Liputan6.com, Kabul - Setidaknya 1,4 juta anak perempuan di Afghanistan ditolak aksesnya ke pendidikan sejak Taliban kembali berkuasa pada tahun 2021.
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) masa depan seluruh generasi muda Afghanistan kini dalam bahaya.
Advertisement
Akses ke pendidikan dasar juga menurun tajam, dengan 1,1 juta anak perempuan dan laki-laki lebih sedikit yang bersekolah, kata UNESCO dalam sebuah pernyataan saat otoritas Taliban menandai tiga tahun sejak merebut kembali Afghanistan pada tanggal 15 Agustus 2021.
"UNESCO khawatir dengan konsekuensi berbahaya dari angka putus sekolah yang semakin besar ini, yang dapat menyebabkan peningkatan pekerja anak dan pernikahan dini," kata badan tersebut, dikutip dari Japan Today, Jumat (16/8/2024).
"Hanya dalam waktu tiga tahun, otoritas de facto hampir menghapus pendidikan di Afghanistan, dan masa depan seluruh generasi kini dalam bahaya."
Sekarang ada hampir 2,5 juta anak perempuan yang kehilangan hak mereka untuk mendapatkan pendidikan, mewakili 80 persen anak perempuan usia sekolah Afghanistan, kata badan PBB tersebut.
Pemerintahan Taliban, yang tidak diakui oleh negara lain, telah memberlakukan pembatasan terhadap perempuan yang oleh PBB disebut sebagai "apartheid gender."
Afghanistan adalah satu-satunya negara di dunia yang melarang anak perempuan dan perempuan bersekolah di sekolah menengah dan universitas.
"Sebagai akibat dari larangan yang diberlakukan oleh otoritas de facto, setidaknya 1,4 juta anak perempuan telah sengaja ditolak aksesnya ke pendidikan menengah sejak 2021," kata UNESCO.
Ini merupakan peningkatan sebanyak 300.000 sejak penghitungan sebelumnya yang dilakukan oleh badan PBB pada April 2023.
Desakan UNESCO
Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay mendesak masyarakat internasional untuk tetap bergerak "untuk memperoleh pembukaan kembali sekolah dan universitas tanpa syarat bagi anak perempuan dan perempuan Afghanistan."
Jumlah murid sekolah dasar juga telah menurun. Afghanistan hanya memiliki 5,7 juta anak perempuan dan laki-laki di sekolah dasar pada tahun 2022, dibandingkan dengan 6,8 juta pada tahun 2019, kata UNESCO.
Badan PBB itu menyalahkan penurunan tersebut pada keputusan pemerintah yang melarang guru perempuan mengajar anak laki-laki serta kurangnya insentif bagi orang tua untuk menyekolahkan anak-anak mereka.
Advertisement