Ada Ancaman Resesi di AS, Sektor Saham Apa Saja yang Dapat Dicermati?

Head of Equity Research and Strategy Mandiri Sekuritas, Adrian Joezer menuturkan, pihaknya optimistis untuk IHSG di tengah sentiment the Fed pangkas suku bunga.

oleh Gagas Yoga Pratomo diperbarui 07 Agu 2024, 18:30 WIB
Ancaman resesi menghantui Amerika Serikat (AS), hal ini terlihat dari berbagai indikator ekonomi AS yang melemah dan memicu kekhawatiran pelaku pasar. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Ancaman resesi menghantui Amerika Serikat (AS), hal ini terlihat dari berbagai indikator ekonomi AS yang melemah dan memicu kekhawatiran pelaku pasar. Pergerakan pasar saham volatil di tengah ancaman resesi AS, terutama setelah rilis data pasar tenaga kerja AS.

Head of Equity Research and Strategy Mandiri Sekuritas, Adrian Joezer mengatakan di tengah kondisi ini, investor dapat mencermati saham-saham dengan kapitalisasi pasar besar atau big cap

"Untuk sektor jika kita asumsikan The Fed menurunkan suku bunga pada kuartal empat 2024, sebenarnya kita overall positif untuk IHSG dari sisi market. Pilihan big cap selain perbankan, ada consumer dan telco,” kata Adrian dalam acara Mandiri Sekuritas Economic and Market Outlook, Rabu (7/8/2024). 

Adrian menambahkan, jika The Fed benar menurunkan suku bunga, kemudian dolar AS mulai melemah, investor dapat beralih pada saham-saham yang rate sensitif. 

"Kita belum tahu Fed Rate bisa turun berapa kali, apakah penurunan akan terjadi atau tidak sampai tahun depan. Investor bisa lihat ke saham-saham rate sensitif seperti properti, tower company, dan teknologi,” ujar dia. 

Sedangkan untuk semester II 2024, Adrian menuturkan, katalis utama untuk pasar saham adalah ekspektasi penurunan suku bunga The Fed. Selain itu, investor juga akan melihat dari sisi valuasi dan dividen. Katalis terakhir adalah dari investor asing yang akan melihat nilai tukar mata uang. 

"Terkait nilai tukar dengan adanya penurunan suku bunga The Fed berpotensi pelemahan dolar AS. Daya tarik investor asing ke bursa Indonesia menjadi lebih menarik,” pungkasnya. 

 


Menilik Potensi Penurunan Suku Bunga Acuan The Fed

Ilustrasi the Federal Reserve (Brandon Mowinkel/Unsplash)

Sebelumnya, Chief Economist Mandiri Sekuritas, Rangga Cipta mengungkapkan, The Federal Reserve (the Fed) atau bank sentral Amerika Serikat (AS) bakal menurunkan suku bunga sebanyak dua kali, masing-masing sebesar 25 basis poin (bps) pada semester dua 2024. 

Namun, dengan kondisi saat ini, Rangga menyebut penurunan suku bunga The Fed bisa terjadi lebih cepat dan lebih banyak. 

"Kita melihat mungkin ya di second half bisa cut sebanyak 2 kali, masing-masing 25 bps. Tapi memang melihat perkembangan terakhir risikonya adalah untuk Fed cut lebih banyak dan lebih cepat,” kata Rangga dalam Mandiri Sekuritas Economic and Market Outlook, Rabu (7/8/2024). 

Rangga menambahkan, pemangkasan suku bunga The Fed masih penuh dengan ketidakpastian, Misalnya, pada akhir tahun lalu pasar berekspektasi The Fed akan menurunkan suku bunga acuan sebanyak 6-7 kali.

"Bulan lalu market ekspektasi apa penurunan 2-3 kali. Prediksi market sekarang The Fed akan melakukan penurunan hingga 5 kali. Semakin besar harapan pemangkasan. Sisa 3 meeting The Fed kemungkinan akan memotong lebih besar dari 25 basis poin," jelas dia. 

Adapun menurut dia, pemangkasan suku bunga The Fed masih akan dibayangi oleh sentimen pemilu AS. Selain itu, pergantian pemerintah baru akan menimbulkan adanya perubahan kebijakan, sehingga ada peluang stimulus fiskal yang cukup besar untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.


