Update Krisis Bangladesh: Peraih Nobel Perdamaian Muhammad Yunus Pimpin Pemerintahan Sementara

Muhammad Yunus adalah jawaban atas tuntutan mahasiswa yang menolak Bangladesh dipimpin militer.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 07 Agu 2024, 08:52 WIB
Muhammad Yunus adalah seorang bankir Bangladesh yang mengembangkan konsep kredit mikro, yaitu pengembangan pinjaman skala kecil untuk usahawan miskin. Yunus mengimplementasikan gagasan ini dengan mendirikan Grameen Bank, yang mengantarnya menerima Nobel Perdamaian pada tahun 2006. (AP Photo/Michel Euler)

Liputan6.com, Dhaka - Pemenang Nobel Perdamaian Muhammad Yunus akan menjadi penasihat utama pemerintahan sementara di Bangladesh. Demikian diumumkan kantor presiden negara itu.

"Keputusan dibuat dalam pertemuan antara Presiden Mohammed Shahabuddin, para pemimpin militer, dan para pemimpin kelompok Students Against Discrimination," sebut pernyataan kantor presiden Bangladesh seperti dilansir BBC, Rabu (7/8/2024).

Kesepakatan itu diambil sehari setelah Perdana Menteri Sheikh Hasina mundur dan kabur ke India, menyusul protes yang dipimpin mahasiswa selama berminggu-minggu berubah menjadi kerusuhan yang mematikan.

"Presiden telah meminta rakyat untuk membantu mengatasi krisis ini. Pembentukan pemerintahan sementara yang cepat diperlukan untuk mengatasi krisis," ungkap kantor presiden.

Para pemimpin mahasiswa telah menyatakan dengan jelas bahwa mereka tidak akan menerima pemerintahan yang dipimpin militer dan mendesak Yunus untuk memimpin pemerintahan sementara.

Yunus, yang setuju untuk mengambil peran tersebut, mengatakan, "Ketika para mahasiswa yang telah berkorban begitu banyak meminta saya untuk turun tangan di saat yang sulit ini, bagaimana saya bisa menolaknya?"

Menurut juru bicaranya, Yunus kembali ke Dhaka dari Paris, tempat dia menjalani prosedur medis minor.


Lebih dari 400 Orang Tewas

Media lokal memperkirakan terdapat 400.000 pengunjuk rasa yang turun ke jalan, meskipun angka ini tidak dapat diverifikasi secara independent. ((AP Photo/Fatima Tuj Johora))

Menurut media lokal, lebih dari 100 orang tewas dalam bentrokan berdarah di seluruh Bangladesh pada hari Senin (5/8), hari paling mematikan sejak demonstrasi anti-pemerintah dimulai.

Ratusan kantor polisi dibakar, memicu Asosiasi Layanan Kepolisian Bangladesh (BPSA) mengumumkan aksi mogok sampai keamanan setiap anggota polisi terjamin. Kelompok tersebut berusaha menyalahkan pihak berwenang, dengan mengatakan bahwa mereka "dipaksa menembak".

Secara keseluruhan, lebih dari 400 orang diyakini tewas karena protes tersebut ditanggapi dengan tindakan keras oleh pasukan pemerintah.

"Kepala polisi nasional Bangladesh dipecat pada hari Rabu," kata kantor presiden.

Aksi protes dimulai pada awal Juli dengan tuntutan damai dari mahasiswa untuk menghapus kuota dalam pekerjaan pegawai negeri sipil (PNS), namun demonstrasi membesar menjadi gerakan anti-pemerintah yang lebih luas.

Kerusuhan selama berminggu-minggu memuncak dengan penyerbuan kediaman resmi perdana menteri, tidak lama setelah Hasina melarikan diri ke India, yang mengakhiri kekuasaannya selama hampir 15 tahun.

Dalam beberapa jam setelah pengunduran diri Hasina, Panglima Militer Bangladesh Jenderal Waker-uz-Zaman berjanji bahwa pemerintahan sementara akan dibentuk. Dia menambahkan pula bahwa sudah waktunya untuk menghentikan kekerasan.

Sementara itu, mantan perdana menteri dan pemimpin oposisi utama Khaleda Zia dibebaskan dari tahanan rumah selama bertahun-tahun pada hari Selasa. Zia memimpin Partai Nasionalis Bangladesh (BNP), yang memboikot pemilu pada tahun 2014 dan pada tahun 2024, dengan mengatakan bahwa pemilu yang bebas dan adil tidak mungkin dilakukan di bawah Hasina.

BNP menginginkan agar pemilu diadakan di bawah pemerintahan sementara yang netral. Hal ini kini menjadi kemungkinan setelah kepergian Hasina, yang selalu menolak tuntutan ini.

Zia menjabat sebagai perdana menteri Bangladesh dari tahun 1991 hingga 1996. Dia dipenjara pada tahun 2018 karena korupsi, namun mengakui tuduhan ini bermotif politik.

Dan Zia bukan satu-satunya tokoh oposisi yang menghirus udara bebas setelah bertahun-tahun ditahan. Aktivis Ahmad Bin Quasem juga dibebaskan.

Kelompok hak asasi manusia mengatakan Quasem dibawa pergi oleh pasukan keamanan pada tahun 2016, hanya satu dari ratusan kasus penghilangan paksa di negara tersebut di bawah pemerintahan Hasina.

"Ada banyak momen selama penahanannya yang memicu kekhawatiran bahwa dia telah meninggal dan ketidakpastian itu adalah salah satu dari banyak alat represi yang digunakan oleh rezim," jelas pengacaranya, Michael Polak, seraya berharap keputusan untuk membebaskan tahanan politik merupakan tanda positif dari niat rezim.

Sayangnya, kabar pembebasan tahanan politik tidak akan dibagikan oleh semua orang, mengingat beberapa meninggal dalam tahanan.


India Perketat Perbatasan dengan Bangladesh

Sheikh Hasina mengundurkan diri dan meninggalkan negara itu setelah berminggu-minggu terjadi kekerasan anti-pemerintah yang menewaskan lebih dari 300 orang. (AP Photo/Rajib Dhar)

Di India, Menteri Luar Negeri S Jaishankar mengatakan dia sangat khawatir sampai hukum dan ketertiban dipulihkan secara nyata di Bangladesh, yang berbatasan dengan India sepanjang 4.096 km dan memiliki hubungan ekonomi dan budaya yang erat.

Jaishankar mengonfirmasi bahwa Hasina mengajukan permintaan untuk pergi ke India dalam pemberitahuan yang sangat singkat dan kemudian tiba di New Delhi.

India sendiri telah mengerahkan pasukan tambahan di sepanjang perbatasannya dengan Bangladesh.

"Pasukan penjaga perbatasan kami telah diinstruksikan untuk sangat waspada mengingat situasi yang rumit ini," kata Jaishankar.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya