Apa Itu Tren Marriage Is Scary yang Viral di TikTok?

Tren "Marriage Is Scary" di TikTok mengungkap alasan sejumlah pengguna perempuan enggan menikah.

oleh Asnida Riani diperbarui 14 Agu 2024, 12:00 WIB
Ilustrasi tren marriage is scary di TikTok. (dok.unsplash/sandy miar)

Liputan6.com, Jakarta - Tren media sosial acap kali berganti dari waktu ke waktu, dan "Marriage Is Scary" tengah mengambil alih FYP TikTok sejak beberapa waktu lalu. Tren yang terjemahan secara harfiahnya berarti "Pernikahan Itu Menakutkan" tersebut mengungkap alasan sejumlah pengguna perempuan enggan mengikat diri dalam janji sehidup semati dengan pasangan.

Unggahan biasanya dimulai dengan "Marriage Is Scary," disambung, "What If (bagaimana jika)," sebelum membeberkan alasan pribadi seseorang takut menikah. Ada yang khawatir pasangannya tidak bisa jadi pembela abadi di depan keluarga, sementara tidak sedikit pula yang takut punya suami dengan preferensi berbeda.

Preferensi di sini kebanyakan terkait hal keseharian, seperti menganggap skincare dan makeup tidak penting, sampai tanggung jawab mengurus anak yang tidak seimbang. "Denger dari sebelum-sebelumnya, cowok red flags keliatan setelah nikah karena sebelum nikah dia pinter nutup-nutupin," sebut seorang pengguna TikTok.

Sebagai tandingan, sebenarnya tidak sedikit pula warganet yang berbagi kesenangan setelah menikah. "Menikah itu emang menakutkan, tapi kalo dijalanin sama orang yang tepat, pasti tetep bisa dilewatin. Penting buat skrining di awal dan ga buru-buru nikah karena umur atau tuntutan dari luar," menurut seorang TikToker.

Nyatanya, pernyataan takut menikah tidak semata jadi narasi media sosial yang terlupa dalam beberapa waktu. Isu tersebut telah diulas banyak publikasi dunia, terutama di negara-negara dengan tingkat kelahiran bayi yang menurun, karena kian sedikit orang memutuskan menikah, seperti China, Jepang, dan Korea Selatan.


Anak Muda Enggan Menikah

Seorang pekerja yang mengenakan pakaian pelindung melakukan tes COVID-19 kepada seorang anak laki-laki di tempat pengujian virus corona di Beijing, Rabu (9/11/2022). Lonjakan kasus COVID-19 telah mendorong penguncian di pusat manufaktur China selatan Guangzhou, menambah keuangan tekanan yang telah mengganggu rantai pasokan global dan secara tajam memperlambat pertumbuhan ekonomi terbesar kedua di dunia itu. (Foto AP/Mark Schiefelbein)

Tahun lalu, New York Times menerbitkan artikel yang mengulas alasan anak-anak muda di China enggan menikah. Melansir situs webnya, Rabu (14/8/2024), disebutkan bahwa tiga tahun terakhir merupakan "waktu yang brutal" bagi kalangan dewasa muda di Tiongkok.

"Angka pengangguran melonjak di tengah gelombang PHK perusahaan. Pembatasan ketat akibat virus corona telah berakhir, tapi tidak dengan rasa ketidakpastian tentang masa depan yang ditimbulkan. Bagi banyak orang, kekacauan baru-baru ini jadi alasan lain untuk menunda keputusan penting dalam hidup (menikah), yang berkontribusi pada rekor terendah angka pernikahan dan mempersulit upaya pemerintah mencegah krisis demografi," tulis outlet tersebut.

Melihat meningkatnya PHK, Grace Zhang, seorang pekerja teknologi yang telah lama bersikap ambivalen tentang pernikahan,  bertanya-tanya apakah pekerjaannya cukup aman untuk menghidupi keluarga di masa depan. Ia punya pacar, tapi tidak berencana menikah, meski ayahnya sering menasihatinya bahwa sudah waktunya untuk ia berumah tangga.

"Ketidakstabilan seperti ini dalam hidup akan membuat orang semakin takut membuat perubahan besar dalam hidupnya," katanya.


Jumlah Pernikahan Turun dari Tahun ke Tahun

Seorang pemudik duduk di atas kopernya di luar pintu masuk Stasiun Kereta Api Beijing di Beijing, China, Sabtu (14/1/2023). Jutaan warga China diperkirakan akan melakukan perjalanan selama periode liburan Tahun Baru Imlek tahun ini. (AP Photo/Mark Schiefelbein)

Jumlah pernikahan di China menurun selama sembilan tahun berturut-turut, turun hingga setengahnya dalam waktu kurang dari satu dekade. Pada 2022, sekitar 6,8 juta pasangan mendaftarkan diri untuk menikah, jumlah terendah sejak pencatatan dimulai pada 1986, turun dari 13,5 juta pada 2013, menurut data pemerintah China yang dirilis Juni 2023.

Meski jumlahnya telah meningkat pada 2023 dibandingkan dengan tahun sebelumnya, lebih banyak pernikahan yang berakhir juga. Pada kuartal pertama tahun lalu, 40 ribu pasangan lebih banyak menikah dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya, sementara perceraian meningkat sebesar 127 ribu.

Tendensi serupa telah dikabarkan dari Jepang selama bertahun-tahun. Menurut survei oleh Recruit pada September 2023, persentase warga Jepang berusia 20 hingga 49 tahun yang belum menikah, namun "saat ini menjalin hubungan" adalah 29,7 persen, lapor Nippon.

Sebaliknya, responden yang belum pernah menjalin hubungan mencapai 34,1 persen, angka tertinggi sejak survei ini dimulai. Persentase mereka yang "ingin menikah (pada suatu saat)," masing-masing adalah 49,3 persen untuk perempuan dan pria 43,5 persen.

Alasan paling umum yang dikemukakan 40,5 persen wanita mengenai alasan mereka tidak ingin menikah adalah hal itu "membatasi aktivitas dan gaya hidup saya." Sementara, alasan utama yang dikemukakan 42,5 persen pria adalah "kehilangan kebebasan finansial."


Bagaimana dengan Indonesia?

Ilustrasi cincin pernikahan. (Image by freepic.diller on Freepik)

Dari dalam negeri, angka pernikahan mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Menurut Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo, hal ini dipicu adanya perubahan persepsi tentang menikah.

"Dulu pernikahan setahun 2 juta lebih, sekarang meski jumlah usia nikahnya masih cukup besar, tapi hanya sekitar 1,5 sampai 1,7 juta," kata dokter Hasto dalam saat menyambangi Universitas Negeri Semarang (UNNES) pada Rabu, 26 Juni 2024, rangkum kanal Health Liputan6.com.

Ia memaparkan, tujuan pernikahan di Indonesia mayoritas untuk prokreasi, yang artinya mendapatkan keturunan. "Ada juga yang rekreasi, supaya hubungan suami-istri sah. Ada yang security, yaitu supaya bisa mendapat perlindungan,” paparnya.

Saat ini, menurut dia, terdapat perubahan persepsi tentang pernikahan. Pernikahan kini dianggap sebagai tradisi yang tidak harus dilakukan. Ada beberapa penelitian menemukan bahwa keinginan menikah mengalami penurunan sehingga Total Fertility Rate (TFR) ada di angka 2,18.

Hasto turut menghimbau remaja agar jangan menikah terlalu muda. Pasalnya, ada berbagai potensi masalah yang dapat terjadi pada kehamilan usia dini.

Infografis Komponen Wajib Pernikahan Indonesia.  (Liputan6.com/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya