Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) turut menyinggung anjloknya Purchasing Manager's Index, atau PMI Manufaktur Indonesia Juli 2024 yang terkoreksi ke level 49,3 dalan rapat sidang kabinet perdana di Ibu Kota Nusantara (IKN), Senin (12/8/2024).
Dalam hal ini, RI 1 turut mencurigai sejumlah alasan seperti serangan produk-produk impor yang membuat PMI Manufaktur Indonesia kian melemah.
Advertisement
Pasalnya, Jokowi menyayangkan capaian PMI Manufaktur negara yang telah ekspansif selama 34 bulan beruntun pada akhirnya harus masuk ke level kontraksi pada Juli 2024.
"Ini agar dilihat betul, diwaspadai betul secara hati-hati, karena beberapa negara di Asia PMI-nya juga berada di bawah angka 50. Yaitu Jepang 49,2, Indonesia 49,3, RRT 49,8, Malaysia 49,7," pintanya.
"Komponen yang mengalami penurunan paling banyak itu di sektor produksi, yaitu -2,6. Kemudian pesanan baru atau order baru -1,7, dan employment -1,4," beberapa Jokowi.
Segera Tangani
Jokowi meminta jajarannya untuk mencari betul penyebab utama kemerosotan ini dan segera diantisipasi. Sebab menurut catatannya, PMI memang konsisten turun sejak 4 bulan terakhir.
"Betul-betul dilihat kenapa permintaan domestik melemah. Bisa karena beban impor bahan baku yang tinggi, karena fluktuasi rupiah, atau adanya juga serangan produk-produk impor yang masuk ke negara kita," tegas Jokowi.
Dugaan lainnya, ia buka kemungkinan permintaan ekspor dari luar negeri memang melemah, atau terjadi gangguan pada rantai pasok maupun perlambatan ekonomi pada mitra-mitra dagang utama Indonesia.
"Sehingga penting belanja produk lokal sekali lagi saya tekankan, kemudian penggunaan bahan baku lokal, dan juga perlindungan terhadap industri dalam negeri kita. Sehingga kita harus bisa mencari pasar non tradisional dan mencari potensi pasar baru ekspor kita," tuturnya.
PMI Manufaktur Indonesia Anjlok, Sri Mulyani: Kita Masih Punya Harapan
Sebelumnya Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati buka suara soal anjloknya Purchasing Manager's Index atau PMI manufaktur Indonesia. Hal itu menanggapi laporan S&P Global yang merilis data PMI manufaktur Indonesia pada Juli 2024 yang tercatat turun ke level 49,3 atau terkontraksi.
Padahal pada Juni 2024, PMI Manufaktur Indonesia masih tercatat ekspansif di level 50,7. Menurut Sri Mulyani penurunan tersebut dipengaruhi oleh beberapa.
Pertama, dikarenakan ada permasalahan dari sisi permintaan (demand side), dimana terdapat barang manufaktur yang mengalami pengurangan. Penyebabnya akan diidentifikasi, apakah karena dipengaruhi faktor musiman atau persaingan perdagangan yang tidak sehat akibat produk impor atau bukan.
"Pemerintah akan terus mendukung dengan berbagai macam dukungan, terutama kalau ini serangannya impor yang sifatnya persaingan perdagangan yang tidak sehat, maka pemerintah akan melakukan langkah korektif. Biasanya instrumennya menggunakan PMK anti dumping dan berbagai hal, ini kami berkoordinasi dengan menteri terkait yaitu Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian," kata Sri Mulyani saat ditemui usai penyampaian Hasil Rapat KSSK, di kantor LPS, Jakarta, Jumat (2/8/2024).
Selain itu, melemahnya permintaan juga dipengaruhi oleh faktor luar negeri, utamanya ekspor. Lantaran beberapa negara saat ini tengah mengalami pelemahan ekonomi, diantaranya Amerika Serikat dan China.
Advertisement
Dorong Ekspor
Kendati begitu, Menkeu mengatakan Indonesia masih memiliki harapan untuk meningkatkan ekspor dengan membidik India. Namun mungkin tujuan ekspor India bukan barang manufaktur.
"Kita masih punya harapan terhadap India, hanya kalau India itu mungkin bukan barang manufaktur. Jadi ekspor kita bisa kuat, tapi barang manufaktur yang diukur dalam PMI itu memang cenderung pada manufaktur yang sifatnya labour intensive tradisional manufaktur Indonesia seperti tekstil, alas kaki sehingga mungkin tidak mencerminkan katakanlah manufaktur yang sekarang ini lagi banyak di Indonesia yaitu terutama hilirisasi," ujarnya.
Ia pun berharap anjloknya PMI manufaktur ini hanya bersifat sementara. Lantaran, kepercayaan bisnis dari produksi PMI pada Juli 2024 memberikan sinyal positif.
"Jadi, ini harapannya positif. Kondisi hari ini mungkin permintaannya melemah, tapi optimisme mereka dari sisi bisnis dan kepercayaan bahwa demand tahun depan menguat, itu memberikan harapan sehingga kita harapkan koreksi PMI zona kontraktif ini sifatnya sementara," pungkasnya.