Liputan6.com, Jakarta - Akses energi yang berkualitas merupakan hak masyarakat. Dengan akses energi berkualitas yang mampu menyediakan listrik selama 24 jam dengan tegangan stabil, aktivitas ekonomi dapat dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan bahwa pada tahun 2023, lebih dari 99,78 persen wilayah di Indonesia telah teraliri listrik. Angka capaian ini perlu dicermati lebih lanjut untuk memastikan akses energi yang diterima masyarakat dapat memenuhi layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan serta menggerakkan aktivitas ekonomi.
Advertisement
Akses energi berkualitas yang mampu memenuhi kebutuhan tersebut penting untuk memastikan bahwa melalui energi yang diterima, masyarakat dapat makin berdaya dan mandiri.
Situasi geografis Indonesia yang banyak terpisah oleh bentang alam seperti area pegunungan, pesisir, ataupun kepulauan menjadi tantangan dalam penyediaan energi. Sistem energi Indonesia saat ini masih mengandalkan model penyediaan energi yang terpusat untuk kemudian disalurkan melalui jaringan transmisi.
Model penyediaan energi seperti ini memiliki risiko terganggunya seluruh sistem apabila terdapat gangguan pada salah satu bagian transmisi, seperti terjadi pada Juni 2024 di Sumatera.
Situasi Indonesia ini membutuhkan pendekatan pembangkit energi terdesentralisasi dengan memanfaatkan potensi sumber energi lokal. Pembangkit berbasis energi terbarukan seperti energi surya menjadi pilihan potensial untuk memperkuat akses energi di Indonesia karena potensinya yang mencapai 3.000-20.000 GWp.
Dari kacamata konsumen, penggunaan energi baru terbarukan (EBET) sangat penting. YLKI menyatakan bahwa penggunaan energi terbarukan merupakan salah satu bentuk tanggung jawab konsumen untuk mewujudkan pola konsumsi yang berkelanjutan (sustainable consumption).
"Salah satu sumber EBET yang tersedia dan mudah diakses konsumen adalah energi surya. YLKI mendorong semua pihak untuk menciptakan iklim kebijakan dan regulasi yang kondusif, sehingga masyarakat bisa dengan mudah mengakses dan menginstalasi energi surya untuk memenuhi kebutuhan energi mereka,” jelas Tulus Abadi, Ketua Pengurus Harian YLKI pada Diskusi Kelompok Terpumpun (Focused Group Discussion) PLTS dalam Opini Konsumen: Arah, Tantangan, Dukungan Saat Ini dan Masa Depan yang dilaksanakan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) berkolaborasi dengan IESR dan Koaksi Indonesia.
Selain membangun ekosistem pendukung tumbuhnya energi terbarukan, salah satunya energi surya, dan membuka akses informasi kepada masyarakat untuk bisa memanfaatkan energi terbarukan secara mandiri, aksi dukungan pada kebijakan energi tetap harus digalakkan. Marlistya Citraningrum, Manajer Program Akses Energi Berkelanjutan IESR, menyebutkan bahwa energi surya merupakan sumber energi yang demokratis.
"Dari beragam contoh pengembangan energi surya di Indonesia, terdapat empat catatan penting untuk memastikan dampaknya berkelanjutan, yaitu (1) berorientasi pada pengguna dan dampaknya, (2) identifikasi sistem yang sesuai dengan konteks lokal, (3) pendampingan berkelanjutan bagi komunitas dan masyarakat, serta (4) pengelolaan yang profesional," kata Citra.
Selain itu, pemetaan sumber pembiayaan inovatif perlu dilakukan untuk memastikan kebutuhan pengembangan energi surya direalisasikan dengan optimal. Misalnya, dana desa, iuran swadaya masyarakat, dan program-program corporate social responsibility (CSR).
PLTS Atap Tumbuh Signifikan
Edukasi publik untuk pengembangan PLTS juga perlu mendapatkan perhatian serius. Minimnya pengetahuan publik atas informasi energi yang berkelanjutan ini tentunya akan berbanding lurus dengan permintaan, sehingga diperlukan upaya edukasi melalui berbagai medium dengan bahasa yang mudah dipahami.
"Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Koaksi Indonesia tahun 2019 diketahui bahwa 64% responden pernah melihat teknologi energi terbarukan, namun tidak merasa relevan dengan kehidupan sehari-hari,” kata Fitrianti Sofyan, Manajer Komunikasi dan Kampanye Koaksi Indonesia.
Vice President Penjualan PT PLN (Persero), Rahmi Handayani menjelaskan kenaikan pelanggan PLTS atap menjadi cerminan minat masyarakat menggunakan energi surya. Dari 2018—2024 jumlah pelanggan PLTS atap naik 15 kali, dari 609 menjadi 9.324 pelanggan.
Secara kapasitas juga naik dari 2 MWp pada 2018 menjadi 197 MWp pada tahun 2024, atau naik sebanyak 98 kali.
"Minat masyarakat pada PLTS atap tinggi juga. Terlihat dari kuota PLTS atap pada Juli 2024 yang terjual sebanyak 88 persen atau 901 MWp," kata Rahmi.
Terdapat potensi pemanfaatan energi surya dalam berbagai kondisi. Tren adopsi PLTS atap juga menunjukkan peningkatan signifikan dalam 5 tahun terakhir. Kerjasama berbagai pihak melibatkan pemerintah, organisasi masyarakat sipil, dan pihak-pihak terkait untuk mengedukasi dan mendampingi masyarakat dalam upaya memanfaatkan energi surya dibutuhkan.
Advertisement