Said Abdullah Usulkan 4 Prioritas Kebijakan Fiskal 2025, Ini Daftarnya!

Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah mengusulkan beberapa prioritas kebijakan fiskal 2025.

oleh Fachri pada 16 Agu 2024, 21:45 WIB
Ketua Banggar DPR RI Said Abdullah. (Istimewa)

Liputan6.com, Jakarta Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Said Abdullah mengusulkan beberapa prioritas kebijakan fiskal 2025. Usulan prioritas kebijakan fiskal itu meliputi kemandirian pangan, kemandirian energi, peningkatan sumber daya manusia (SDM), dan infrastruktur.

Dari sisi kemandirian pangan, Said Abdullah menjelaskan, sejak 2014 sampai 2023 jumlah kumulatif impor beras nasional mencapai 8,95 juta ton beras.

"Kalau kita hitung, 2019-2023 nilai impor beras nasional mencapai 1,95 miliar USD, impor gula juga tidak kalah fantastis karena tahun lalu impor gula mencapai 5,07 juta ton dengan nilai 2,88 miliar USD dan komoditas lainnya seperti kedelai, susu, jagung, daging sapi, sayuran, buah semuanya impor," jelasnya.

Said Abdullah pun menyebut, di tahun 2023 lalu, ekspor hasil pertanian 6,5 miliar USD, sedangkan nilai impornya mencapai 11,59 miliar USD, sehingga defisit impor hasil pertanian mencapai 5,0 miliar USD.

"Kita perlu program kemandirian pangan yang lebih fokus, yakni mendorong pangan pokok agar tidak bertumpu pada beras, sebab kita memiliki keanekaragaman pangan pokok yang beragam; umbi, sagu, dan sorgum," sebutnya.

"Program teknologi pangan harus mendorong tumbuhnya industrial farming, optimalisasi lahan tidak produktif, serta meningkatkan hasil laut sebagai kekayaan pangan masa depan yang lebih sehat," jelas Said Abdullah.

 


Program Kemandirian Energi

Floating Storage and Offloading (FSO) Arco Ardjuna, kapal penampung produksi minyak mentah milik Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ), mengakhiri masa baktinya hari ini, Rabu (14/8/2024), setelah lebih dari 50 tahun berkontribusi terhadap kebutuhan minyak dan gas tanah air.

Said Abdulah mengungkapkan, dalam rentang 2015-2023, impor minyak mentah Indonesia mencapai 69,3 miliar USD, sementara ekspor kita hanya 30,1 miliar USD. Ia menyebut, terdapat defisit 39,2 miliar USD.

Sementara itu, Said juga mengatakan, nilai impor hasil minyak mencapai 165,2 miliar USD, sedangkan nilai ekspor hanya 17,9 miliar USD yang berakibat defisit sangat dalam 147,3 miliar USD. 

"Sejak konversi program minyak tanah ke LPG, kebutuhan impor LPG kita terus meningkat dan dalam rentang 2015-2023, kebutuhan impor LPG kita mencapai 51,4 juta ton, di lain pihak setiap tahun kita bisa ekspor gas alam dengan nilai yang cukup fantastis dan periode 2015-2023 nilai ekspor gas alam kita mencapai 70,2 miliar USD," ungkapnya.

Said Abdullah menilai bahwa dalam jangka pendek, transformasi energi  yang bersandar ke minyak bumi termasuk LPG harus digeser ke listrik, sebab Indonesia memiliki produksi listrik yang besar dan di topang oleh suplai batu bara yang memadai.

"Namun kebijakan energi tidak boleh terhenti di listrik, sebab transformasi pembangkit listrik PLN tidak boleh hanya bertumpu pada PLTU," ujarnya.

"Oleh sebab itu, bauran kebijakan energi baru dan terbarukan ke depan harus lebih progresif," imbuh Said Abdullah.

Dirinya pun membeberkan, pada tahun 2015 bauran energi terbarukan masih 4,9%, di tahun 2022 bauran energi terbarukan mencapai 12,3%.

