatif jika aturannya berimbas hanya untuk perorangan saja.

“Saat ini juga belum ada razia atau pelarangan dari pemerintah. Kalau memang dilarang atau ada razia dalam minggu ini, maka kondisinya akan chaos dan ramai menjadi masalah baru bagi para pedagang,” jelasnya.


Rokok Dilarang Dijual Dekat Sekolah, Pedagang Cemas Omzet Anjlok

(Foto:Dok.Bea Cukai)

Sejumlah pelaku usaha mikro, kecil, hingga menengah menyatakan larangan penjualan rokok pada radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak mematikan usaha. Ketentuan tersebut tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28/2024 yang baru saja disahkan dan mengakibatkan pedagang sangat dirugikan atas aturan ini.

Sekretaris Jenderal Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI), Mujiburrohman, menyesalkan adanya aturan zonasi tersebut yang dinilai memberatkan di lapangan.

“Aturan ini hanya dapat dijalankan dari sisi kesehatan, sementara konsekuensinya berimbas pada omzet pedagang yang akan menurun drastis,” serunya dikutip Selasa (6/8/2024).

Sepanjang pembentukan aturan, APPSI juga tidak pernah dilibatkan. Padahal, banyak ketentuan yang akan sulit diterapkan. Yang mungkin terjadi justru penjualan rokok akan dilakukan sembunyi-sembunyi, penjualan pedagang turun, dan setoran cukai kepada pemerintah tergerus.

Mujiburrohman mengatakan selama ini rokok menjadi komoditas penyumbang omzet terbesar bagi pedagang pasar. Ia juga mempertanyakan urgensi dari aturan ini dan menilai adanya PP Kesehatan hanya akan memperparah kondisi pelaku usaha yang sebelumnya masih merangkak keluar dari masa pandemi.

“Aturan ini hanya akan merugikan para pedagang dan rakyat kecil, jadi malah mengorbankan pedagang kecil hanya untuk aturan yang pelaksanaannya saja masih belum jelas,” sesalnya.

 


Pedagang Cemaskan Nasib

Ilustrasi rokok Ilegal (Istimewa)

Pedagang pun mengeluhkan aturan ini dan khawatir dengan nasibnya kelak. Aturan ini dikhawatirkan akan mematikan pedagang pasar. Beberapa mengatakan mereka sudah membangun usaha jauh lebih lama dari satuan pendidikan atau tempat bermain anak yang baru dibuat belakangan.

“Saya tidak tahu masalahnya di mana. Padahal berjualan pun gak ke anak-anak, selalu saya cek. Kalau kayak begini sama saja mau mematikan usaha kami,” keluh Samsul, pedagang warung kelontong Madura di Jakarta Selatan.

Bagi Samsul, aturan yang akan diberlakukan menjadi sangat menyesatkan dan tidak berdasar. Bukan hanya itu, ia juga mengkhawatirkan pelaksanaannya di lapangan. “Lagian kalau mau dijalankan, pengawasannya bagaimana? Masa mau main sidak begitu saja. Baiknya aturan-aturan seperti ini dipikirkan lagi, jangan sampai malah kita-kita pelaku usaha kecil yang kena imbasnya,” katanya.

Samsul pun berharap pemerintah memikirkan ulang aturan ini karena sudah banyak sekali keresahan yang dirasakan sesama pedagang warung di sekitarnya. “Semua kena imbasnya, jangan sampai kondisi masyarakat semakin terpuruk dari PP Kesehatan ini,” tegasnya.

Infografis Cukai Rokok Naik 10 Persen, Cukai Rokok Elektrik Naik 15 Persen (Liputan6.com/Triyasni)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya