Liputan6.com, Bangkok - Parlemen Thailand akan menggelar sidang pada Jumat (16/8/2024) guna menyelenggarakan rapat khusus guna memilih perdana menteri baru menyusul putusan pengadilan yang memberhentikan Srettha Thavisin.
Dalam pernyataan yang ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal DPR, Arpath Sukhanunth mengatakan Ketua DPR Wan Muhamad Noor Matha mengirim pemberitahuan kepada semua Anggota Parlemen (MP) pada Rabu (14/8) malam, meminta mereka untuk mengadakan rapat pada pukul 10 pagi pada hari Jumat.
Advertisement
"Anggota parlemen akan memberikan suara untuk mempertimbangkan pemberian persetujuan kepada seseorang yang harus diangkat sebagai Perdana Menteri menurut Pasal 159 Konstitusi Kerajaan Thailand," katanya dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Bernama, Kamis (15/8/2024).
Pada Rabu (14/8), Mahkamah Konstitusi Thailand memberhentikan Srettha Thavisin dari jabatan perdana menterinya setelah menyatakannya bersalah karena mengangkat seorang menteri yang sebelumnya pernah terjerat kasus hukum.
Sementara itu, media lokal melaporkan bahwa Phumtham Wechayachai dari partai Pheu Thai telah ditunjuk sebagai pelaksana tugas perdana menteri.
Hal ini dikarenakan ia adalah wakil perdana menteri pertama dan juga menteri perdagangan di bawah pemerintahan Srettha.
Konstitusi Thailand menetapkan bahwa untuk menjadi perdana menteri, seorang kandidat harus memperoleh dukungan mayoritas dari anggota parlemen yang ada yang berjumlah 493 anggota parlemen, yang berarti harus memperoleh 248 suara atau lebih.
Dari total 500 kursi parlemen, enam anggota parlemen dari Partai Move Forward (MFP) telah dilarang menjabat setelah partai tersebut dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi minggu lalu, sementara anggota parlemen untuk Nakhon Si Thammarat diskors karena terlibat dalam pembelian suara.
Setelah anggota parlemen memilih perdana menteri, langkah selanjutnya adalah PM mengajukan daftar usulan menteri kepada Raja untuk penunjukan lebih lanjut.
PM Thailand Srettha Thavisin Dicopot Karena Melanggar Konstitusi
Perdana Menteri Thailand Srettha Thavisin dicopot dari jabatannya setelah pengadilan memutuskan dia melanggar konstitusi. Keputusan tersebut sontak mengejutkan dan menjerumuskan Thailand ke dalam ketidakpastian politik lebih lanjut.
Mahkamah Konstitusi di Bangkok memutuskan pada Rabu (14/8/2024) bahwa langkah Srettha, seorang taipan real estate dan pendatang baru di dunia politik, mengangkat seorang pengacara yang pernah menjalani hukuman penjara untuk menjadi anggota kabinet tidak memenuhi standar etika.
Lima dari sembilan hakim pengadilan memilih untuk memberhentikan Srettha dan kabinetnya, dengan memutuskan bahwa perdana menteri tersebut sangat menyadari bahwa dia mengangkat seseorang yang sangat tidak memiliki integritas moral.
Pemerintah baru sekarang harus dibentuk dan koalisi yang dipimpin oleh Pheu Thai yang berkuasa akan mencalonkan kandidat baru untuk posisi perdana menteri, yang akan dipilih oleh parlemen yang beranggotakan 500 orang.
Advertisement
Respons Srettha Thavisin
Berbicara kepada wartawan setelah putusan tersebut, Srettha mengatakan dia telah menjalankan tugasnya sebagai perdana menteri sebaik mungkin. Srettha pun menuturkan dia menerima putusan tersebut. Demikian seperti dilansir CNN.
Putusan tersebut berarti lebih banyak pergolakan bagi lanskap politik Thailand yang sudah bergejolak, di mana mereka yang mendorong perubahan sering kali berselisih dengan lembaga – kelompok kecil, namun kuat yang terdiri dari elite militer, royalis, dan bisnis.
Selama dua dekade terakhir, puluhan anggota parlemen menghadapi larangan, partai-partai dibubarkan, dan perdana menteri digulingkan dalam kudeta atau oleh keputusan pengadilan – dengan lembaga peradilan memainkan peran sentral dalam perebutan kekuasaan yang sedang berlangsung.
Putusan pengadilan dikeluarkan seminggu setelah pengadilan yang sama membubarkan Partai Move Forward yang populer dan progresif, yang memenangkan kursi terbanyak dalam pemilu tahun lalu dan melarang para pemimpinnya dari politik selama 10 tahun.