"Meski tumbuh baik, namun butuh lompatan yang lebih besar, karena itu dibutuhkan kebijakan afirmasi, idealnya proporsi bauran energi baru dan terbarukan lima tahun ke depan minimal mencapai 30%," beber Said Abdullah.

 

 


SDM dan Infrastruktur

Ekspresi peserta saat mengikuti Seleksi Kompetensi Dasar (SKD) berbasis Computer Assisted Test (CAT) untuk CPNS Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) di Kantor BKN Regional V, Jakarta, Senin (27/1/2020). Seleksi berlangsung 27-31 Januari 2020. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Said Abdullah mengusulkan prioritas kebijakan fiskal menyasar kepada peningkatan sumber daya manusia dan infrastruktur. Dari sisi SDM, menurutnya, tenaga kerja saat ini berjumlah 142,1 juta namun 54,6% di antaranya lulusan SMP ke bawah.

"Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar tenaga kerja kita terserap di sektor informal, dengan demikian, kita belum mendapatkan manfaat maksimal dari bonus demografi," ujarnya.

Selain itu, Said Abdullah juga mengatakan, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada di peringkat enam ASEAN, di bawah Singapura, Brunei, Malaysia, Thailand, dan Vietnam.

"Balita, sebagai generasi masa depan kita masih mengalami prevalensi stunting sebanyak 21% dan afirmasi untuk memperbaiki kualitas SDM sebagai daya saing utama harusnya jadi perhatian utama ke depan," katanya.

"Setidaknya ke depan indeks pembangunan manusia kita bisa melampaui Vietnam, Thailand, dan Malaysia," imbuh Said Abdullah.

Pemandangan gedung perkantoran dan pusat perbelanjaan di Jakarta, Selasa (5/4/2022). Bank Dunia menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2022 menjadi 5,1 persen pada April 2022, dari perkiraan sebelumnya 5,2 persen pada Oktober 2021. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Di sisi lain, Said menekankan pembangunan infrastruktur yang banyak menyerap anggaran negara harus dapat menopang kemandirian pangan, kemandirian energi dan kemandirian peningkatan sumber daya manusia (SDM).

"Kebijakan fiskal harus mendorong penguatan program infrastruktur, terutama infrastruktur yang menopang ketiga program di atas (Kemandirian pangan, energi, dan SDM). Dengan demikian belanja infrastruktur bisa lebih fokus, apalagi kita tidak memiliki ruang fiskal yang longgar karena tergerus berbagai kewajiban mandatory, subsidi, dan kewajiban pembayaran bunga dan pokok utang," kata Said Abdullah.


Target Pertumbuhan Ekonomi

Di sisi lain, Said Abdullah menargetkan pertumbuhan tahun depan minimal ada di angka 5,4% kepada pemerintahan Prabowo Subianto. Baginya, angka itu moderat dan menjadi modal awal untuk mengembalikan angka pertumbuhan tinggi seperti masa lalu yang sempat sentuh 6-7%.

Sebelumnya, pada Nota Keuangan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, pemerintah mengusulkan target pertumbuhan ekonomi 5,2%, inflasi 2,5%, suku bunga SBN 10 tahun 7,1%, nilai tukar rupiah Rp16.100 /USD, harga minyak mentah Indonesia 82 USD/barel, lifting minyak bumi 6000 ribu barel/hari, dan lifting gas 1.005 ribu barel setara minyak/hari.

Menanggapi hal itu, Said Abdullah berharap, bauran kebijakan pembayaran valas bisa lebih beragam sehingga ketergantungan terhadap USD bisa dikurangi. Menurutnya, kurs bisa lebih rendah di level Rp15.900- 16.000/USD.

"Demikian halnya dengan suku bunga SBN bisa kita dorong lebih rendah, sebab kita sudah menghadapi beban bunga utang yang semakin tinggi, dan tertinggi di ASEAN, idealnya suku bunga SBN bisa di level 6,7%," ujarnya.

 

(*)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya