Begini Langkah Pemerintah Thailand Usai PM Srettha Thavisin Dicopot karena Langgar Konstitusi

Apa yang terjadi selanjutnya, setelah Perdana Menteri Thailand Srettha Thavisin dicopot? Berikut sejumlah uraian langkah pemerintah Thailand.

oleh Tanti Yulianingsih diperbarui 16 Agu 2024, 11:45 WIB
Mantan Perdana Menteri Thailand, Srettha Thavisin membetulkan dasinya di Government House di Bangkok pada 14 Agustus 2024. (Chanakarn Laosarakham/AFP)

Liputan6.com, Bangkok - Perdana Menteri (PM) Thailand Srettha Thavisin diberhentikan oleh mahkamah konstitusi pada hari Rabu (14/8/3034) oleh Mahkamah Konstitusi karena pelanggaran etika terkait pengangkatan mantan pengacara yang pernah dipenjara 16 tahun lalu ke dalam kabinetnya.

Apa yang terjadi selanjutnya?

Melansir The Straits Times, Kamis (15/8/2024), kabinet Thailand akan mengambil peran sementara dengan Menteri Perdagangan dan wakil perdana menteri Phumtham Wechayachai menjadi pelaksana tugas perdana menteri.

Adapun partai-partai harus memutuskan siapa yang akan mereka nominasikan dan pilih sebagai perdana menteri berikutnya berdasarkan daftar kandidat yang diajukan sebelum pemilihan umum 2023.

Diperkirakan tidak semua kandidat akan diajukan, dengan tawar-menawar yang mungkin terjadi antara partai-partai sebagai imbalan atas posisi kabinet.

Sementara itu, Ketua DPR akan mengadakan pertemuan parlemen agar majelis rendah dapat memberikan suara untuk perdana menteri berikutnya. Tidak ada aturan yang menentukan kapan parlemen harus bersidang untuk mengadakan pemungutan suara.

Untuk menjadi PM Thailand, seorang kandidat membutuhkan dukungan lebih dari separuh dari 493 anggota majelis rendah saat ini, atau 247 suara. Jika dukungan mereka kurang, majelis harus bersidang lagi nanti dan mengulang proses pemungutan suara, dengan kesempatan bagi kandidat lain untuk dicalonkan.

Sebagai informasi, 11 partai koalisi pemerintah memiliki 314 kursi di majelis rendah.

Nantinya, perdana menteri baru Thailand harus menunjuk kabinet, yang kemudian harus menyampaikan kebijakannya kepada parlemen sebelum dapat mulai memerintah.

Parlemen Thailand kabarnya akan menggelar sidang pada Jumat (16/8) guna menyelenggarakan rapat khusus guna memilih perdana menteri baru menyusul putusan pengadilan yang memberhentikan Srettha Thavisin.

Dalam pernyataan yang ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal DPR, Arpath Sukhanunth mengatakan Ketua DPR Wan Muhamad Noor Matha mengirim pemberitahuan kepada semua Anggota Parlemen (MP) pada Rabu (14/8) malam, meminta mereka untuk mengadakan rapat pada pukul 10 pagi pada hari Jumat.

"Anggota parlemen akan memberikan suara untuk mempertimbangkan pemberian persetujuan kepada seseorang yang harus diangkat sebagai Perdana Menteri menurut Pasal 159 Konstitusi Kerajaan Thailand," katanya dalam sebuah pernyataan, dikutip dari Bernama, Kamis (15/8/2024).


Dianggap Melanggar Konstitusi

Hari ini, Rabu (14/8/2024), Mahkamah Konstitusi di Bangkok memutuskan langkah Srettha Thavisin mengangkat pengacara yang pernah menjalani hukuman penjara menjadi anggota kabinet tidak memenuhi standar etika. (Chanakarn Laosarakham/AFP)

Perdana Menteri Thailand Srettha Thavisin dicopot dari jabatannya setelah pengadilan memutuskan dia melanggar konstitusi. Keputusan tersebut sontak mengejutkan dan menjerumuskan Thailand ke dalam ketidakpastian politik lebih lanjut.

