Liputan6.com, Jakarta - Capres Partai Demokrat, Kamala Harris, telah memilih Gubernur Minnesota Tim Walz sebagai cawapres untuk mendampinginya di pilpres AS 5 November 2024. Hal ini diluar perkiraan saya yang dalam opini beberapa hari lalu meramalkan Harris akan memilih Gubernur Pennsylvania, Josh Shapiro, sebagai pendamping. Tapi hal ini tidak terlalu mengejutkan juga karena Walz dan Shapiro menjadi dua finalis terakhir dalam proses seleksi cawapres.
Sebagai politisi yang usianya relatif muda, meraih approval rating 61% di Pennsylvania dan pada pemilihan gubernur di 2022 unggul di semua segmen pemilih berusia 18-29 tahun hingga 65 tahun ke atas, didukung mayoritas pemilih Kulit Putih, Kulit Hitam dan Latino, serta didukung mayoritas pekerja white collar maupun blue collar, Shapiro bisa membantu Harris menjangkaui banyak konsituen yang pada pilpres 2020 tidak mendukung Joe Biden.
Advertisement
Saya sependapat dengan sejumah analis politik AS bahwa dengan memilih Shapiro, Harris memiliki jalur termudah untuk memenangkan pilpres. Dengan memenangkan Pennsylvania yang merupakan negara bagian paling ‘bandel’ tapi suara elektoralnya terbesar di Blue Wall, Harris hampir dipastikan akan memenangkan Michigan dan Wisconsin juga dan meraih 270 suara elektoral.
Chief political analyst di The New York Time, Nate Cohn, mengatakan bahwa dengan memilih Walz, Harris melepaskan kesempatan untuk meraih home-state effect berupa kenaikan suara 1% hingga 2% yang bisa disumbang oleh Shapiro di Pennsylvania. Selain itu, kata Cohn, dengan berbagai kebijakan progresif Walz, Harris tidak bisa melepaskan diri dari label “ultra-kiri” yang disematkan oleh Partai Republik kepadanya.
Sementara analisis yang dilakukan oleh data analyst MSNBC, Steve Kornachi, terhadap perolehan Biden di Minnesota di pilpres 2020 dan perolehan Walz di pilgub negara bagian ini pada 2022 menunjukkan bahwa konstituen yang mendukung Biden dan Walz hampir sama. Biden dan Walz sama-sama meraih suara mayoritas di kawasan perkotaan seperti Hennepin county yang mencakup pula kota Minneapolis tapi meraih suara minoritas di kawasan pedesaan seperti Becker county. Jadi meskipun pernah menjadi anggota DPR mewakili Distrik 1 Minnesota yang merupakan kawasan pedesaan selama 6 periode, pada pilgub 2022 Walz ternyata gagal menarik konstituen di pedesaan yang umumnya mendukung Partai Republik.
Sedangkan analis poling kawakan, Nater Silver, mengatakan dia menyarankan Kamala Harris untuk memilih Shapiro dengan alasan sederhana: Menaikkan peluang untuk memenangkan Pennsylvania sebagai swing state paling penting. Dalam kalkulasi Silver, Pennsylvania adalah negara bagian tipping point dengan bobot 34% bagi kemenangan Harris maupun Trump, disusul oleh Wisconsin 17% dan Michigan 10%, sedangkan Minnesota bukan tipping point. Menurut Silver, jika Harris memenangkan Pennsylvania maka peluangnya menjadi presiden AS sudah mencapai 91,3%. Jika Trump yang menang di Pennsylvania, peluangnya untuk menjadi presiden AS kedua kalinya mencapai 95,9%. Silver menyayangkan Partai Demokrat terlalu melebih-lebihkan isu Gaza dan ke-Yahudi-an Shapiro, serta mengabaikan pentingnya elemen moderat yang dimiliki Shapiro yang bisa mendongkrak dukungan pemilih di pilpres.
Senada dengan Cohn, Silver dan Kornachi, Senior Political Data Reporter CNN, Harry Enten, dalam analisisnya yang bertajuk “The math behind why Harris picked Walz and why she may regret it,” mengatakan bahwa dengan tidak memilih Shapiro sebagai cawapres, Harris menafikkan poin-poin penting seperti tingkat kesukaan pemilih terhadap Shapiro di Pennsylvania yang mencapai 61% dan Shapiro jauh lebih populer dari Walz di kalangan pemilih lulusan SMA ke bawah, yang menjadi salah satu basis kekuatan Partai Republik. Jadi Enten yakin bahwa jika Harris kalah di Pennsylvania, sejarah akan mencatat adanya penyesalan di kubu Partai Demokrat.
Sedangkan kolumnis The New York Times, Ezra Klein, dalam podcast bertajuk “Kamala Harris Isn’t Playing It Safe” mengaku sependapat dengan Silver bahwa Pennsylvania adalah negara bagian penentu kemenangan di pilpres AS dan Shapiro adalah kandidat cawapres paling tepat. Meskipun ada penentangan dari kelompok progresif terhadap Shapiro, Klein yakin penentangan itu tidak terlalu signifikan, sehingga Shapiro adalah pilihan yang aman. Apalagi, menurut Klein, Partai Demokrat sudah bersatu di belakang Harris dan posisi Shapiro mengenai Israel tidak beda jauh dengan Harris maupun kandidat cawapres lain.
Menurut Klein, Harris sekarang memang lebih kompetitif dari Biden, tapi masih sama kuat dengan Trump di Pennsylvania, Wisconsin, dan Michigan. Harris juga semakin kompetitif di Georgia, Arizona, dan Nevada, tapi belum membuat Trump menjadi capres underdog. Menurut Klein, pemilihan Tim Walz hanya membuat Partai Demokrat punya pasangan capres-cawapres yang ‘normal,’ senormal kehidupan warga AS, bukan pasangan ‘weird’ atau aneh seperti Trump-Vance.
Senjata Pamungkas Kamala Harris
Di tengah kekecewaan para pakar politik pro-Demokrat karena tim Harris mengambil jalur sulit dengan tidak memilih Shapiro, tim Harris sepertinya punya senjata pamungkas yang mereka sangat andalkan: David Plouffe. Seperti dilaporkan berbagai media, tim kampanye Harris telah merekrut jararan penesehat senior baru dari era Barack Obama yakni David Plouffe, Brian Nelson, Stephanie Cutter, Mitch Stewart, Terrance Woodbury dan Jen Palmieri. Di antara semuanya, Plouffe adalah figur yang paling menonjol.
Plouffe adalah arsitek politik di belakang kesuksesan Obama dalam kampanye pilpres 2008 dan 2012, sehingga pernah diangkat menjadi penasihat Obama di Gedung Putih. Menurut The Week, Plouffe adalah pakar strategi paling berbakat yang pernah dimiliki Partai Demokrat. Dia sangat organized, selalu punya rencana dan mengeksekusi rencana tersebut secara sistematis. Salah satu keahlian Plouffe adalah memadukan teknologi digital dengan kampanye di akar rumput (grassroot) melalui aktivitas door-to-door masif yang sekarang sudah mulai dijalankan oleh Harris.
Dalam wawancaranya dengan majalah Esquire pada 2014, Plouffe mengatakan dia selalu fokus pada bagaimana meraih 270 suara elektoral (suara elektoral minimal untuk memenangkan pilpres) dan setiap membuat keputusan selalu mengacu pada fokus tersebut. Plouffe mengaku suka dengan kompetisi dan pemilu adalah soal menang atau kalah. Sementara menurut Steve Elmendorf, salah satu teman dekat Plouffe kepada The New York Times, Plouffe mempunyai passion untuk menang dan passion untuk menyiapkan operasi guna meraih kemenangan tersebut. Kesuksesan Obama di pilpres 2008 dan 2012 menjadi bukti kepiawaian Plouffe.
Pada pilpres 2008, Plouffe mengaku menjadi manajer kampanye Obama dengan memulai semuanya dari nol—tidak ada dana dan hanya punya satu kantor dengan lima orang staf. Tapi ternyata Obama sukses tidak saja mengalahkan Hillary Clinton, kandidat yang didukung kalangan establishment Partai Demokrat, di primary, tapi juga menang telak atas John McCain di pilpres 4 November 2008 dengan meraih 365 vs 173 suara elektoral.
Menjalang pilpres 2012, Plouffe dipanggil ke Obama untuk menjadi penasihat senior yang bertugas menyusun messaging dan strategi politik Gedung Putih. Tapi menurut The Week, tugas utama Plouffe saat itu adalah menggalang kembali dukungan pemilih independen yang membelot ke Partai Republik pada pemilu sela 2010. Padahal, di pilpres 2008 mayoritas (52%) pemilih independen mendukung Obama.
Dengan kombinasi aktivitas digital, iklan TV dan operasi grassroot yang masif, Obama unggul atas Mitt Romney pada pilpres 6 November 2012 dengan meraih 332 vs. 206 suara elektoral. Obama unggul secara nasional dengan marjin +3,9%, padahal menurut poling rata-rata RealClearPolitics menjelang pilpres, Obama hanya unggul sebesar +0,7%. Poling rata-rata RealClearPolitics juga meramalkan Obama akan kalah di Florida dengan marjin -1,5%, tapi ternyata Obama menang +0,9%. Di hampir semua swing state lain, perolehan Obama rata-rata di atas prediksi poling-poling terakhir menjelang pilpres.
Selain itu, dalam artikel yang ditulisnya di majalah Time pada 9 Oktober 2009, Plouffe mengatakan bahwa dalam pemilihan cawapres di 2008, Obama sempat ingin mengambil jalur mudah dengan memilih Clinton karena dianggap kompeten, dapat membantu memenangkan pemilu Kongres dan punya reputasi internasional. Tapi Plouffe dan rekannya David Axelrod tidak setuju sehingga pilihan Obama kemudian jatuh pada Biden, kandidat cawapres yang pada saat itu tidak terlalu dikenal.
Hasilnya? Dengan menggandeng Biden sebagai cawapres, Obama unggul atas McCain dengan 365 vs 173 suara elektoral, Partai Demokrat menambah 8 kursi di Senat dan 21 kursi di DPR sehingga Partai Demokrat menguasai Gedung Putih dan meraih mayoritas di Senat dan DPR alias meraih trifekta politik. Jadi ketika Harris memilih jalur sulit dengan tidak menjadikan Shapiro sebagai cawapres, apakah Plouffe akan sukses mengulang ‘keajaiban’ yang diciptakannya di 2008 dan 2012 pada 5 November? Kita lihat saja hasilnya dalam 86 hari ke depan.
Advertisement