Prospek Obligasi di Tengah Sinyal Penurunan Suku Bunga The Fed

Pasar global bersiap memasuki era baru dengan semakin banyak negara mulai masuk dalam siklus pemangkasan suku bunga. Perubahan ekspektasi suku bunga global telah mengurangi tekanan terhadap Rupiah, dan diharapkan stabilitas rupiah yang berkesinambungan dapat menjadi kunci titik balik sentimen investor di pasar finansial Indonesia.

oleh Pipit Ika Ramadhani diperbarui 15 Agu 2024, 06:00 WIB
Karyawan mengamati pergerakan harga saham di Profindo Sekuritas Indonesia, Jakarta, Senin (27/7/2020). Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 0,66% atau 33,67 poin ke level 5.116,66 pada perdagangan hari ini. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Pasar global bersiap memasuki era baru dengan semakin banyak negara mulai masuk dalam siklus pemangkasan suku bunga. Perubahan ekspektasi suku bunga global telah mengurangi tekanan terhadap Rupiah, dan diharapkan stabilitas rupiah yang berkesinambungan dapat menjadi kunci titik balik sentimen investor di pasar finansial Indonesia.

Director & Chief Investment Officer PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, Ezra Nazula mengatakan, ekspektasi suku bunga dan stabilitas Rupiah berpotensi membawa iklim yang lebih baik bagi pasar obligasi.

Hal ini berpotensi pada kembalinya arus dana asing. Selain itu, berkurangnya target penerbitan SBN di semester kedua tahun 2024 bisa menjadi potensi katalis obligasi lainnya. Imbal hasil saat ini masih cukup menarik, di mana selisih imbal hasil SBN 10Y - UST 10Y berada di 288 bps, lebih tinggi dari rata-rata satu tahun sebesar 245 bps.

"Kami memperkirakan imbal hasil SBN 10 tahun ada di kisaran 6,00% – 6,25% hingga akhir tahun ini," kata Ezra dalam Webinar Market Update – Wind of Change, ditulis Kamis (14/8/2024).

Menurut Ezra, reksa dana obligasi dapat dipertimbangkan oleh investor untuk memanfaatkan karakteristik defensif dari kelas aset obligasi. Kondisi imbal hasil obligasi yang tinggi saat ini dapat menjadi peluang bagi investor untuk “mengunci imbal hasil” di level yang menarik dan juga dapat menikmati potensi capital gain ketika suku bunga mulai beranjak turun.

Secara umum, Ezra menerangkan bahwa sejumlah bank sentral di beberapa negara maju bahkan telah memangkas suku bunga mereka sejak kuartal pertama yang dilakukan untuk berbagai tujuan, seperti merespon inflasi yang terkendali (seperti terjadi di Swiss, Kanada, zona Euro, dan Inggris Raya), menjaga keseimbangan nilai tukar (Denmark), atau karena melemahnya permintaan domestik (Swedia).

 

 


Normalisasi Inflasi

Pengunjung melintas dilayar pergerakan saham di BEI, Jakarta, Senin (30/12/2019). Pada penutupan IHSG 2019 ditutup melemah cukup signifikan 29,78 (0,47%) ke posisi 6.194.50. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Adapun normalisasi inflasi dijadikan pertimbangan pemangkasan suku bunga bagi negara-negara berkembang di Amerika Latin (Brasil, Kolombia, dan Cili) dan Eropa Tengah-Timur (Hungaria, Ceko, dan Rumania).

Dari Amerika Serikat (AS), The Fed dalam rapat FOMC di bulan Juli telah mengindikasikan potensi pemangkasan suku bunga di bulan September semakin terbuka. Secara eksplisit, The Fed juga mulai memperhatikan risiko pelemahan sektor tenaga kerja, dan menyatakan ke depannya akan memberikan fokus yang seimbang antara faktor inflasi dan sektor tenaga kerja.

“Meningkatnya optimisme pemangkasan suku bunga The Fed yang semakin mendekat, tecermin di pasar US Treasury (UST), di mana imbal hasil UST tenor pendek turun lebih banyak dibanding tenor panjang, dan selisih imbal hasil antara tenor 10Y dan 2Y semakin menipis, berada pada level terendah sejak kenaikan FFR agresif di 2022. Perubahan ekspektasi suku bunga juga terlihat dampaknya pada USD yang mulai melemah terhadap mata uang lainnya,” jelas Ezra.

 


Kawasan Asia

Karyawan memfoto layar pergerakan IHSG, Jakarta, Rabu (3/8/2022). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada perdagangan di Bursa Efek Indonesia, Rabu (3/08/2022), ditutup di level 7046,63. IHSG menguat 58,47 poin atau 0,0084 persen dari penutupan perdagangan sehari sebelumnya. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Ezra menambahkan, kawasan Asia menjadi yang akan diuntungkan oleh siklus pelonggaran moneter global. Secara historis, Asia diuntungkan saat USD melemah (Pada 24 tahun terakhir, pasar saham Asia 12 kali lebih unggul dibandingkan pasar saham global, dan dari 12 kali keunggulan tersebut 9 kali terjadi pada iklim pelemahan USD).

Perekonomian Asia juga relatif kuat ditopang oleh membaiknya aktivitas perdagangan global. Hal tersebut berlawanan dengan ekonomi AS yang menunjukkan sinyal moderasi.

 

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya