Polusi Udara Perparah Risiko Asma, Pemerintah Bagikan Alat Spirometri ke Puskesmas

Prevalensi asma di Indonesia cukup mengkhawatirkan, dengan sekitar tujuh persen atau sekitar 18 juta individu terkena asma pada 2022. Kondisi diperparah oleh tingkat polusi udara yang memprihatinkan.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 12 Agu 2024, 14:02 WIB
Ilustrasi menggunakan masker saat berada di luar ruangan/Copyright pexels.com/EVG Kowalievska

Liputan6.com, Jakarta - Polusi udara di Indonesia bukan masalah enteng. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan bahkan mengklaim biaya subsidi kesehatan membengkak hingga Rp38 triliun akibat polusi udara. Pasalnya, masalah lingkungan hidup itu berdampak pada gangguan kesehatan hingga kematian, yang didominasi oleh asma.

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan dr. Siti Nadia Tarmizi, EPID, bahkan meminta agar tidak menganggap enteng soal polusi udara dan peningkatan risiko asma. Berdasarkan data Global Burden Diseases 2019 Diseases and Injuries Collaborators, asma termasuk dalam lima penyakit respirasi penyebab kematian tertinggi di dunia, selain penyakit paru obstruktif kronis (PPOK), pneumonia, kanker paru, dan tuberkulosis. 

Prevalensi asma di Indonesia cukup mengkhawatirkan, dengan sekitar tujuh persen atau sekitar 18 juta individu terkena asma pada 2022. Kondisi diperparah oleh tingkat polusi yang memprihatinkan, yang memerlukan tindakan mendesak dan tegas untuk melindungi kesehatan masyarakat.

Dalam rilis yang diterima Lifestyle Liputan6.com, Minggu, 11 Agustus 2024, pemerintah saat ini memperkuat layanan primer yang termasuk dalam enam pilar strategis transformasi kesehatan untuk mengendalikan risiko serangan asma. Salah satunya dengan mendistribusikan alat spirometri ke puskesmas.

"Polusi udara dapat memicu serangan asma, maka pemerintah fokus pada memperkuat layanan primer agar bisa mendiagnosa asma dan memberi penanganan medis dengan tujuan untuk memastikan masyarakat dengan asma memiliki akses ke layanan kesehatan yang tepat dan berkualitas," Nadia menjelaskan.

 


Kompetensi Dokter Puskesmas Tak Didukung Fasilitas

Pemandangan gedung bertingkat yang diselimuti polusi udara di Jakarta, Kamis (31/8/2023). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Alat spirometri adalah alat yang digunakan prosedur pemeriksaan fungsi paru-paru. Alat ini terdiri dari corong dan tabung yang terhubung ke sebuah mesin.

"Spirometri sudah mulai disediakan dengan nakes yang telah dilatih, meningkatkan kemampuan dokter untuk mengdiagnosa asma dan memastikan pasien memiliki akses ke obat yang sesuai dengan tatalaksana medis," kata Nadia.

Ia menambahkan bahwa saat ini, dokter puskesmas telah memiliki kompetensi dasar untuk 144 penyakit, termasuk asma. Namun, ketersediaan obat di FPKTP masih belum sesuai tatalaksana dan pedoman lokal terhadap penatalaksanaan penyakit asma dan dapat meningkatkan angka kejadian serangan asma akut.

"Yang tidak masuk dalam kompetensi 144 penyakit, baik dari gejala klinis yang makin berat, perberatan penyakit, tidak tersedia sarana dan prasarana untuk mengobati dan obat yang dibutuhkan merupakan kompetensi FKRTL (Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan)," kata Nadia.

Dr. Budhi Antariksa, SpP(K), Ketua Kelompok Kerja Asma dan PPOK Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), dalam wawancara terpisah menjelaskan obat-obat yang saat ini tersedia di Puskesmas hanya untuk tatalaksana asma akut. Obat-obatan itu tidak dapat digunakan untuk tatalaksana asma jangka panjang yang menyebabkan pasien harus dirujuk ke rumah sakit yang memiliki akses terhadap obat yang sesuai.


Dorong Penyediaan Obat Inhalasi di Puskesmas

Simak cara-cara penggunaan inhaler yang tepat berikut ini! (unsplash.com/Sahej Brar)

Meskipun asma sudah termasuk dalam kompetensi dasar dokter umum di puskesmas, PDPI mengingatkan pemerintah harus bekali puskesmas dengan obat inhalasi pengontrol. Budhi menyebut, "Itu benar dokter umum sudah dibekali ilmu kompetensi untuk 144 penyakit, termasuk asma bronchial, tapi kalau obat pengontrol belum tersedia di puskesmas, dokter puskesmas harus merujuk pasien asma ke rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan spesialistik sesuai anjuran BPJS."

Ketiadaan obat pengontrol inhalasi di puskesmas menjadi salah satu faktor yang berkontribusi signifikan pada biaya pengobatan asma yang tinggi dan peningkatan risiko serangan asma yang tidak terkontrol. "Tanpa ketersedian obat pengontrol penting ini di puskesmas, risiko pasien asma akan terus meningkat dan menyebabkan lebih dari 57,5 persen pasien asma masuk IGD dan membutuhkan perawatan khusus di rumah sakit ketika kondisi mereka tidak terkontrol," ujar Budhi.

Senada dengan PDPI, Kemenkes juga menegaskan bahwa jika pengontrol inhalasi belum tersedia di puskesmas, dokter perlu merujuk pasien ke rumah sakit untuk perawatan khusus, sesuai dengan indikasi medis. Strategi proaktif ini dirancang untuk memastikan bahwa individu dengan asma menerima perawatan komprehensif dan akses cepat ke intervensi medis yang diperlukan, sebagaimana yang diuraikan dalam panduan medis terbaru untuk pengobatan asma.


Polusi Udara Bisa Sebabkan Gangguan Mental

Penggunaan inhaler tak tepat, manfaatnya jadi tak maksimal bagi pasien asma. (Foto: foxnews.com)

Masalah polusi udara tak hanya menyebabkan masalah pernapasan, tetapi juga kesehatan mental. Hal itu merujuk studi yang terbit pada PubMed Central.

Dalam rilis yang diterima Lifestyle Liputan6.com, Senin, 1 Juli 2024, polusi udara berdampak pada berkurangnya tingkat kebahagiaan seseorang dan juga meningkatkan gejala depresi. Sementara, studi yang terbit pada jurnal Environmental Pollution juga mengungkapkan bahwa terdapat relevansi antara peningkatan risiko depresi dengan paparan jangka panjang terhadap PM2.5.

PM2.5 merupakan partikel polusi udara terkecil yang berbahaya bagi manusia karena partikel tersebut tidak dapat disaring tubuh. Psikolog Patricia Elfira Vinny menjelaskan selain berdampak kesehatan fisik, paparan polutan udara secara jangka panjang dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, psikosis, dan bahkan demensia.

"Terdapat juga indikasi bahwa anak-anak dan remaja yang terpapar polusi udara secara terus menerus pada tahap kritis perkembangan mental mereka, akan lebih berisiko mendapat masalah kesehatan mental di masa depan," kata Patricia.

Ia menambahkan, "Risiko ini akan menjadi jauh lebih mungkin dialami oleh masyarakat yang tinggal di kawasan metropolitan seperti Jabodetabek."

 

Langkah Pemerintah Atasi Polusi Udara di DKI Jakarta dan sekitarnya

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya