Liputan6.com, Gaza - Hamas mengatakan bahwa dimulainya kembali perundingan gencatan senjata terkait perang di Jalur Gaza harus didasarkan pada rencana yang sebelumnya, bukan putaran perundingan baru.
Pekan lalu, mediator internasional dari Qatar, Mesir, dan Amerika Serikat (AS) mendesak Israel dan Hamas menghadiri perundingan gencatan senjata dan kesepakatan pembebasan sandera pada Kamis (15/8/2024).
Advertisement
Israel pada Kamis pekan lalu meresponsnya dengan menyatakan akan mengirim tim negosiatornya untuk menghadiri pertemuan tersebut. Perundingan tersendat bulan lalu, setelah persyaratan baru diperkenalkan ke kerangka kerja yang disodorkan oleh Presiden Joe Biden pada bulan Mei.
Sementara itu, Hamas dalam pernyataannya menegaskan agar perundingan dilanjutkan berdasarkan proposal yang diajukan Biden.
"Para mediator harus memberlakukan ini pada pendudukan (Israel), alih-alih melanjutkan putaran negosiasi lebih lanjut atau proposal baru yang akan memberikan perlindungan dan lebih banyak waktu bagi agresi pendudukan untuk melanjutkan genosida terhadap rakyat kami," ujar Hamas, seperti dilansir BBC, Senin (12/8).
Proposal yang diajukan Biden terdiri dari tiga tahapan, yang akan berujung pada rencana rekonstruksi besar untuk Jalur Gaza.
Sejumlah sumber mengatakan kepada BBC bahwa persyaratan baru yang diajukan Israel, yaitu warga Palestina yang mengungsi harus disaring saat mereka kembali ke Gaza Utara dan keinginan Israel untuk memegang kendali koridor Philadelphia yang berbatasan dengan Mesir telah menjadi titik-titik panas dalam perundingan.
Seruan Pemimpin Inggris, Prancis, dan Jerman
Pada hari Senin, Perdana Menteri Inggris Sir Keir Starmer, Presiden Prancis Emmanuel Macron, dan Kanselir Jerman Olaf Scholz menggemakan seruan para mediator agar perundingan gencatan senjata dilanjutkan dalam sebuah pernyataan bersama.
"Kami sepakat bahwa tidak boleh ada penundaan lebih lanjut," sebut mereka.
"Kami telah bekerja sama dengan semua pihak untuk mencegah eskalasi dan akan berupaya keras untuk mengurangi ketegangan dan menemukan jalan menuju stabilitas."
Negara-negara tersebut juga menyerukan de-eskalasi ketegangan di Timur Tengah - yang telah meningkat sejak pembunuhan petinggi Hamas dan Hizbullah.
Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin mengonfirmasi pada Minggu malam bahwa dia telah memerintahkan pengerahan kapal selam berpeluru kendali ke Timur Tengah yang akan bergabung dengan kapal induk USS Abraham Lincoln, yang sedang menuju ke kawasan tersebut.
Iran sebelumnya mengatakan akan menanggapi pembunuhan pemimpin Hamas Ismail Haniyeh pada waktu dan cara yang tepat, serta menekankan bahwa AS bertanggung jawab atas kematiannya menyusul dukungannya terhadap Israel.
Advertisement
Israel Serang Sekolah di Jalur Gaza
Dalam perkembangan lainnya pada hari Minggu (11/8), militer Israel memerintahkan ribuan warga Palestina di Khan Younis, Gaza Selatan, untuk pindah ke tempat yang telah ditetapkan sebagai "zona kemanusiaan".
Perintah relokasi tersebut menyusul serangan udara Israel terhadap sebuah gedung sekolah pada hari Sabtu (10/8), yang menurut kantor berita Anadolu menewaskan setidaknya 100 orang.
Fadl Naeem, kepala Rumah Sakit al-Ahli tempat banyak korban dirawat, mengatakan sekitar 70 korban berhasil diidentifikasi beberapa jam setelah serangan - dengan banyak jenazah lainnya yang rusak parah sehingga sulit diidentifikasi.
Seorang juru bicara Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengklaim sekolah tersebut berfungsi sebagai fasilitas militer Hamas dan Jihad Islam yang aktif.
Juru bicara IDF Laksamana Muda Daniel Hagari mengatakan berbagai indikasi intelijen menunjukkan "kemungkinan besar" bahwa komandan Brigade Kamp Pusat Jihad Islam, Ashraf Juda, berada di sekolah al-Taba'een ketika sekolah tersebut diserang. Namun, dia mengatakan belum jelas apakah komandan tersebut tewas dalam serangan itu.
Israel telah berulang kali menuduh tanpa bukti bahwa Hamas menggunakan infrastruktur sipil untuk merencanakan dan melakukan serangan, dan itulah sebabnya mereka menargetkan rumah sakit dan sekolah - lokasi yang dilindungi oleh hukum internasional. Hamas secara konsisten membantah tuduhan tersebut.
Kelompok bersenjata yang dipimpin Hamas disebut menewaskan sekitar 1.200 orang dalam serangan ke Israel pada 7 Oktober, menculik 251 orang lainnya ke Jalur Gaza sebagai sandera. Pada hari yang sama Israel melancarkan serangan balasan ke Jalur Gaza hingga perang saat ini terjadi.
Menurut otoritas kesehatan Jalur Gaza lebih dari 39.790 warga Palestina tewas dibunuh Israel sejak 7 Oktober.