Mahkamah Konstitusi di Bangkok memutuskan pada hari Rabu (14/8/2024) bahwa langkah Srettha, seorang taipan real estate dan pendatang baru di dunia politik, mengangkat seorang pengacara yang pernah menjalani hukuman penjara untuk menjadi anggota kabinet tidak memenuhi standar etika.

Lima dari sembilan hakim pengadilan memilih untuk memberhentikan Srettha dan kabinetnya, dengan memutuskan bahwa perdana menteri tersebut sangat menyadari bahwa dia mengangkat seseorang yang sangat tidak memiliki integritas moral.

Pemerintah baru sekarang harus dibentuk dan koalisi yang dipimpin oleh Pheu Thai yang berkuasa akan mencalonkan kandidat baru untuk posisi perdana menteri, yang akan dipilih oleh parlemen yang beranggotakan 500 orang.


Pengangkatan Srettha Sebelumnya Akhiri Kebuntuan Politik

Taipan real estate Srettha Thavisin (60) terpilih menjadi perdana menteri Thailand. (Dok. Instagram/@sretthathavisin)

Pengangkatan Srettha ke jabatan puncak pada Agustus 2023 mengakhiri kebuntuan politik selama tiga bulan setelah pemilu. Prioritas Srettha sejak menjabat adalah memperbaiki ekonomi negara yang lesu.

Srettha juga menetapkan tujuan bagi Thailand untuk menarik lebih banyak investasi asing dan menjadi pusat pariwisata global, memperluas kebijakan bebas visa dan mengumumkan rencana untuk menyelenggarakan acara-acara besar dalam upaya untuk meningkatkan ekonomi.

Dengan Srettha yang sekarang sudah tidak menjabat, negosiasi politik akan dimulai kembali, di mana mitra koalisi berebut posisi kabinet dan jabatan teratas.

Pemimpin Pheu Thai yang juga merupakan putri bungsu Thaksin Shinawatra, Paetongtarn Shinawatra, kemungkinan besar menjadi kandidat kuat perdana menteri. Calon lainnya termasuk Menteri Dalam Negeri Anutin Charnvirakul, yang telah berhasil mendorong legalisasi ganja di negara tersebut dan veteran politik Prawit Wongsuwan, pemimpin partai Palang Pracharat yang pro-militer, yang terlibat dalam dua kudeta terakhir terhadap keluarga Shinawatra.


Partai Pheu Thai Gerak Cepat Cari Pengganti PM Srettha Thavisin

Keputusan tersebut sangat mengejutkan dan berpotensi menjerumuskan Thailand ke dalam ketidakpastian politik. (Chanakarn Laosarakham/AFP)

Pemecatan Srettha oleh pengadilan konstitusi pada Rabu merupakan pukulan telak terbaru bagi Pheu Thai.

Pheu Thai kini harus memilih satu dari dua kandidat yang memenuhi syarat – Chaikasem Nitisiri, mantan jaksa agung dan menteri kehakiman, dan Paetongtarn Shinawatra, putri berusia 37 tahun dari tokoh politik terkemuka Thaksin Shinawatra.

Pheu Thai telah bergerak cepat untuk mempertahankan keunggulannya, di mana para koalisinya segera bertemu di kediaman Thaksin pada Rabu malam.

"Mereka ingin bersikap tegas … Semakin lama waktu yang dibutuhkan, semakin banyak pertengkaran dan perebutan kekuasaan yang akan terjadi, jadi semakin cepat semakin baik," kata Thitinan Pongsudhirak, seorang ilmuwan politik di Universitas Chulalongkorn.

"Jika mereka dapat memberikan suara lebih awal, maka pemungutan suara akan lebih mudah diatur. Mereka dapat mengendalikan hasil pemilihan."

Infografis Penangkapan Aung San Suu Kyi dan Kudeta Militer Myanmar. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya