Subsidi Pupuk Mau Diubah Jadi BLT, Wamentan: Masih Wacana

Pemerintah berencana untuk mengubah skema penyaluran pupuk bersubsidi menjadi semacam bantuan langsung tunai ke petani. Wakil Menteri Pertanian, Sudaryono mengatakan hal itu masih sebatas wacana.

oleh Arief Rahman H diperbarui 18 Agu 2024, 09:00 WIB
Pupuk Bersubsidi.

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah berencana untuk mengubah skema penyaluran pupuk bersubsidi menjadi semacam bantuan langsung tunai ke petani. Wakil Menteri Pertanian, Sudaryono mengatakan hal itu masih sebatas wacana.

Menurutnya, wacana itu masih terus dibahas oleh pemerintah. Kementerian Pertanian sendiri, diakuinya belum mendapatkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis soal pelaksanaannya.

"Baru wacana, kita belum mendapatkan juklak juknis yang lebih," kata Sudaryono, dikutip Minggu (18/8/2024).

Dia menyampaikan, rencana untuk mengubah skema penyaluran subsidi pupuk itu masih dalan tahap inisiasi. Belum ada kebijakan pemerintah untuk melaksanakan skema tersebut.

"Jadi masih dalam tahap, itu tahap inisiasi, ada gagasan, belum pada tahap kebijakan," ucapnya.

Perlu diketahui, saat ini subsidi pupuk disalurkan pemerintah kepada produsen. Besaran volumenya mencapai 9,55 juta ton setelah penambahan.

Sudaryono belum bisa memastikan apakah wacana 'BLT Pupuk' itu akan dibahas di pemerintahan Presiden Terpilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Hanya saja, sejauh ini dia belum mendapat arahan khusus.

"Kami belum, sejujurnya kami sebagai kementerian teknis belum mendapatkan arahan terkait itu," tegasnya.

Penyaluran Pupuk Bersubsidi

Sebelumnya, Pemerintah berencana mengubah skema penyaluran pupuk bersubsidi menjadi bantuan tunai secara langsung kepada petani. Namun, skema ini dinilai rawan tidak tepat sasaran.

Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad menyoroti soal data petani penerima pupuk subsidi. Dia melihat setidaknya ada 24 juta petani di Indonesia dengan klasifikasi penerima subsidi.

Sayangnya, kata dia, data itu cukup beragam. Misalnya, pada luasan lahan sawah atau kebun yang digarap. Melalui skema penyaluran pupuk subsidi saat ini pun, masih banyak yang belum tepat sasaran.

 

 


Risiko Skema Subsidi Pupuk Diubah

Pekerja melakukan bongkar muat pupuk bersubsidi di Gudang Pupuk Lini III Sumur Pecung, Kota Serang, Banten (Liputan6.com/HO)

Tentu saja dengan mekanisme subsidi ini plus minusnya adalah tentu saja menekan harga pupuk secara keseluruhan. Tetapi bisa saja terjadi subsidi salah sasaran karena tetap petani yang menerima lahan luas di atas setengah hektare cenderung untuk menerima subsidi pupuk dan benih yang lebih banyak, ketimbang yang bawah gitu ya," ucap Tauhid, dihubungi di Jakarta, Jumat (9/8/2024).

Dia mengatakan, dengan mengubah skema menjadi bantuan langsung tunai (BLT) sekalipun, belum bisa menutup celah tidak tepat sasaran tadi. Mengingat lagi ada alokasi jumbo untuk mensubsidi pupuk ke petani.

"Kita kan ada 24 juta petani tuh. Nah kalau misalnya katakanlah menggunakan data itu, tetap saja menggunakan BLT ini ketidaktepat sasaran terutama yang petani kaya yang sebenarnya mampu membeli pupuk subsidi itu tetap saja akan terjadi begitu," urainya.

"Nah itu saya kira dan trennya apalagi rata-rata kan subsidi pupuk ya Rp 30-an triliun ya besar sekali," sambung Tauhid.

 


Dipakai Bayar Utang

Ilustrasi Pupuk Bersubsidi (Istimewa)

Dia menegaskan, subsidi pupuk tidak bisa disamakan dengan bantuan sosial (bansos). Pasalnya ada target yang dihitung dari subsidi pupuk, seperti peningkatan produksi pertanian.

"Kalau cash (tunai) pasti masuk ke kanan kan gak bisa dipastikan. Yang terjadi jangan-jangan untuk bayar utang. Praktiknya kan seperti itu ya. Petani mereka gak mampu mereka ijon dulu biasanya kan pupuk, terus bayar utang terus utang lagi gitu," tegas dia.

Senada, Direktur Eksekutif Segara Institute, Piter Abdullah menyoroti soal data petani penerima subsidi yang belum valid. Hal ini dikhawatirkan jadi kelemahan jika subsidi pupuk diberikan mirip skema BLT.

"Menurut saya, skema BLT ini bukan solusi terbaik. Karena itu tadi, masih ada kendala di data. Sangat ditentukan oleh datanya. Kita tahu BLT sendiri banyak kritik, banyak masalah. Kalau kita menggunakan pola BLT, kita akan mengulang apa yang terjadi di BLT. Kita tahu bagaimana BLT itu yang membutuhkan tidak dapat, yang tidak butuh malah dapat dua kali," bebernya.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya