Berharap Pasangan yang Lakukan KDRT Berubah, Psikolog: Bisa tapi Butuh Proses Panjang

Selebgram Cut Intan Nabila pernah berharap sang suami Armor Toreador berubah tak lagi kasar. Psikolog klinis ungkap pelaku KDRT perlu jalani terapi agar bisa meregulasi emosi.

oleh Benedikta Desideria diperbarui 14 Agu 2024, 19:00 WIB
Ilustrasi KDRT. (dok. Pixabay.com/Tumisu)

Liputan6.com, Jakarta Selebgram Cut Intan Nabila pernah berharap sang suami Armor Toreador berubah tak lagi kasar. Namun, setelah lima tahun menjalani pernikahan, Armor tetap melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) kepada Cut Intan Nabila.

"Sudah berkali-kali saya maafkan tapi tak pernah terbuka hatinya, ternyata benar perselingkuhan dan KDRT tidak akan pernah berubah," tulis Cut dalam akun Instagramnya pada Selasa, 13 Agustus 2024.

Selain Cut, banyak perempuan yang menjadi korban KDRT berharap pasangan berubah, tak lagi main tangan. Pada kasus Cut, Armor tak berubah hingga akhirnya pria tersebut diamankan oleh polisi.

Lalu, sebenarnya bagaimana dengan kasus lain, bisakah pelaku KDRT berubah?

Health Liputan6com menanyakan hal ini kepada psikolog klinis Efnie Indrianie yang kerap menangani kasus KDRT di ruang praktiknya.

Efnie menjelaskan bahwa kerap pasangan menggunakan perjanjian agar tak lagi melakukan KDRT tapi pada banyak kasus pelaku kembali melakukan.

"Kenapa? Karena itu kadang-kadang adalah refleks otomatis yang dimunculkan seseorang ketika dalam kondisi marah atau dalam kondisinya negatif," kata Efnie.

Alhasil, perjanjian dan perdamaian tak berujung hal yang diinginkan lantaran kekerasan kembali dilakukan. Maka dari itu Efnie mengatakan bahwa pelaku KDRT perlu mendapatkan terapi agar bisa memiliki regulasi emosi yang baik.

"Sang pelaku KDRT juga butuh di terapi," kata wanita yang juga dosen di Universitas Kristen Maranatha Bandung itu.


Orang di Sekitar Perlu Mendorong Pelaku KDRT agar Mau Diterapi

Orang-orang di sekitar pelaku KDRT perlu mendorong sosok tersebut untuk menjalani terapi. Dorongan bukan cuma istri tapi juga orang-orang dari sekitar pelaku.

"Kadang-kadang bisa saja bukan orangtua, mungkin paman, atau tante, atau figur bijaksana yang disegani oleh pelaku KDRT," kata Efnie.

 


Proses Terapi agar Pelaku KDRT Bisa Regulasi Emosi

Pada proses terapi pada pelaku KDRT, pada tahap pertama seorang psikolog akan melakukan skrining.

"Kalau saya biasanya pakai biopsikological device ya alat-alat untuk mengecek seberapa parah mental condition-nya saat ini," jelas Efnie.

Lalu di-tracing penyebab lain seseorang melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Mulai dari faktor lingkungan, misalnya sedari kecil dia melihat lingkungan sekitar yang penuh dengan kekerasan.

Kemudian perlu pemeriksaan tubuh. Kadang-kadang untuk orang-orang tertentu yang dengan gangguan tertentu pada fisik bisa memicu jadi emosional.

"Yang ekstrem sih bentuknya kan kalau misalnya ada tumor di otaknya atau ada apa itu kan memang bisa. Jadi kita juga harus cek kondisi biologisnya juga," tutur Efnie.

Lalu, psikolog juga perlu mengecek pola kebiasaan nutrisi harian seperti apa yang dimakan dan pola makan. Selanjutnya, psikolog juga bakal mengecek gaya hidup yang selama ini dijalani.

"Jadi, harus diidentifikasi satu-satu. Dari identifikasi tadi gangguannya dimana. Harus dibereskan satu-satu," jelasnya.

Mengenai berapa lama waktu yang diperlukan untuk terapi regulasi emosi, Efnie mengungkapkan bahwa butuh waktu panjang.

"Take a long process ya," tandas Efnie.

Infografis Journal Fakta terkait KDRT di Indonesia (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya