Liputan6.com, Jakarta - Emisi sektor industri di Indonesia terus meningkat pada periode 2011-2022. Pada 2022, emisi sektor industri mencapai lebih dari 400 juta ton setara karbondioksida, yang berasal dari penggunaan energi, proses produksi dan penggunaan feedstock, serta limbah.
Penggunaan energi fosil untuk menghasilkan panas di proses industri dan pembangkitan listrik menjadi penyebab peningkatan emisi gas rumah kaca tersebut.
Advertisement
Agar penurunan emisi di sektor industri dapat turun secara signifikan, Kementerian Perindustrian mendorong aksi dekarbonisasi melalui perancangan peta jalan industri hijau untuk mencapai target net zero emission (NZE) atau emisi nol bersih pada 2050.
Institute for Essential Services Reform (IESR) bekerja sama dengan Kementerian Perindustrian menyelenggarakan Lokakarya dalam rangka merancang Kajian Peta Jalan Dekarbonisasi Sektor Industri di Indonesia pada Kamis (8/8/2024). Kegiatan ini merupakan bagian dari penyusunan peta jalan dekarbonisasi sub-sektor industri tekstil, keramik dan kaca, makanan dan minuman, dan alat angkut yang dilakukan IESR.
Kepala Pusat Industri Hijau, Kementerian Perindustrian, Apit Pria Nugraha menjelaskan keberadaan peta jalan dekarbonisasi industri di Indonesia akan memberikan panduan arah dan kebijakan yang jelas untuk mendorong industri yang lebih ramah lingkungan dan berdaya saing tinggi.
Menurutnya, kebijakan penurunan emisi di sektor industri perlu diimplementasikan dengan fokus pada peningkatan daya saing sosial yang kuat, inklusif, dan berkelanjutan dari aspek sosial, ekonomi dan lingkungan.
"Saat ini kami tengah mempersiapkan langkah strategis sebagai pendukung dekarbonisasi di sektor industri, di antaranya peta jalan dan regulasi dekarbonisasi di sektor industri dan sub-sektor prioritas, peta jalan perdagangan karbon untuk sektor industri, tata laksana nilai ekonomi karbon untuk sektor industri, regulasi penggunaan CCS/CCUS dengan fokus penangkapan dan pemanfaatan karbon di sektor industri, dan sistem informasi perdagangan karbon sektor industri yang terintegrasi dengan sistem registri nasional (SRN),” ungkap Apit.
Selanjutnya, Apit mengajak kolaborasi antar Kementerian Perindustrian, Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk mengintegrasi instrumen pelaporan dan pengawasan (monitoring) dengan tetap mengakomodasi tujuan masing-masing kementerian sehingga menyelaraskan data dan memudahkan pelaku industri membangun industri hijau.
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengungkapkan kajian IESR telah merumuskan lima pilar dekarbonisasi yang dapat menjadi dasar dalam pembuatan peta jalan industri hijau, yaitu: 1) efisiensi sumber daya/material, 2) efisiensi energi, 3) pemanfaatan bahan bakar, bahan baku dan sumber energi rendah karbon, 4) elektrifikasi proses industri, 5) penggunaan CCS/CCUS (Penangkapan dan Penyimpanan Karbon) bagi proses industri yang emisinya sulit dihilangkan (hard to abate sector).
Menurutnya, tren transisi energi yang mendorong penurunan emisi di sektor industri telah memicu kompetisi industri global untuk berproduksi dengan jejak karbon rendah dan lebih ramah lingkungan. Penetapan dan perancangan strategi dekarbonisasi industri dapat menjadi salah satu cara untuk meningkatkan daya saing dan daya tarik investasi di sektor industri dan manufaktur Indonesia jangka panjang.
"Perencanaan, dukungan kebijakan, dan regulasi diperlukan untuk melakukan dekarbonisasi industri. Selain itu, industri yang mau dan siap untuk melakukan dekarbonisasi, perlu diberikan insentif,” ujar Fabby.
Industri Hijau Tingkatkan Kualitas Lingkungan
Fabby menekankan penciptaan industri NZE 2050 akan memberikan manfaat internal dan eksternal bagi sektor industri. Menurutnya, manfaat internal adalah penghematan biaya produksi, potensi dari penghematan biaya pajak karbon, penghematan biaya pengembalian dampak lingkungan serta membuka peluang target pasar baru dan menaikkan daya saing produk, terutama melihat masa depan pasar yang cenderung memilih produk yang berkelanjutan dan rendah karbon.
Sementara secara eksternal, industri hijau akan membuka peluang pekerjaan hijau, menaikkan kualitas lingkungan dan keberagaman hayati, dan menurunkan kebutuhan subsidi kesehatan.
Koordinator Program Dekarbonisasi Industri dari IESR, Faricha Hidayati memaparkan pendekatan dekarbonisasi kawasan terintegrasi atau dekarbonisasi kawasan industri dapat mengurangi emisi operasional hingga 50 persen, mengamankan pasokan energi dan meminimalisir risiko investasi dalam adopsi teknologi.
Berdasarkan data Kementerian Perindustrian pada tahun 2023, terdapat 136 kawasan industri, dengan 84 kawasan industri masih berada di Pulau Jawa. Namun, akan ada tambahan 24 kawasan industri lainnya berdasarkan Permenko Perekonomian No 21/2022, dimana 92 persennya akan dibangun di luar Pulau Jawa.
"Dalam melakukan dekarbonisasi di sektor industri, ekosistem pendukung perlu dikembangkan. Pertama, pengembangan pasar produk ramah lingkungan domestik dan menaikkan daya saing bisnis di kancah global. Kedua, pengembangan program riset teknologi rendah karbon untuk industri akan mempercepat komersialisasi dan menurunkan harga teknologi secara domestik. Ketiga, pengembangan tenaga kerja dan bantuan teknis yang dapat membantu memastikan bahwa transisi industri berjalan berkeadilan,” imbuh Faricha.
IESR berharap rencana dekarbonisasi sektor industri untuk mencapai NZE 2050 dapat memicu sektor-sektor penghasil emisi GRK lainnya untuk menetapkan target NZE yang lebih ambisius sebelum 2060, lebih cepat dari target pemerintah.
Advertisement