Bedah Buku Merahnya Ajaran Bung Karno, Hasto PDIP Ajak Rakyat Lawan Ketidakadilan

Buku Merahnya Ajarannya Bung Karno karya Airlangga Pribadi dianggap sebagai pedoman betapa pentingnya rakyat untuk berdaulat dan melawan ketidakadilan.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 16 Agu 2024, 19:43 WIB
Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto dalam acara bedah buku "Merahnya Ajaran Bung Karno" dalam rangka Refleksi Kemerdekaan ke-79 RI yang digelar Persatuan Alumni GMNI Lebak di Museum Multatuli, Rangkasbitung, Banten, Jumat (16/8/2024). (Foto: Dokumentasi PDIP).

Liputan6.com, Jakarta Buku Merahnya Ajarannya Bung Karno karya Airlangga Pribadi dianggap sebagai pedoman betapa pentingnya rakyat untuk berdaulat dan melawan ketidakadilan.

Buku yang diilhami dari nilai-nilai perjuangan Bung Karno itu juga mengajarkan betapa pentingnya melawan ketidakadilan meski harus melewati jalan yang terjal.

Sekretaris Jenderal DPP PDIP Hasto Kristiyanto meyakini seluruh pemikiran Bung Karno mengandung nilai perjuangan tentang pembebasan rakyat. Pemikiran Bung Karno memiliki desain untuk membawa rakyat berdaulat, bukan untuk merubah kedaulatan rakyay hanya menjadi kedaulatan bagi keluarganya sendiri.

“Untuk itu, tujuan kita adalah merombak struktur kekuasaan yang tidak adil, struktur kekuasaan yang desainnya adalah untuk kedaulatan rakyat, tapi telah dirubah untuk keluarga, ini yang harus kita lakukan perlawanan dari aspek intelektual hingga menjadi gerakan,” kata Hasto saat menjadi pembicara dalam acara bedah buku "Merahnya Ajaran Bung Karno" dalam rangka Refleksi Kemerdekaan ke-79 RI yang digelar Persatuan Alumni GMNI Lebak di Museum Multatuli, Rangkasbitung, Banten, Jumat (16/8/2024).

Ada pembicara lainnya, yakni Airlangga Pribadi, Pengamat Politik Rocky Gerung, dan Sejarawan Bonnie Triyana.

Sekretaris Jenderal DPP PDIP itu juga menyinggung bagaimana di Rangkasbitung ada sosok petani yang berani melawan kolonialisme Belanda, berjuang hidup atau mati.

Menurut Hasto, hal ini menjadi bagian dari sejarah perjuangan dari hasrat setiap manusia untuk memiliki jiwa-jiwa yang merdeka, memiliki suatu jiwa-jiwa yang menentang setiap bentuk ketidakadilan.

“Maka kalau petani pun berani berjuang, kita pun dengan seluruh kekuatan intelektual dan kekuatan pergerakan kita, harus mendidik rakyat agar kita tidak membiarkan terhadap berbagai bentuk ketidakadilan,” tegas Hasto.

Penulis buku "Merahnya Ajaran Bung Karno", Airlangga Pribadi Kusman menyinggung gagasan yang muncul pada 1970an bernama theatre of the oppress (teater kaum tertindas).

Menurut Airlangga, gagasan yang ditulis Sastrawan Augusto Boal itu menggambarkan perjuangan Presiden pertama Soekarno alias Bung Karno, yang melawan penindasan oleh penjajah untuk mendorong pembebasan. Ia menilai semangat itu kini sudah berbeda.

"Dalam teater itu kalau kita dalam konteks perjuangan, maka akan melihat Bung Karno adalah tokoh yang mendorong pada proses pembebasan dan perubahan sosial," ujar Airlangga.

Airlangga menyebut Bung Karno sebagai tokoh theatre of the oppress, yang melibatkan rakyat untuk turut membangun tanah air dan seisinya, bukan sebagai penonton saja.

"Mereka (rakyat) tidak diam, mereka bagian dari teater pembebasan," tuturnya.

 


Teater

Akan tetapi, ia menilai teater dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang saat ini terlihat bukan perjuangan dimaksud. Apa yang terpampang di depan mata lebih menjurus teater of the oppresor alias teater kaum penindas.

Dalam teater tersebut, Airlangga mengatakan rakyat tak diberi kesempatan untuk melakukan perubahan sosial. Selain itu, teater tersebut juga menggambarkan pembungkaman dan menyebarkan rasa takut.

"Menjadikan rakyat diam, takut, bungkam. Yang di dalam teater of the oppresor ini berisi kisah drama korea tentang pembungkaman, penipuan, politisasi hukum, dan berbagai macam intrik kekuasaan," tuturnya.

 


Lebih Indah

Di sisi lain, pengamat politik Rocky Gerung menilai senyuman Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri lebih indah dari ekspresi Mona Lisa karya Leonardo Da Vinci.

Menurut Rocky, ekspresi Megawati itu lebih indah dalam konteks tetap tersenyum di tengah intimidasi dari penguasa.

Rocky mulanya menceritakan pengalamannya saat berkunjung ke Museum Louvre di Paris beberapa waktu lalu. Dia lalu melihat lukisan asli Mona Lisa.

"Saya berfoto di situ. Saya menikmati senyum Mona Lisa. Tetapi begitu saya pulang ke Indonesia, saya tahu ada senyum yang lebih indah dari Mona Lisa. Senyum Megawati. Senyum Megawati yang didera oleh politik, diintimidasi oleh kekuasaan, Megawati senyum. Belum tentu Mona Lisa kalau diintimidasi oleh kekuasaan dia senyum," kata Rocky.

Rocky lalu menyampaikan bahwa para pendiri bangsa memiliki kemampuan berpikir. Menurut dia, penting untuk mengembalikan kemampuan tradisi berpikir untuk diterapkan rakyat Indonesia. Karena itu, Rocky selalu menyukai diundang dalam acara diskusi seperti ini.

"Karena hanya dengan pikiran kita bisa meloloskan seluruh ide, untuk bertengkar dengan pikiran bangsa. Saya mau memaksimalkan forum ini, sebagai upaya pertama untuk mendalilkan bahwa ada Ibu Kota Negara, tetapi saya ingin Rangkasbitung jadi Ibu Kota Pikiran," kata Rocky.

Rocky menekankan forum ini ialah diskusi buku Merahnya Ajaran Bung Karno. Dia ingin mengajak audiens untuk membaca bagaimana Bung Karno bisa direlevansikan di dalam keadaan hari-hari ini, ketika ada ketegangan dunia.

Rocky mengatakan ketika orang bepergian ke Eropa atau Amerika Serikat, mereka tidak bertanya soal bahasa. Namun, mereka akan bertanya tentang HAM, demokrasi, lingkungan hidup, dan solidaritas kemanusiaan.

"Semua itu adalah pikiran Bung Karno, bahkan mendahuli zaman. Jadi, kita jangan tenggelamkan pikiran itu," kata Rocky.

Selain itu, Sejarawan Bonnie Triyana menyindir Presiden Joko Widodo yang menganggap Istana Negara berbau kolonial. Bonnie menegaskan kolonialisme lebih kepada watak seseorang bukan pada bangunan fisik.

"Jadi kalau ada orang yang bilang bau-bau kolonialisme itu bukan pada bangunan fisik, tapi pada watak, pada pikiran, pada perilaku. Itu watak kolonial yang bahaya yang bisa dilakoni oleh siapapun," kata Bonnie.

Bonnie mencontohkan salah satu watak kolonial ialah memakai hukum guna menindas rakyatnya sendiri. Watak semacam ini biasa dimiliki orang yang tengah duduk manis di kursi pemimpin.

"Apalagi dia sedang berada di tampuk kekuasaan. Watak kolonial ini apa cirinya? Di zaman kolonial, pemerintah kolonial itu menggunakan hukum untuk menindas," ujar Bonnie.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya