Liputan6.com, Jakarta - Ketua Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI), Adhi S Lukman memproyeksikan, penerapan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) di 2025 akan sangat berpengaruh pada volume penjualan produk industri makanan dan minuman (mamin), hingga berpotensi terhadap terjadinya PHK massal di sektor industri mamin.
Dalam konteks ini, ia membuat perbandingan dari hitungan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) soal pengenaan cukai minuman berpemanis di kisaran Rp 1.700 per liter, dengan potensi kenaikan harga produk mencapai 6-15 persen.
Advertisement
Menurut perhitungan Adhi, jika hitungan cukai Rp 1.700 per liter ditetapkan pada produk minuman 350 cc, nilai cukai yang bakal dipungut sekitar Rp 600 per botol.
"Kalau harga botol rerata Rp 5.000 di eceran, di pabrikan itu sekitar Rp 3.000. Berarti sekitar Rp 600 dari Rp 3.000, itu berarti naik 20 persen. Itu luar biasa, karena dari pangan olahan itu sensitif," ujar Adhi saat ditemui di Artotel Senayan, Jakarta, Senin (19/8/2024).
Merujuk hitungan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), ia menambahkan, elastisitas permintaan minuman berpemanis/bersoda sekitar 1,7 persen. Sehingga, jika ada kenaikan harga 1 persen akan menurunkan 1,7 persen penurunan.
"Kalau naik 20 persen, maka akan turun berapa? itu luar biasa. Kalau harga naik sekian, otomatis penjualan turun, maka pendapatan negara turun karena pajak perusahaan turun, mungkin ada PHK. Jadi di satu sisi penerimaan cukai naik, tapi secara keseluruhan pendapatan negara berkurang," paparnya.
Keinginan Pelaku Usaha
Adhi menggarisbawahi, kenaikan harga 20 persen itu baru terjadi di tingkat produksi. Sementara konsumen akhir (end user) bisa menanggung lonjakan harga lebih besar.
"Kenaikan 20 persen itu di pabrik saja, bahkan bisa 30 persen (di end user). Apakah konsumen sanggup menanggung itu? saya sangat tidak yakin konsumen sanggup. Kondisi yang tidak naik sekarang ini saja pasar agak lesu meski pertumbuhan naik," ungkapnya.
Ia turut meminta kejelasan maksud pemerintah dalam rencana pengenaan cukai minuman berpemanis ini. Ia tak ingin pemerintah hanya melihat tujuan kesehatan tanpa mempertimbangkan faktor ekonomi secara menyeluruh.
Adapun pada Buku II Nota Keuangan Beserta RAPBN 2025, dijelaskan tujuan pengenaan cukai terhadap MBDK salah satunya untuk menekan prevalensi Penyakit Tidak Menular (PTM) kepada masyarakat.
"Makanya saya mau clear, fungsi cukai ini untuk apa? untuk PTM atau income? sementara ini belum jelas. Background-nya memang untuk PTM, tapi itu tidak efektif. Saya berharap pemerintah bisa mengklarifikasi mau PTM atau income," tegas Adhi.
Advertisement
Pemerintah Terapkan Cukai Minuman Berpemanis Tahun Ini, Pengusaha: Harga Terpaksa Naik
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Industri Minuman Ringan (ASRIM), Triyono Prijosoesilo, menilai rencana Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan menerapkan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) tahun ini dapat membuat harga minuman ringan naik.
"Kalau cukai ini diterapkan, konsekuensinya ujung-ujungnya beban tambahan bagi industri, sehingga industri terpaksa menaikkan harga produk. Dan kemudian kalau menaikkan harga apakah menjadi terjangkau oleh konsumen. Mau nggak konsumen membeli?" kata Triyono saat ditemui di Jakarta, Kamis (14/3/2024).
Kata Triyono, kebijakan tersebut memang belum layak untuk diterapkan dalam waktu dekat. Bahkan, ia mempertanyakan tujuan pemerintah terkait rencana penerapan cukai MBDK.
Menurutnya, jika alasan penerapan cukai MBDK berkaitan dengan isu kesehatan, maka pelaku usaha meminta pemerintah untuk meninjau kembali secara komprehensif. Ia menegaskan, bukan hanya MBDK saja yang menyebabkan berbagai penyakit seperti obesitas dan diabetes.
"Tapi apakah tujuan besarnya bisa tercapai, kalau ternyata asupan gula itu datangnya dari mana-mana, bukan hanya dari minuman siap saji," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal juga mempertanyakan efektivitas dan esensi dari kebijakan cukai MBDK ini.
"Nah tapi sekali lagi tujuannya adalah mengendalikan. Jadi mestinya tolok ukurnya mestinya seberapa efektif kebijakan cukai dalam mengendalikan efek negatif yang dikatakan tadi, kalau yang berpemanis ya terhadap kalori, kesehatan. Ini serang kali dari sisi efektifitasnya sebetulnya rendah," pungkas Faisal.
Indonesia Bakal Terapkan Cukai Minuman Berpemanis Kemasan, Kemenkes: 50 Negara Lain Sudah Lakukan
Sebelumnya, Indonesia rencananya pada tahun ini bakal menerapkan peraturan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Penerapan cukai pada minuman berpemanis bukanlah hal baru, sudah ada sekitar 50 negara yang lebih dahulu menjalankan aturan tersebut.
Terdapat 50 negara yang telah menerapkan cukai SSB (Sugar-Sweetened Beverage atau minuman berpemanis)," kata Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI Eva Susanti di Jakarta Pusat pada Senin (29/1/2024).
Negara tetangga seperti Thailand, Malaysia, Filipina, dan Brunei Darussalam telah menerapkan peraturan serupa sejak beberapa waktu lalu.
Malaysia misalnya, sejak 2019 memberikan pajak 0,40 Ringgit Malaysia atau setara dengan Rp1.300 - per 100 ml minuman berkarbonasi dan alkohol dengan batasan gula lima gram.
Selain itu, Filipina sejak 2018 telah menerapkan peraturan yang sama dengan menerapkan cukai 6 Peso Filipina atau sekitar Rp1.600 - per liter untuk minuman berpemanis kalori dan non-kalori.
Data di Filipina menunjukkan manfaat ketika aturan cukai pada minuman kemasan berpemanis dijalankan. Paling tidak bisa mencegah ribuan kasus diabetes dan jantung di sana.
"Di Filipina, penerapan cukai (pada MBDK) dapat menghindari 5.913 kematian yang berhubungan dengan diabetes, 10.339 kematian yang berhubungan dengan penyakit jantung iskemik, dan 7.950 kematian yang berhubungan dengan stroke pada 20 tahun mendatang," kata Eva mengutip Antara.
Advertisement