Liputan6.com, Semarang - Rektor Undip Prof Dr Suharnomo sudah menjelaskan bahwa pemberitaan mengenai adanya perundungan di Program Pendidikan Dokter Spesialis FK Undip sebagai hal yang tidak benar. Menurutnya kematian salah satu mahasiswa PPDS itu karena penyakit yang dideritanya.
“Almarhumah mempunyai problem kesehatan yang dapat mempengaruhi proses belajar yang sedang ditempuh,” ungkap Rektor Undip dalam keterangan persnya.
Advertisement
Penjelasan rektor ini direspon oleh beberapa mahasiswa PPDS. Mereka menyebutkan bahwa perundungan itu memang terjadi. Menurutnya jika rektor mengatakan hal itu berdasarkan laporan bawahannya, bisa dipastikan rektor dibohongi.
"Tak ada tim yang menanyai kami. Meskipun disebutkan ada tim investigasi," kata salah satu dokter peserta PPDS FK Undip.
Bentuk perundungan yang terjadi biasanya disebabkan oleh hal-hal sepele. Misalnya saja terjadi salah ketik ketika menjawab chat atau percakapan. Termasuk jika tidak serta merta merespon apa yang disampaikan seniornya.
"Hukumannya sangat nggak manusiawi. Kami pernah disuruh makan nasi Padang langsung lima bungkus dengan lauk yang sudah ditentukan. Senior nggak peduli jika ada yang alergi atau efek ke pencernaan kami karena ada yang nggak doyan pedes," katanya.
Makan nasi Padang lima bungkus sekaligus itu para yunior juga harus membeli sendiri. Para yunior ini diminta merekam video dan mengunggah di grup.
"Jika ada yang terlambat dari waktu yang sudah ditentukan, maka sanksi lanjutan yang lebih berat sudah menunggu," katanya.
Peserta PPDS yang lain menyebutkan bahwa kasus bunuh diri seorang dokter asal Tegal karena tak tahan menghadapi perundungan seniornya belum mampu membangkitkan keberanian angkatannya untuk bicara lebih terbuka.
"Kami bisa saja bicara lebih terbuka. Mungkin ada yang menyebut kami akan dilindungi. Tapi jika pelaku masih di sekitar kami, bagaimana mungkin perlindungan itu bisa dilakukan?" katanya.
Ia menyebutkan bahwa untuk membuka tuntas kasus ini, harusnya tak ada lagi senior yunior. Dokter pembimbing juga harus aktif menghilangkan model senioritas. Grup percakapan PPDS menurutnya sangat penuh dengan bukti-bukti adanya perundungan.
Apakah tak ada dokter pembimbing dalam grup itu?
Sumber liputan6.com ini tak berani menjawab. Ia mempersilakan Rektorat dan Polisi bekerjasama untuk memeriksa sendiri.
"Yang menjadi pelaku harus mendapat sanksi. Mulai sanksi pidana hingga pemecatan sebagai ASN dan pencabutan surat izin praktek," katanya.
Polisi Bergerak
Meskipun sudah sejak awal peristiwa polisi sudah langsung datang ke TKP, namun hingga kini Polrestabes Semarang mengaku masih menyelidiki penyebab kematian mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesia Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Jawa Tengah (Jateng).
Mahasiswi berinisial ARL (30) ditemukan bunuh diri dengan menyuntikan cairan obat ke tubuhnya. Kasat Reskrim Polrestabes Semarang Kompol Andika Dharma Sena menyebut masih mendalami penyebab korban nekat mengakhiri hidupnya.
"Terkait dengan informasi mengenai perundungan masih kami cek," kata Kompol Sena.
Berdasarkan informasi yang diterima polisi, korban merasa tak kuat lagi dalam menempuh perkuliahan.
"Informasinya yang bersangkutan sudah tidak kuat lagi atau bagaimana mau cek lagi, benar apa tidak," kata Kasat Reskrim Polrestabes Semarang.
Dokter muda asal Kota Tegal yang berusia 30 tahun itu mendapatkan tugas untuk menempuh pendidikan PPDS Anestesia Undip di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr Kariadi Semarang.
Meninggalnya dokter muda di kamar indekos pertama kali diketahui pemilik kos dan teman korban. Saat itu kondisi kamar terkunci dari dalam, sementara korban tak bisa dihubungi.
Korban ditemukan meninggal dunia dalam posisi miring di kamarnya. Di sekitar korban ditemukan sisa obat yang disuntikkan lewat lengannya.
Sampai saat ini Rektor Undip masih mempercayai laporan bahwa korban meninggal karena penyakitnya. Sementara polisi sempat menduga bahwa catatan korban yang menyebut tidak kuat dimaknai tidak kuat mengikuti materi yang berat.
Advertisement