Liputan6.com, Semarang - Seorang mahasiswi kedokteran spesialis Universitas Diponegoro (Undip) berusia 30 tahun ditemukan meninggal di kamar kosnya diduga bunuh diri. Polisi menyebut korban tewas usai menyuntikkan suatu obat di tubuhnya sendiri. Hasil olah TKP juga ditemukan buku harian di dalam kamar kos korban.
Korban berinisial A dan menjadi peserta Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Prodi Anestesi di Fakultas Kedokteran Undip. Kapolsek Gajahmungkur, Kompol Agus Hartono menyebutkan bahwa polisi langsung mendatangi lokasi kamar kos di Kelurahan Lempongsari, Semarang pada Senin (12/8) pukul 23.00 WIB.
Advertisement
"Ditemukan juga sebuah buku harian korban," kata Kompol Agus.
Dijelaskan bahwa buku tersebut berisi catatan yang salah satunya berisi keluhan beratnya menjadi mahasiswa kedokteran. Saat itu korban menyinggung relasi dengan seniornya.
Peristiwa ini mendapat perhatian Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI. Kemenkes mengirim surat berisi pemberhentian program studi anestesi Fakultas Kedokteran (FK) Undip Semarang.
Perintah pemberhentian program studi anestesi FK Undip dikeluarkan oleh Direktur Jendral Pelayanan Kesehatan dr Azhar Jaya, melalui surat kepada Direktur Utama RSUP Dr Kariadi.
"Sehubungan dengan dugaan terjadinya perundungan di Program Studi Anestesi Universitas Diponegoro yang ada di SUP Dr. Kariadi, yang menyebabkan terjadinya bunuh diri pada salah satu peserta didik program studi anestesi Universitas Diponegoro," tulis dr Azhar dalam surat tertanggal 14 Agustus 2024 tersebut.
"Maka disampaikan kepada Saudara untuk menghentikan sementara program studi anestesi di RSUP Dr. Kariadi sampai dengan dilakukannya investigasi dan Langkah-langkah yang dapat dipertanggungjawabkan oleh jajaran Direksi Rumah Sakit Kariadi dan FK UNDIP," lanjutnya.
Korban A adalah seorang dokter yang kesehariannya bertugas di RS Kardinah Tegal. Ia menjadi ASN dan memperoleh beasiswa untuk PPDS.
Penjelasan Rektor
Sementara itu, Rektor Undip Prof Dr Suharnomo membantah adanya perundungan yang menyebabkan A bunuh diri.
“Almarhumah selama ini merupakan mahasiswi yang berdedikasi dalam pekerjaannya. Namun demikian, Almarhumah mempunyai problem kesehatan yang dapat mempengaruhi proses belajar yang sedang ditempuh,” kata Rektor Undip.
Dengan alasan privasi, Undip tidak menguraikan permasalahan yang dihadapi korban A ini. Juga atas nama kerahasiaan medis, Rektor tak menyampaikan detail peristiwanya.
Ditambahkan bahwa pengelola Pendidikan Program Studi Anestesi menyikapi problem kesehatan yang dialami Almarhumah dengan memantau secara aktif perkembangan kondisi yang bersangkutan selama proses pendidikan.
“Berdasarkan kondisi kesehatannya, Almarhumah sempat mempertimbangkan untuk mengundurkan diri, namun karena beliau adalah penerima beasiswa sehingga secara administratif terikat dengan ketentuan penerima beasiswa, sehingga Almarhumah mengurungkan niat tersebut,” kata Rektor.
Prof Dr Suharnomo juga mengaku sangat terbuka dengan fakta-fakta valid lain di luar hasil investigasi yang telah dilakukan. Pihaknya siap berkoordinasi dengan pihak manapun untuk menindaklanjuti tujuan pendidikan dengan menerapkan "zero bullying" di Fakultas Kedokteran UNDIP.
Sementara itu, terkait surat surat Dirjen Yankes Nomor TK.02.02/D/44137/2024, rektorat tidak menjelaskan terkait perihal pemberhentian program Anestesi Universitas Diponegoro di RSUP Dr Kariadi.
“Tim Fakultas Kedokteran UNDIP bersama dengan tim RSUP dr. Kariadi telah melakukan pertemuan dengan Bapak Dirjen Yankes dan menyampaikan klarifikasi mengenai hal-hal yang dimaksud. UNDIP siap berkoordinasi dengan pihak-pihat terkait untuk mengklarifikasi, mendiskusikan dan melakukan penanganan lebih lanjut,” katanya.
Advertisement
Fakta Tersembunyi
Hasil penelusuran liputan6.com terdapat fakta berbeda dari yang disampaikan Rektor.
Pertama, awalnya pihak PPDS Anestesi Undip menyebut korban sering menyuntikkan obat itu ke tubuhnya karena sakit saraf kejepit. Namun dari hasil pemeriksaan ditemukan buku harian korban yang menyebut korban tak kuat menahan perundungan.
Kedua, ada pembedaan warna Pin untuk mahasiswa yang sudah senior dan junior, meski tak dijelaskan fungsinya. Pin ini pula untuk menentukan ketika berdiskusi siapa saja yang boleh mendebat.
Ketiga, di pergaulan keseharian, ada jenis pembedaan jenis perundungan. Perundungan yang non pendidikan, soal tugas keseharian. Yunior bertugas seperti pembantu rumah tangga, dari menyediakan bolpen, sandal, air galon, sampai membeli makan, bahkan antar jemput. Perundungan ketika berinteraksi, tidak ada yunior yang boleh bercanda dengan senior, baik dokter sampai residen, duduk satu meja, makan bersama. Biasanya kalau ada senior yang melihat dan memfoto bisa jadi bahan bullyan di group.
Keempat, ketika berada di tempat duduk atau penugasan perlakuan semakin parah. Misalnya ada yang berbuat kesalahan maka hukuman paling ringan di posting di group wa seluruh residen. Yang ditemukan liputan6.com misalnya lupa tidak menghanti air galon, maka akan diunggah foto senior sedang mengganti galon disertai ucapan sarkastik.
"Terima kasih dokter, jaga 1 yang ganti, yunior sekarang sibuk."
Sementara itu terkait kasus ini, juga ditemukan adanya upaya untuk menyembunyikan dari publik. Bahkan para peserta PPDS mendapat ancaman akan dikenai sanksi tegas jika sampai bocor.
Sebelumnya ucapan duka cita dari fakultas lain diminta untuk diturunkan (take down). Namun kesulitan karena terlalu banyak yang mengucapkan berduka cita, termasuk RSUP Kariadi dan RSUD dr Kardinah Tegal.