PLTU Suralaya Tak Bisa Langsung Disuntik Mati, Ini Penjelasannya

Menteri ESDM Arifin Tasrif mengamini adanya dampak polusi dari operasional PLTU Suralaya. Mengingat lagi, kawasan Cilegon, Banten juga dipenuhi oleh industri.

oleh Arief Rahman H diperbarui 14 Agu 2024, 19:15 WIB
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif ditemui di JCC Senayan, Jakarta, Rabu (14/8/2024). Arifin menjelaskan mengenai rencana suntik mati PLTU Suralaya. (arief/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengungkap alasan belum bisa menyetop operasi PLTU Suralaya di Cilegon, Banten. Pertimbangannya soal sumber energi pengganti untuk wilayah tersebut.

Rencana itu sebelumnya diungkap Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan. Menurutnya, penutupan PLTU bisa berkontribusi pada perbaikan kualitas udara di DKI Jakarta.

Arifin mengamini adanya dampak polusi dari operasional PLTU Suralaya. Mengingat lagi, kawasan Cilegon, Banten juga dipenuhi oleh industri.

"Kita liat lah masa operasinya udah berapa lama, kemudian ya saya sendiri kan pernah terbang dari diatas wilayah itu kan emang berat tuh emisinya di daerah sana, daerah cilegon, banyak industri, kemudian pembangkitnya juga gede," kata Arifin, ditemui di JCC Senayan, Jakarta, Rabu (14/8/2024).

Kendati begitu, dia mengatakan perlu ada sumber energi penggantinya. Untuk menggantikan peran PLTU Suralaya, misalnya, perlu ada penyambungan transmisi yang mengalirkan energi bersih.

Hal itu bisa dilakukan dari Sumatera ke Jawa. Mengingat lagi, energi baru terbarukan sulit dipenuhi dari Jawa sendiri.

"Nah Jawa ini kalau kita liat potensi-potensi energi-energi barunya gak mungkin, gak cukup untuk bisa di-support, harus ada sambungan dari Sumatera kedepan. Tapi itu kan kita harus lakukan bertahap, jadi kalau gak ada infrastruktur transmisi ya gak akan bisa masuk energi-energi baru ini," jelasnya.

Soal pensiun dini PLTU ini, Arifin menyampaikan, akan mempertimbangkan usia PLTU yang paling tua lebih dulu. Kemudian, melihat dari sisi kemampuan hingga besaran emisi yang disumbang.


Rencana Tutup PLTU Suralaya

Ilustrasi PLTU Suralaya, salah satu pembangkit PLN yang tengah dilakukan studi implementasi CCS/Istimewa.

Diberitakan sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengungkap rencana untuk menutup Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Suralaya, di Cilegon, Banten. Menurutnya, penutupan itu bisa memperbaiki kualitas udara di Jakarta.

Dia mengatakan segera melakukan rapat untuk menindaklanjuti rencana tersebut. Mengingat lagi, PLTU Suralaya sudah beroperasi selama puluhan tahun.

"Ya PLTU mau kita rapatin nanti yang Suralaya itu kan sudah banyak polusinya ya. Dan sudah lebih 40 tahun ya, jadi kita pengen exercise kita ingin kaji kalau bisa kita tutup supaya mengurangi polusi Jakarta," ungkap Menko Luhut, ditemui di JCC Senayan, Jakarta, Rabu (14/8/2024).

Dalam forum pengusaha sektor minyak dan gas bumi (migas), dia mengatakan indeks kualitas udara di Jakarta bisa turun sekitar 50-60 poin. Saat ini, indeks kualitas udara Jakarta masih berkisar 170-200. Angka itu mengindikasikan buruknya kualitas udara untuk kesehatan masyarakat.

"Kita Jakarta ini kalau bisa kalau kita tutup tadi (PLTU) Suralaya kita berharap akan bisa turun mungkin di bawah 100 indeksnya ini," ucapnya.

Dia turut menyinggung indeks kualitas udara di Ibu Kota Nusantara (IKN) yang hanya mencatatkan angka 6. Bahkan, kualitss udara di IKN jauh lebih baik dibandingkan dengan Singapura.

"IKN itu hanya 6 indeksnya, jadi, Singapura aja 24 apa 30 jadi IKN itu jauh lebih bagus," tegasnya.


Puluhan Triliun Buat Berobat

PLTU Suralaya

Lebih lanjut, Menko Luhut mengungkap besaran biaya yang dikeluarkan pemerintah dan masyarakat untuk menangani masalah kesehatan. Utamanya sebagai imbas dari kulalitas udara yang buruk di Jakarta.

"Karena pemerintah itu mengeluarkan Rp 38 triliun untuk biaya berobat ada yang melalui BPJS, ada yang melalui pengeluaran sendiri utk kesehatan, karena akibat udara yang sampe 170-200 indeks ini," kata dia.

Dia mengaku enggan hal ini terus menjadi persoalan kedepannya. Maka, diperlukan upaya menyeluruh dalam memperbaiki kualitas udara.

"Itu banyak yang sakit ISPA, kalian pun kena, saya pun kena semua. Jadi ini beban kita ramai-ramai, jadi kalau ada yang keberatan ya kamu rasain aja terus-terusan, kita ndak mau kena," pungkasnya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya