Liputan6.com, Bandung - Informasi soal gempa megathrust (zona penunjam) kembali mencuat. Sebagian besar masyarakat mengungkapkan kekhawatirannya atas kejadian alam yang disinyalir tinggal menunggu waktu ini.
Namun pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah kejadian gempa bumi dapat diprediksi? Atau informasi tersebut hanya kesimpulan singkat dari sebuah analisa panjang? Bagaimana secara teknis hal tersebut dapat terjadi? Berikut penjelasan dari Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) soal sumber gempa bumi zona penunjam alias megathrust.
Advertisement
Menurut Koordinator Mitigasi Gempa Bumi PVMBG Badan Geologi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Supartoyo, zona penunjaman merupakan tempat pertemuan atau interaksi antar lempeng, khususnya yang bersifat tumbukan (convergent).
"Apabila interaksi tersebut melibatkan dua lempeng yang berbeda, yaitu lempeng benua dan samudera disebut subduksi, sedangkan apabila interaksi antara lempeng sejenis disebut kolisi," jelas Supartoyo dalam keterangan tertulisnya, Kamis (15/8/2024).
Supartoyo mengatakan zona subduksi terbentuk akibat tumbukan antara dua lempeng yang berbeda massa jenis, yaitu lempeng benua dan lempeng samudera.
Ciri khas proses subduksi adalah terbentuknya magma pada kedalaman sekitar 150 km hingga 200 km, kemudian menerobos ke permukaan bumi dan muncul sebagai gunung api.
Supartoyo menuturkan adapun mekanisme kolisi tidak demikian. Zona penunjaman dibagi menjadi dua, yaitu megathrust dengan kedalaman penunjaman sekitar kurang dari 50 km dan intraslab atau zona Benioff yakni dengan kedalaman penunjaman sekitar lebih dari 50 km.
"Gempa bumi ini bersumber dari megathrust berpotensi menghasilkan gempa bumi dengan kekuatan besar, yaitu magnitudo lebih dari delapan sehingga berpotensi terjadi tsunami," ungkap Supartoyo.
Supartoyo menerangkan isu tentang gempa bumi megathrust dan potensi terjadinya tsunami yang saat ini muncul, sebelumnya telah muncul berkali-kali, antara lain tahun 2004, 2018, 2022 dan terakhir 2024.
Isu tersebut berkembang menjadi kekhawatiran dan keresahan masyarakat, karena kurangnya pemahaman masyarakat dalam menerima informasi tersebut.
Semestinya jelas Supartoyo, data dan informasi tersebut dijadikan pedoman untuk meningkatkan upaya mitigasi gempa bumi dan tsunami.
"Zona penunjaman merupakan sumber gempa bumi utama di Indonesia yang membentang mulai dari barat Pulau Sumatera, selatan Jawa hingga Bali dan Nusa Tenggara, laut Banda, utara Papua, utara Sulawesi, timur Sulawesi Utara dan barat Halmahera," lanjut Supartoyo.
Zona penunjaman yang membentang di barat Pulau Sumatera, selatan Jawa hingga Bali dan Nusa Tenggara dikenal sebagai Busur Sunda.
Berdasarkan catatan Badan Geologi selama tahun 2022 telah terjadi beberapa kejadian gempa bumi di selatan Banten dan Jawa Barat yang berkaitan dengan aktivitas pada zona penunjaman alias megathrust dan intraslab.
Supartoyo menjelaskan zona penunjaman Busur Sunda yang terletak di selatan Jawa saat ini cukup aktif yang dibuktikan dengan sering terjadi gempa bumi.
"Gaya tektonik yang bekerja pada zona penunjaman tentu akan terjadi penumpukan energi, dan suatu ketika energi tersebut akan dilepas menjadi gempa bumi," ungkap Supartoyo.
Data Gempa Bumi Badan Geologi
Berdasarkan referensi yang dikumpulkan dari Newcomb dan McCan, 1987; Okal, 2012 dan catatan Badan Geologi, kejadian gempa bumi di Busur Sunda setelah tahun 1900 pernah terjadi pada tahun 1903 (M 7,9), 1921 (M 7,3), 1937 (M 7,2), 1994 (M 7,8) dan 2007 (M 7,7).
Menurut perhitungan para ahli kebumian, gempa bumi bersumber dari zona penunjaman Busur Sunda terutama dari zona megathrust di selatan Jawa diperkirakan kekuatannya mencapai magnitudo delapan, sehingga diperkirakan berpotensi terjadi tsunami.
Data tersebut dipergunakan untuk melakukan pemodelan bahaya gempa bumi dan tsunami dengan kondisi kasus terburuk guna mendukung upaya mitigasi gempa bumi dan tsunami.
"Hal ini dilakukan juga oleh Badan Geologi dalam menyusun Peta Kawasan Rawan Bencana Gempa Bumi (KRBG) dan Peta Kawasan Rawan Bencana Tsunami (KRBT)," jelas Supartoyo.
Supartoyo menegaskan kejadian gempa bumi dan tsunami hingga kini belum dapat diramal menyangkut waktu, kekuatan dan lokasinya.
Sehingga upaya terbaik yang dapat dilakukan adalah melalui peningkatan upaya mitigasi yang dilakukan secara struktural dan non struktural.
Mitigasi struktural dilakukan melalui pembangunan fisik untuk dapat mengurangi jenis-jenis bahaya gempa bumi dan tsunami.
"Mitigasi non struktural dilakukan dengan meningkatkan kapasitas pemerintah setempat dan penduduk yang bermukim dan beraktivitas di KRBG dan KRBT guna menghadapi ancaman potensi bencana gempa bumi dan tsunami," sebut Supartoyo.
Advertisement
Upaya Badan Geologi
Supartoyo mengatakan Badan Geologi turut berperan dalam upaya mitigasi gempa bumi dan tsunami melalui penyediaan data dasar berupa peta KRBG dan peta KRBT.
Selain itu juga Badan Geologi melakukan kegiatan sosialisasi dan simulasi gempa bumi dan tsunami.
Oleh karena itu guna menghadapi ancaman potensi dari gempa bumi megathrust di selatan Jawa, Badan Geologi merekomendasikan agar meningkatkan upaya mitigasi, mendorong kepada Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota untuk dapat memanfaatkan peta KRBG dan peta KRBT dari Badan Geologi untuk masukan dalam penataan ruang.
"Serta medorong kepada Pemerintah Provinsi, Kabupaten dan Kota untuk menyusun regulasi khusus tentang mitigasi gempa bumi, mitigasi tsunami yang disusun secara terpisah dari bencana yang lain," sebut Supartoyo.
Supartoyo mengatakan regulasi tersebut bisa berbentuk Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati, Peraturan Walikota atau SK Gubernur, Bupati, Walikota tentang mitigasi gempa bumi dan mitigasi tsunami.
Harapannya ucap Supartoyo, dengan berbagai upaya tersebut akan dapat mengurangi risiko dari kejadian gempa bumi dan tsunami.