The Fed Bikin Rencana IPO Tertahan

Karyawan memfoto layar pergerakan IHSG, Jakarta, Rabu (3/8/2022). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan di Bursa Efek Indonesia, Rabu (3/08/2022), ditutup di level 7046,63. IHSG menguat 58,47 poin atau 0,0084 persen dari penutupan perdagangan sehari sebelumnya. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Direktur Utama PT Mandiri Sekuritas, Oki Ramadhana mengungkapkan beberapa perusahaan masih menahan untuk melakukan Initial Public Offering (IPO). Hal ini akibat banyak perusahaan yang masih melihat proyeksi pasar dan investor masih menunggu penurunan suku bunga The Fed.  

“IPO sekarang sebenarnya tinggal melihat market windows-nya seperti apa. Ya kan market windows bisa lagi on atau bisa lagi off. Yang penting dipersiapkan, fundamentalnya, siapin story growth-nya seperti apa,” kata Oki kepada wartawan usai Mandiri Sekuritas Economic and Market Outlook, Rabu (7/8/2024).

Oki menambahkan, faktor fundamental saja cukup bagi perusahaan yang ingin melakukan IPO, tetapi perlu diimbangi dengan prospek pertumbuhannya seperti apa ke depan.

“Fundamental bagus, tidak cukup, yang penting story kedepannya gimana. Growth story-nya ke depannya bagaimana. Kemudian pick the right window,” ujar Oki.

Selain soal suku bunga The Fed, menurut Oki saat ini banyak perusahaan masih mencermati terkait   transisi ke pemerintahan baru Indonesia. 

Oki mengungkapkan, Mandiri Sekuritas sendiri hingga saat ini belum membawa satupun perusahaan untuk melantai di Bursa. 

“Bisnis Mandiri Sekuritas hingga saat ini masih lebih banyak ditopang oleh penerbitan obligasi rupiah dan dolar, hingga advisory merger dan akuisisi,” pungkasnya.


Jurus Bank Mandiri Hadapi Kebijakan The Fed hingga Pelemahan Rupiah

Nasabah melakukan transaksi di cabang Bank Mandiri Pertamina UPMS III, Jakarta, Rabu (28/6). Bank Mandiri memberikan layanan perbankan terbatas kepada nasabah secara bergantian pada musim liburan Idul Fitri 26-30 Juni 2017. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Bank Mandiri menyiapkan strategi dan langkah mitigasi perbankan untuk antisipasi kebijakan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed) dan Bank Indonesia,serta nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Direktur Utama Bank Mandiri, Darmawan Junaidi menuturkan, dalam beberapa waktu terakhir, pasar global mengalami ketidakpastian yang signifikan, terutama terkait dengan nilai tukar rupiah yang melemah terhadap dolar AS. 

"Kami melihat dalam beberapa waktu terakhir terjadi market jittery yang menyebabkan pelemahan nilai tukar rupiah terhadap USD, yang di antaranya disebabkan oleh fenomena strong dolar AS," ujar Darmawan dalam konferensi pers, Rabu (31/7/2024).

Darmawan menuturkan, fenomena ini disebabkan oleh kekuatan dolar AS yang dipicu oleh ketidakpastian mengenai waktu penurunan Fed Fund Rate, serta dinamika politik dan pemilu di Amerika Serikat yang meningkatkan volatilitas pasar keuangan global.

Di tingkat domestik, Bank Indonesia mempertahankan BI Rate pada level 6,25 persen untuk mendukung stabilisasi nilai tukar rupiah dan menarik aliran masuk modal asing.

 


Dampak terhadap Kinerja Perbankan

Darmawan menuturkan, pihaknya perkirakan ada penurunan Fed Fund Rate dan BI Rate masing-masing sekitar 25 basis poin pada kuartal keempat 2024.

"Selain suku bunga acuan, hal lain yang berdampak pada kinerja perbankan adalah likuiditas di pasar yang mempengaruhi pada biaya dana," tutur Darmawan. 

Dalam menghadapi tantangan tersebut, likuiditas pasar dan biaya dana menjadi fokus utama. Saat ini, tingkat biaya dana industri perbankan berada pada level rata-rata 2,83 persen, meningkat 50 basis poin dibandingkan tahun lalu. 

Namun, Darmawan mengatakan, Perseroan berhasil menjaga biaya dananya di bawah rata-rata industri, dengan cost of fund sebesar 2,08 persen.

Untuk menjaga profitabilitas di tengah tantangan ini, Bank Mandiri mengoptimalkan strategi pengelolaan biaya dana dengan mendorong pertumbuhan CASA (Current Account Saving Account) transaksional melalui platform Livin dan Kopra. 

 

Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya