Liputan6.com, Bandung - Peneliti Pusat Riset Mekatronika Cerdas Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Estiko Rijanto, menyebutkan Artificial Intelligence (AI) dapat dimanfaatkan untuk membantu memprediksi penyakit tidak menular, khususnya terkait penapisan hipertensi.
Estiko berkolaborasi dengan tim medis pada Mei 2024 yang abstraknya terbit dalam suplemen Journal of Hypertension.
Advertisement
"Salah satu referensi kajian ini merujuk pada publikasi S. Koshimizu, yaitu sistem pengukuran tekanan darah berbasis AI. Hal ini memungkinkan pemantauan tekanan darah pasien secara terus menerus di luar rumah sakit. Ilustrasinya pengukuran indikator input terkait gaya hidup, lingkungan, dan genome. Kemudian disimulasikan dalam model AI, dan menghasilkan output dengan memanfaatkan instrumen digital untuk mengukur tekanan darah," ujar Estiko dicuplik dari laman BRIN, Minggu (11/8/2024).
Estiko mengatakan pengelolaan hipertensi akan membantu dokter klinis dalam memantau pasien sebelum terdeteksi mengalami hipertensi.
Penanganan berbasis prediksi tersebut dapat menekan risiko pasien mengalami penyakit kardiovaskuler.
"Perlu diingat, sistem ini tidak dapat mengganti peran dokter yang sifatnya bukan subtitusi, namun komplementer," ungkap Estiko.
Pengalaman riset lainnya juga dipaparkan Estiko terkait hipertensi studi potong lintang. Tujuan riset dilakukan untuk mengamati hipertensi menggunakan faktor risiko yang mudah diperoleh dan murah, serta dapat diterapkan di pusat kesehatan masyarakat seluruh Indonesia.
Metode riset ini memakai data lebih dari 250 ribu peserta, terdaftar di pos binaan terpadu penyakit tidak menular (POSBINDU PTM) seluruh Indonesia.
"Kami juga melakukan riset analisis kesintasan atau tingkat kelangsungan hidup pasien hipertensi berbasis data set pseudo kohor. Tujuan riset ini untuk memprediksi kesintasan sampai terjadi perubahan status hipertensi. Metode diolah dari data dasar, dan data pemantauan selama beberapa waktu menggunakan algoritma AI, dan metode tradisional sebagai pembanding," kata Estiko.
Estiko menambahkan, riset AI terkini yang dilakukannya adalah riset prediksi penyakit kardiovaskular berbasis studi longitudinal pada 2024 hingga sekarang, dari awal dan lanjutan.
Salah satu referensi riset ini menampilkan model prediksi tekanan darah sistolik dengan rata-rata dan deviasi standar untuk empat minggu ke depan. Berbasis data, deret waktu beberapa hari dan data konteks dari 280 peserta.
"Riset AI ini sifatnya berkelanjutan, risetnya juga berlanjut, namun ada implementasinya. Selain itu kerja sama antar pihak juga sangat diperlukan, baik dengan komunitas. Selanjutnya, masyarakat sebagai subjek pelayanan, akademisi atau periset sebagai eksekutor riset, pihak industri (misalnya penyedia data center), dan pihak regulator," ucap Estiko.
Tanggapan Kepala Organisasi Riset Kesehatan
Sementara itu Kepala Organisasi Riset Kesehatan BRIN, NLP. Indi Dharmayanti, mengatakan Penelitian Library of Medicine pada 2023 menyebutkan tingkat keakuratan AI dalam mendeteksi penyakit rata-rata mencapai 90%, meskipun presentasenya bervariasi.
Keberagaman presentase tersebut menunjukkan peran tenaga medis masih diperlukan, karena tidak dapat tergantikan oleh AI.
"AI memiliki potensi untuk mendiagnosis dan mendeteksi dini penyakit tidak menular, oleh sebab itu penelitian dan pengembangan berkelanjutan riset AI masih perlu dilakukan," ungkap Indi.
