Liputan6.com, Jakarta - Kakak Hakim Agung nonaktif Gazalba Saleh, Bahdar Saleh menolak bersaksi dalam sidang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) di Pengadilan Negeri Tipikor, Jakarta Pusat, Senin (12/8/2024).
"Saya tetap mengundurkan diri Yang Mulia sebagai saksi untuk adik kandung saya," kata Bahdar di ruang sidang Pengadilan Tipikor, Senin.
Advertisement
"Tanpa sumpah pun saudara keberatan?" tanya hakim.
"Meskipun disumpah Yang Mulia," jawab Bahdar yang menegaskan.
Meskipun Bahdar mengundurkan diri untuk menjadi saksi adiknya, hakim masih dapat memiliki salinan keterangan kakak Gazalba tersebut. Bahdar sebelumnya pernah diperiksa oleh penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebanyak 2 kali.
Tapi pada pemeriksaan keduanya, Bahdar menolak menandatangani Berita Acara Pemeriksaan (BAP)nya.
"Iya enggak apa-apa ini kan ada BAP-nya. jadi ini benar keterangan saudara atau keterangan penyidik, yang ini, yang tanggal 28 November 2023. Saudara pernah diperiksa oleh penyidik di sana ya," kata Hakim.
Dalam BAP pertamanya, Bahdar sempat dicecar oleh penyidik perihal kediamannya yang pernah digeledah oleh penyidik KPK.
"Saya hari itu langsung didatangi sama tim KPK lalu saya digeledah semuanya dan diambil 2 HP dan beberapa surat yang saya nggak tahu surat apa Yang Mulia. Terus secara lisan saya disampaikan bahwa akan menghadap. Saya datang Yang Mulia," jelas Bahdar.
Dakwaan Gazalba Saleh
Dalam dakwaannya, Gazalba Saleh didakwa menerima gratifikasi dan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dengan total senilai Rp25,9 miliar terkait penanganan perkara di Mahkamah Agung (MA).
Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebutkan Gazalba menerima gratifikasi senilai 18.000 dolar Singapura (Rp200 juta) dan penerimaan 1,128 juta dolar Singapura (Rp13,37 miliar), USD181.100 (Rp2,9 miliar), serta Rp9,43 miliar selama kurun waktu 2020-2022.
"Dengan tujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaannya, terdakwa membelanjakan, membayarkan, dan menukarkan dengan mata uang harta kekayaan hasil korupsi tersebut," ujar Jaksa saat membacakan dakwaan, Senin (6/5).
Atas dakwaan gratifikasi, mantan hakim agung itu terancam pidana dalam Pasal 12 B juncto Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara atas dakwaan TPPU, Gazalba terancam pidana Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Advertisement
Uang Gratifikasi
Jaksa membeberkan dakwaan gratifikasi yang diberikan kepada Gazalba senilai Rp200 juta terkait pengurusan perkara kasasi pemilik Usaha Dagang (UD) Logam Jaya Jawahirul Fuad yang mengalami permasalahan hukum terkait pengelolaan limbah B3 tanpa izin pada 2017.
Uang gratifikasi itu, kata jaksa, diterima Gazalba bersama-sama dengan pengacara Ahmad Riyad selaku penghubung antara Jawahirul dengan Gazalba pada 2022 seusai pengucapan putusan perkara, di mana Ahmad Riyad menerima uang Rp450 juta, sehingga total gratifikasi yang diterima keduanya sebesar Rp650 juta.
"Perbuatan terdakwa bersama-sama dengan Ahmad Riyad menerima gratifikasi haruslah dianggap suap," ucap dia.
"Karena berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban dan tugas terdakwa sebagai Hakim Agung Republik Indonesia dan berlawanan dengan kewajiban terdakwa," sambungnya
Jaksa melanjutkan, uang hasil gratifikasi tersebut beserta uang dari penerimaan lain yang diterima Gazalba dijadikan dana untuk melakukan TPPU bersama-sama dengan kakak kandung terdakwa, Edy Ilham Shooleh dan teman dekat terdakwa, Fify Mulyani.
Uang Dipakai untuk Beli Mobil hingga Lunasi KPR
TPPU dimaksud, sambung dia, yakni dengan membelanjakan uang tersebut untuk pembelian satu unit kendaraan Toyota New Alphard 2.5 G A/T Warna Hitam, sebidang tanah atau bangunan di Jakarta Selatan, sebidang tanah atau bangunan di Tanjungrasa, Kabupaten Bogor, serta tanah atau bangunan di Citra Grand Cibubur, Kota Bekasi.
Kemudian, Jaksa menambahkan, uang tersebut turut digunakan untuk membayarkan pelunasan kredit pemilikan rumah (KPR).
KPR itu untuk satu unit rumah di Sedayu City @ Kelapa Gading, Cakung, Jakarta Timur sebesar Rp2,95 miliar.
Dia juga menukarkan mata uang asing 139 ribu dolar Singapura dan USD 171 ribu AS menjadi mata uang rupiah Rp3,96 miliar.
"Terdakwa membelanjakan, membayarkan, dan menukarkan uang tersebut untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul harta kekayaannya yang merupakan hasil tindak pidana korupsi, sehingga asal usul perolehannya tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sah karena menyimpang dari profil penghasilan terdakwa selaku Hakim Agung," tutur jaksa.
Reporter: Rahmat Baihaqi
Sumber: Merdeka.com
Advertisement