Liputan6.com, Jakarta - Majelis Hukama Muslimin (MHM) kembali menggelar talkshow pada Islamic Book Fair 2024 di Jakarta Convention Center (JCC) Hall, Senayan, Sabtu (17/8/2024). Talkshow pada hari keempat pameran buku keislaman terbesar di Indonesia ini mengangkat tema Peran Agama Promosikan Budaya.
Advertisement
Hadir sebagai narasumber, Menteri Agama RI (2014 - 2019) Lukman Hakim Saifuddin dan Guru Besar Filologi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Oman Fathurahman. Sebagai moderator, Direktur MHM cabang Indonesia, Muchlis M Hanafi.
Stan MHM dalam talkshow hari ini dipenuhi ratusan pengunjung. Sebagian dari mereka adalah santri pesantren dan mahasiswa sejumlah perguruan tinggi.
Kedua narasumber ini mengapresiasi perhatian MHM terhadap kajian relasi agama dan budaya, serta beragam inisiatif lainnya, mulai dari penerbitan buku keagamaan hingga beragam kegiatan seminar.
Lukman mengatakan MHM berperan besar dan strategis dalam merawat warisan pendahulu yang baik dan berinovasi mengembangkan apa yang diwariskan agar lebih baik lagi dalam merespons perkembangan zaman. Sementara Oman Fathurahman mengapresiasi beragam inisiatif MHM dalam mempromisikan wasathiyah.
Terkait relasi agama dan budaya, Lukman menjelaskan bahwa agama dan budaya sebagai satu kesatuan yang meski ada perbedaan, tapi tidak seharusnya dipisah-pisahkan. Menurutnya, Indonesia bisa bertahan dan banyak diapresiasi warga dunia, salah satunya karena agama dan budaya. Keduanya membuat Indonesia bertahan dari dulu sampai sekarang dan menjadi modal menjalani kehidupan di masa depan.
"Agama itu nilai yang datang dari Tuhan. Nilai ini ketika membumi, membutuhkan wadah tempat nilai bisa teraktualisasikan. Jika tidak ada tempat, nilai hanya akan melayang-layang. Wadah itu adalah budaya," pesan pria yang akrab disapa LHS ini di Jakarta.
"Maka agama, ajaran, nilai kebajikan dengan budaya adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, meski bisa dibedakan. Tanpa budaya, agama tidak bisa mengejawantah. Budaya memerlukan nilai. Sebab budaya adalah cara manusia merespons masalah yang dihadapi. Cara itu lalu menjadi kebiasaan, tradisi, adat istiadat, lalu membudaya," sambungnya.
LHS lalu menjelaskan bahwa ada dua jenis ajaran agama: universal (inti, pokok ushuli) dan partikular (cabang, furuiyah). Ajaran universal diyakini kebenarannya seluruh manusia tanpa kecuali, apapun suku, negara, dan agamanya, bahkan oleh orang yang tidak beragama. Misalnya: kemanusiaan, keadilan, persamaan di depan hukum, kemaslahatan, dan lainnya.
"Persamaan di depan hukum adalah nilai universal agama. Maka praktik diskriminatif selalu tertolak oleh agama. Kemaslahatan inti pokok ajaran agama, maka prakrik merusak selalu tertolak oleh ajaran agama," ujar LHS.
Terkait ajaran agama yang partikular, LHS menekankan bahwa jangankan oleh semua manusia, bahkan oleh sesama penganut agama yang sama juga bisa berbeda-beda. Sesama muslim bisa berbeda dalam memahami salat Subuh itu pakai qunut atau tidak. Demikian juga dengan masalah ziarah kubur dan lainnya.
"Kontribusi agama penting sekali bagi budaya. Tanpa budaya, agama tidak bisa membumi. Budaya pasti beragam karena itu respons manusia dalam mengejawantahkan ajaran agama," tegasnya.
"Sebesar apa pun beda budaya, jangan ingkari yang inti. Sebab, ajaran inti agama tidak boleh diingkari atas alasan apapun juga," tandasnya.
Agama dan Budaya
Guru Besar Filologi UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta Oman Fathurahman menjelaskan peran agama mempromosikan keragaman budaya dan peran budaya mempromosikan agama. Menurut Oman yang juga Pengasuh Pesantren Al Hamidiyah, Depok, mengatakan, keragaman budaya adalah ciri Indonesia dan Asia Tenggara
Lantas, apakah agama punya peran? Jelas. Pengampu Ngaji Manuskrip Nusantara (Ngariksa) ini lalu mencontohkan Sarung Batik yang kemudian menjadi ciri muslim Indoneaia, meski tidak dipakai dan dikenal di Arab.
"Sarung Batik sebagai budaya dikenal di luar Indonesia sebagai salah satu ciri muslim Indonesia karena dipromosikan. Agama mempromosikan keragaman budaya," papar Oman.
"Atas nama mempraktikan ajaran agama, kita jadi tahu budaya pakaian gamis dan mukena untuk menutup aurat, dan lainnya," sambungnya.
Terkait peran budaya dalam mempromosikan agama, Oman menjelaskan berkembangnya tradisi menulis di Indonesia sejak abad ke-16. Ia menjelaskan, sejak Abad ke-16, ulama Nusantara sudah menulis tapi menggunakan aksara Jawi (pegon melayu). Ini mempercepat dakwah Islam.
"Islam tidak akan secepat ini menyebar ke berbagai wilayah di luar Arab kalau tidak ada medium budaya. Jadi budaya sangat berperan," papar Prof Oman.
Salah satu manuskrip nusantara yang awal mincul adalah Sulaltus Salathin yang berisi tentang kisah Raja-Raja Pasai. Manuskrip ini ditulis dengan aksara pegon. Menurut Prof Oman, tradisi menulis dalam aksara arab tidak hanya berkembang di Jawa (pegon), tapi juga Bugis (Seram), Turki, dan Afrika ('Ajamy).
"Kalau tidak ada peran budaya, mungkin Islam hanya di Arab saja," sebutnya.
Advertisement
Selaraskan Agama dan Budaya
Dari manuskrip, lanjut dia, orang bisa memahami bahwa pandangan keagamaan ulama masa lalu sangat moderat. Pada manuskrip abad 17 misalnya, Kitab Ithaf Az Dzaky karya Ibrahim Al Kurani sudah mengajarkan bahwa al Jam'u Muqaddamun 'alat Tarjih. "Dalam menyikapi perbedaan pandangan, alih alih mengunggulkan dan menegasikan satu dengan yang lain, menghimpunnya jauh lebih baik," sebut Oman.
"Ada peradaban Islam di banyak negara. Ada peradaban Islam Arab, Turki, Amerika, dan Indonesia. Ini alah satu kontribusi budaya mempromosikan agama " tandasnya.
Selaku moderator, Muchlis M Hanafi menggarisbawahi dua hal. Pertama, perbedaan budaya itu indah jika disikapi dengan toleran. Kedua, Indonesia adalah bangsa yang beragama dan berbudaya.
"Kita harus bisa menyelaraskan antara agama dan budaya," tutupnya.