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) terus bekerja sama dengan berbagai pihak untuk berbagi informasi ilmiah dalam melaksanakan riset dan inovasi tepat guna dan sesuai kebutuhan. Sehingga dapat meningkatkan efisiensi, akurasi, dan kualitas layanan yang lebih baik dan inklusi.
AI Akan Bantu Sektor Kesehatan Indonesia
Dilansir Kanal Health, Liputan6, Menteri Kesehatan (Menkes) Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin, baru-baru ini mengungkapkan optimismenya terhadap perkembangan Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan di sektor kesehatan Indonesia.
Tak dimungkiri bahhwa kini Artificial Intelligence (AI) sudah merambah berbagai sektor kehidupan, mulai dari bisnis, pendidikan hingga kesehatan. Secara umum, AI meniru kecerdasan manusia dalam bentuk mesin, terusama sistem komputer.
Teknologi ini memungkinkan mesin untuk melakukan tugas-tugas yang biasanya membutuhkan kecerdasan manusia, seperti belajar, memecahkan masalah, dan membuat keputusan.
Dalam sebuah sesi talkshow di acara Google AI Untuk Indonesia Emas pada tanggal 3 Juni 2024, Menkes Budi menyatakan bahwa AI memiliki potensi besar untuk meningkatkan pemahaman kesehatan dan mempermudah akses pada informasi-informasi terbaru.
Budi mencontohkan bagaimana AI kemungkinan akan membantu sektor kesehatan dengan membantu memahami tubuh manusia lewat banyaknya neuron, sel, DNA, dan mikrobioma.
"Jika Anda ingin memahami bagaimana tubuh manusia bekerja, mana yang sehat dan mana yang tidak, Anda harus melakukan kombinasi dan permutasi masif dari tiga miliar DNA, 86 miliar neuron, 30 triliun sel, dan 37 triliun mikrobioma. Bisakah Anda bayangkan jika Anda menggunakan metode empiris normal untuk mempelajarinya?" ucapnya yang dikutip dari kanal YouTube Google Indonesia pada 4 Juni 2024.
"Kita membutuhkan kecerdasan buatan yang sangat besar untuk memahami bagaimana tubuh manusia benar-benar bekerja secara ilmiah dan memberikan layanan kesehatan terbaik kepada manusia," lanjutnya.
Advertisement
Akan Ada Banyak Perubahan
Budi Gunadi Sadikin juga menekankan bahwa akan adanya perubahan besar saat AI mulai diaplikasikan pada sektor kesehatan.
"Semua tenaga profesional kesehatan, termasuk dokter, perlu melihat kenyataan ini. Mengapa? Karena selama ratusan tahun, layanan kesehatan sangat empiris," tutur Budi.
Dalam pembelajaran di bidang kesehatan, pengalaman serta pengetahuan dari dokter sebelumnya menjadi acuan yang paling digunakan dan hal tersebut berlangsung secara berulang.
Sehingga, Budi mengungkapkan bahwa kehadiran AI kemungkinan akan merubah hal tersebut dengan bantuan AI yang dinilai lebih luas dan komprehensif.
"Jadi saya sangat percaya bahwa kecerdasan buatan ini akan sangat mengubah masa depan layanan kesehatan," lanjutnya.
Walaupun AI dinilai mampu mengerjakan berbagai macam tugas dan perintah, Budi mengatakan bahwa sebagai manusia kita juga harus memberikan pembelajaran kepada AI agar dapat bekerja sesuai dengan perintah yang diberikan.
"Saya pikir saya tidak setuju dengan anggapan AI adalah alat. AI seperti anak-anak kita. Kita mengajarkan mereka melakukan sesuatu, kita mengajarkan mereka pada tingkat fisik dan kemudian kita mengajarkan mereka pada tingkat intelektual," ucap Budi.
Selanjutnya, para ilmuwan juga harus mengembangkan tingkat emosional AI, sehingga AI memahami perbedaan antara baik dan buruk dan selalu membuat keputusan yang baik.
Dengan ini, manusia dapat merangkai AI dengan mempertimbangkan sampai tahap mana AI dapat bekerja dan seberapa akurat pekerjaan mereka.