Mengenal Hewan Sebodo, Lambang Harga Diri dan Cinta Kasih Orang Rimba

Dalam bahasa rimba atau Orang Rimba menyebut kura-kura air tawar adalah Sebodo. Hewan yang hidup di air ini bagi Orang Rimba sebagai lambang harga diri dan cinta kasih.

oleh Gresi Plasmanto diperbarui 11 Agu 2024, 00:00 WIB
Orang Rimba menggotong kura-kura air tawar atau Sebodo dalam buruannya. Dalam sistem kepercayaan Orang Rimba, hewan ini melambangkan jati diri dan cinta kasih. (Liputan6.com/dok KKI Warsi)

Liputan6.com, Jambi - Kedua sorot mata Gentar berbinar ketika melihat air sungai kecil mengalir tenang. Gentar yang merupakan masyarakat adat Orang Rimba berasal dari sekitar Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) Jambi itu perlahan mendekat ke bibir sungai. 

Badannya membungkuk, matanya melotot dan melihat seksama pada dedauan kecil di tepi sungai itu yang tercabik. Naluri berburu Gentar keluar. Sigap dia membuka lubang di pinggir sungai, tepat di bawah daun separuh sobek itu.

Setelah terbuka cukup lebar, ia memasukkan tangan kirinya lubang. Gentar terus menyorongkan tangannya, hingga pipinya menyentuh tanah pinggir sungai. 

Meski pada posisi sulit, wajahnya yang setengah miring itu semringah hebat. Tangannya telah menggapai sesuatu bercangkang. Perlahan ditariknya tangannya keluar dari lubang. 

Syahdan hewan kura-kura air tawar ukuran sedang terangkat di tangannya. Kura-kura air tawar itu oleh Orang Rimba di sebut Sebodo. Hewan itu tahu telah tertangkap dan menyembunyikan kaki dan kepalanya ke dalam cangkangnya yang keras. 

Nioma, penengkulan, oleh-oleh nan beik untuk keluarga (ini buah tangan, oleh-oleh yang baik untuk keluarga,” kata Gentar yang berhasil mengumpulkan enam ekor Sebodo pada Jumat (2/8/2024).

Melihat Gentar berhasil menangkap Sebodo, Bepak Bejoget dan Ngeretek turut serta turun ke sungai. Mereka melakukan hal yang sama. Menelisik lubang di pinggir sungai dan memulai aksi perburuan itu.  

Riuh mereka menggali lubang-lubang, dan berharap hewan yang menjadi makanan kategori terenak bagi Orang Rimba itu, terus berhasil di dapatkan. Akhirnya mereka menghasilkan, satu persatu mereka menarik keluar sebodo dari sarangnya. 

Supaya Sebodo yang telah berhasil ditangkap tidak hilang, hewan tangkapan itu diletakan di pematang sungai, dengan posisi terbalik. Setelah cukup banyak terkumpul hewan itu di masukkan ke dalam karung.

Hari itu mereka beruntung, lebih beruntung lagi Ngeretek bisa mendapatkan sebodo dengan ukuran terbesar, dengan diameter lebih dari 30 sentimeter. 


Lambang Harga Diri dan Cinta Kasih kepada Istri

Gentar (kiri) mengangkat kura-kura air tawar (Sebodo) usai berburu. (Liputan6.com/dok KKI Warsi)

Raut wajah bungah terlihat dari sejumlah pria Orang Rimba--suku pedalaman asli Jambi yang masih menggantungkan hidup dari berburu dan meramu. Ini juga yang membuat mereka sanggup berjalan jauh, demi berburu untuk mendapatkan pasokan makanan bagi keluarganya.

Seperti yang terjadi dalam momen berburu kali ini. Berburu hewan hari itu dilakukan di pinggir Kota Jambi yang masih terdapat hutan, berjarak ratusan kilometer dari ‘genah’ atau pemukiman mereka di Taman Nasional Bukit Dua Belas. 

Awalnya, kunjungan ke Kota Jambi untuk suatu kegiatan lain. Hanya saja ketika melihat ada peluang untuk berburu, mereka tetap menjalankan kebiasaannya itu. Uniknya, meski di alur sungai itu banyak sekali yang diduga berisi Sebodo, mereka tidak mengambil semua. 

Masing-masing orang hanya mengambil maksimal 6 ekor. Bagi Orang Rimba berburu hanya untuk kebutuhan makan sesaat itu, tidak disimpan untuk beberapa waktu. 

Sebodo, sejatinya adalah makanan kesukaan untuk perempuan Orang Rimba. Membawa buruan Sebodo ini akan menjadi pembuktian dan keahlian berburu, sebagai kemampuan terbaik Orang Rimba menjadi diakui. 

Kamia, belik ke genah, hopi bewo sen hopi ngepo, tapi hopi bewo louk, ei hopi melawon (Kami kalau pulang ke rumah, tanpa bawa uang tidak apa-apa, tapi kalau tidak bawa hasil buruan, tandanya tidak hebat),” kata Gentar.

Selain makanan favorit Orang Rimba, Sebodo merupakan lembang harga diri bagi lelaki Orang Rimba dalam buruannya. Berburu adalah keahlian yang menjadi nilai dan penghargaan terhadap keberadaan lelaki dewasa, terlebih jika mereka sudah berumah tangga.

Inilah juga yang menyebabkan Gentar dan Orang Rimba lainnya, tidak bersedia menjual hasil buruannya dan menggantikannya dengan uang. 

Eh hopi ndok diganti sen (eh tidak mau di ganti uang),” kata Ngeretek. 

Baginya uang seberapa pun tidak akan menggantikan Sebodo yang telah ditangkapnya. Dia akan menjaga Sebodo dengan baik sampai waktunya kembali ke pemukiman mereka di Bukit Dua Belas.

Sebodo berbeda dengan hewan buruan lain, membawanya pulang ke rumah selain sebagai perlambang kehebatan pria, juga sebagai lambang cinta kasih kepada istri. 

“Sebodo paling enak hatinya, makanan betino (perempuan) Orang Rimba,” kata Tumenggung Njalo. 

Selain hati, jika beruntung di dalam badan Sebodo itu juga terdapat telur, bagian terenak lainnya. Selebihnya daging dengan lemak yang cukup banyak, menjadikan Sebodo santapan yang lezat. 

Cara pengolahannya pun sederhana, Sebodo dibersihkan isi perutnya, kemudian dikembalikan ke dalam cangkang dan dimasak langsung menggunakan cangkangnya itu.

Meyakini sebodo adalah buraun terenak, membuat Orang Rimba sanggup berjalan jauh. Malahan pernah mereka sampai ke Riau, menghabiskan biaya yang banyak untuk perjalanan dan membawa pulang beberapa Sebodo.

Secara hitung-hitungan angka, memang tidak sebanding apa yang dikeluarkan dengan yang dihasilkan. Namun ketika bicara harga diri dan cinta, semua nilai angka menjadi sirna. 


Hutan Bagi Orang Rimba Seperti Supermarket

Orang rimba Jambi. (Liputan6.com / dok KKI Warsi)

Kebutuhan hutan untuk menjalankan ritus dan tradisi, Orang Rimba membutuhkan alam yang mendukung. Hutan rimba dengan flora dan fauna yang ada di dalamnya menjadi bagian yang terpisahkan bagi kehidupan masyarakat adat. 

Dalam kosmologi Orang Rimba, hutan memiliki multifungsi dalam menunjang kehidupan mereka. Selain sebagai ruang hidup, hutan menyediakan sumber makanan. Bahkan keberadaan hutan juga menjadi medium untuk menghubungkan dewa-dewa.

Orang Rimba atau Suku Anak Dalam (SAD) sangat bergantung pada hutan. Hutan bagi mereka seperti supermarket. Di dalam hutan banyak menyediakan sumber makanan dan ramuan obat.

Namun kini tradisi meramu dan berburu yang menjadi tradisi Orang Rimba, hari demi hari menjadi semakin sulit untuk di jalankan. Penyusutan hutan dan pertambahan populasi menjadikan tradisi ini semakin sulit dijalankan. Orang Rimba berharap hutannya tetap ada, tetap dipelihara. 

Kami nioma di rimba, harop rimba hopi bulih habiy, rimba tetap ada,” harapan Meratai Orang Rimba lainnya. 

Dia menyatakan selama ini, kehidupan di rimba menjadi bermakna ketika mereka bisa menjalankan tradisi sesuai. Dengan pola berburu yang hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup Orang Rimba mampu menjaga keseimbangan dan ketesedian pasokan di alam. 

Ketika habitatnya yang beralih fungsi dan semakin menyempit disitu keresahan itu muncul. Mendukung Orang Rimba mempertahankan hutan dan mendukung upaya-upaya perlindungan dan memulihkan hutan, sejatinya menjadi tanggung jawab kita bersama.

“Orang Rimba merupakan bagian integral dari ekosistem alam. Dengan keahlian dalam berburu dan meramu, mereka telah menjaga keseimbangan ekosistem dan melestarikan keanekaragaman hayati selama berabad-abad. Hutan bagi mereka adalah sumber kehidupan, tempat bernaung, dan juga merupakan bagian dari spiritualitas serta budaya mereka yang kaya,” kata Sukmareni, Koordinator Divisi Komunikasi KKI Warsi, organisasi yang aktif melakukan pendampingan pada masyarakat adat. 

Namun, saat ini, Orang Rimba menghadapi ancaman serius akibat deforestasi dan konversi hutan menjadi lahan pertanian serta aktivitas tambang. Hutan yang selama ini mereka andalkan semakin berkurang, mengancam tidak hanya mata pencaharian mereka tetapi juga warisan budaya yang telah diwariskan turun-temurun.

Di Hari Masyarakat Adat 2024 ini, KKI Warsi menyoroti pentingnya perlindungan terhadap hak-hak Orang Rimba serta upaya pelestarian hutan. Mereka tidak hanya hidup dari berburu dan meramu, tetapi juga memainkan peran krusial dalam menjaga keseimbangan ekosistem yang mendukung kehidupan banyak spesies lain, termasuk manusia. 

Hutan yang dikelola oleh Orang Rimba berfungsi sebagai penyangga terhadap perubahan iklim dan bencana alam, serta sebagai sumber daya penting bagi masyarakat luas.

Kehilangan hutan berdampak tidak hanya pada komunitas adat seperti Orang Rimba tetapi juga pada seluruh planet kita. Hutan yang hilang berkontribusi pada perubahan iklim, penurunan kualitas udara, dan hilangnya keanekaragaman hayati. 

"Melindungi hutan dan mendukung hak-hak Orang Rimba adalah langkah penting dalam mencapai keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan global,” kata Sukmareni.

Untuk itu lanjut Reni, di momen hari Masyarakat Adat ini, pihaknya menghimbau semua pihak untuk mendukung hak-hak masyarakat adat dan perlindungan hutan, serta terlibat aktiv dalam upaya memulihkan bumi.  

"Mari kita bersama-sama merayakan warisan budaya Orang Rimba dan berkomitmen untuk melindungi hutan mereka. Melalui tindakan kita, kita dapat membantu memastikan bahwa tradisi yang berharga ini dapat terus ada dan berkontribusi pada keseimbangan ekosistem yang sehat untuk generasi mendatang,” demikian kata Reni. 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya