Khawatir Berlebihan akan Terjadinya Kiamat, Apa yang Harus Dilakukan?

Rasa takut yang berlebihan akan sesuatu dapat menghambat aktivitas dan produktivas seseorang sebab terganggunya ketenangan diri termasuk kekhawatiran akan terjadinya kiamat. Lantas, apa yang sebaiknya dilakukan?

oleh Putry Damayanty diperbarui 13 Agu 2024, 09:30 WIB
Ilustrasi kiamat, hari akhir. (Image by liuzishan on Freepik)

Liputan6.com, Jakarta - Kiamat atau hari akhir merupakan suatu misteri yang hanya diketahui oleh Sang Ilahi. Tak ada seorang pun yang mengetahui kapan datangnya hari kiamat tersebut sehingga tugas kita hanyalah mempersiapkan diri dengan sebaik mungkin.

Namun, terkadang manusia larut membayangkan hal-hal yang ada di luar kendali diri. Alih-alih memperbanyak introspeksi dan amal saleh, justru malah sibuk dengan membahas kapan terjadinya kiamat.

Memang benar, pembahasan akan hal-hal gaib termasuk kiamat merupakan topik yang menarik rasa penasaran. Akan tetapi, jawaban pastinya selalu nihil.

Membaca perihal tanda-tanda kiamat merupakan hal yang baik karena dapat membuat kita mawas diri. Hanya saja, tidak jarang pembahasan kiamat yang berlarut-larut menimbulkan kecemasan bagi sebagian orang.

Bahkan yang lebih parah lagi, sebagian orang mengalami rasa khawatir yang berkelanjutan, ketidakstabilan emosi, serta kecenderungan untuk menutup diri. Jika dampaknya demikian, apa yang sebaiknya dilakukan oleh seorang mukmin?

 

Saksikan Video Pilihan ini:


Jawaban Nabi ketika Sahabat Takut Kiamat

Ilustrasi hari akhir, kiamat. (Image by kjpargeter on Freepik)

Takut pada kiamat merupakan hal yang wajar. Bahkan, para sahabat yang sehari-hari selalu bersama dengan Nabi merasakan hal yang sama, yaitu khawatir akan hari kiamat. Tidak jarang Nabi menerima pertanyaan tentang kiamat dari para sahabat.

Dikutip dari laman NU Online, dikisahkan pada suatu hari, ketika Rasulullah sedang menyampaikan khutbah di depan para sahabat, seorang laki-laki tiba-tiba datang menghampiri seraya berdiri di hadapannya.

Sontak saja laki-laki tersebut bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, kapan kiamat akan terjadi?” Mendengar pertanyaan laki-laki tersebut, Rasulullah tidak langsung menjawab waktunya secara definitif. Beliau balik bertanya, “Apa yang sudah engkau persiapkan?”

Pertanyaan balik Rasulullah kepada penanya menunjukkan bahwa hal terpenting bukanlah berpikir tentang kapan kiamat akan terjadi, akan tetapi mempersiapkan diri dengan amal ibadah dan kebaikan untuk bekal di alam akhirat.

Kemudian laki-laki tersebut menjawab bahwa ia sama sekali tidak memiliki bekal yang banyak dari ibadah shalat, puasa dan lainnya, hanya saja ia sangat cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Lantas Nabi bersabda: “Engkau bersama orang yang engkau cinta.”

Riwayat tersebut dicatat oleh Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali (w. 505 H) dalam kitabnya.


Sikap Proporsional tentang Kabar Kiamat

Kiamat Terjadi Sangat Cepat, Surat An-Nahl: Seperti Sekejap Mata atau Lebih Cepat Lagi. Foto: Freepik.

Sebagaimana telah dijelaskan pada kisah di atas, membahas kiamat bukanlah sebuah kesalahan. Bahkan, sebenarnya baik jika pembicaraan tersebut dapat memunculkan dan meningkatkan amal baik serta menambah waktu introspeksi diri terhadap perbuatan yang telah dilakukan.

Hanya saja, jika setelah membahasnya justru timbul rasa takut yang berlebihan hingga lalai terhadap tugas dan kewajiban sebagai mukalaf, maka alih-alih memberikan dampak positif, aktivitas tersebut justru menjadi kontraproduktif. Berkaitan dengan hal ini, Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an: 

“Mereka (orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari Kiamat, ‘Kapankah terjadinya?’ Untuk apa engkau perlu menyebutkannya (waktunya)? Kepada Tuhanmulah (dikembalikan) kesudahannya (ketentuan waktunya). Engkau (Muhammad) hanyalah pemberi peringatan bagi siapa yang takut kepadanya (hari Kiamat). Pada hari ketika mereka melihat hari Kiamat itu (karena suasananya hebat), mereka merasa seakan-akan hanya (sebentar saja) tinggal (di dunia) pada waktu sore atau pagi hari.” (QS. An-Nazi’at: 42-45). 

Imam Abu Abdillah Syamsuddin al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini Allah turunkan ketika orang-orang musyrik Makkah banyak bertanya kepada Rasulullah perihal kapan terjadinya kiamat.

Kemudian ayat ini turun untuk menjelaskan kepada Nabi bahwa waktu terjadinya kiamat tidak perlu disebut secara definitif, karena hanya Allah yang tahu. Nabi saw cukup menjelaskan tanda-tanda dan peristiwa luar biasa yang akan terjadi ketika kiamat. (Imam al-Qurthubi, Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, [Riyadh: Daru Alamil Kutub, tt], jilid XIX, halaman 209).


Rasa Takut dan Cemas Berlebihan Tidak Dibenarkan

Ilustrasi kiamat | via: beritaenam.com

Sementara itu, menurut Syekh Wahbah az-Zuhaili, reaksi orang-orang Quraisy ketika Rasulullah saw menjelaskan tentang kiamat terbagi menjadi dua. Sebagian merasa takut sehingga menambah keimanan dan ketakwaan kepada Allah, sebagian lainnya semakin mengingkari kiamat secara penuh, bahkan golongan ini tidak jarang mencemooh Nabi karena penilaian mereka bahwa kiamat tidak akan pernah terjadi.

Dengan adanya dua reaksi tersebut, Rasulullah hanya menjelaskan perihal kiamat dan tanda-tandanya kepada orang-orang yang takut padanya saja. Harapannya, mereka dapat bisa mengambil manfaat dari informasi yang disampaikan oleh Rasulullah, sebagaimana Syekh Wahbah menyebutkan:

وَخُصَّ الْإِنْذَارُ بِأَهْلِ الْخَشْيَةِ لِأَنَّهُمْ الْمُنْتَفِعُوْنَ بِذَلِكَ

Artinya: “Pemberian peringatan hanya ditujukan kepada orang-orang yang takut (pada kiamat saja), karena hanya mereka yang akan mengambil manfaat dari peringatan tersebut.” (Syekh Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir fil Aqidah was Syari’ah wal Manhaj, [Damaskus: Darul Fikr al-Mu’ashir, cetakan kedua: 1418], jilid XXX, halaman 53).

Kesimpulannya, membahas soal kiamat adalah sebuah kebaikan jika dapat memberikan semangat untuk meningkatkan kualitas ibadah dan ketaatan. Jika tidak memberikan dampak apa-apa kecuali rasa takut dan cemas yang berlebihan, maka tentu hal ini tidaklah dibenarkan. Wallahu a’lam.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya