Makin Banyak Mal di Jepang Sediakan Musala, Tuai Sentimen Anti-muslim dari Warganet Asing

Sejumlah mal dan toko di Jepang menyediakan musala untuk memenuhi kebutuhan beribadah turis muslim yang jumlahnya bertambah signifikan seiring pelemahan yen.

oleh Dinny Mutiah diperbarui 20 Agu 2024, 07:01 WIB
Salah satu sudut dalam musala di Karuizawa Prince Shopping Plaza, Jepang. (Liputan6.com/Dini Nurilah)

Liputan6.com, Jakarta - Semakin banyak department store dan mal di Jepang yang menyediakan musala untuk kebutuhan turis Muslim beribadah. Terlebih, kunjungan wisatawan dari negara-negara mayoritas Islam meningkat signifikan menyusul melemahnya nilai tukar yen.

Mengutip Kyodo, Senin, 19 Agustus 2024, toko Matsuya Ginza di distrik belanja papan atas Tokyo menjadi salah satunya. Dilaporkan sejumlah orang mengantre untuk salat di musala pada waktu-waktu tertentu. Ruangan itu dilengkapi dengan area mencuci kaki untuk berwudu sebelum shalat. Tersedia juga sajadah untuk orang-orang beribadah.

Seorang turis wanita asal Malaysia berusia 30an mengaku telah mencari tahu soal musala secara online sebelum tiba di Jepang. Dia bersyukur mendapatinya karena sulit menemukannya di area metropolitan seperti Tokyo.

Di antara department store lain di Tokyo, Shibuya Parco di kawasan perbelanjaan Shibuya juga menyediakan ruang shalat. Begitu pula dengan Aeon Mall Co, yang mengoperasikan kompleks perbelanjaan berskala besar. Pusat perbelanjaan itu telah menempatkan musala di tujuh gerai di Prefektur Chiba, Kanagawa, Aichi, Hiroshima, dan Okinawa. Mereka berencana untuk memperluas layanan ke toko lain.

Umat ​​Islam biasanya melaksanakan sholat lima kali sehari, meski ada pula yang mengurangi frekuensinya menjadi tiga kali saat dalam perjalanan, menurut Badan Pariwisata Jepang. Aktivitas mereka akan terbatas jika tidak menemukan musala dan harus kembali ke tempat penginapan.

"Ruang sholat merupakan infrastruktur penting yang serupa dengan kamar mandi dan ruang menyusui," kata seorang pejabat industri ritel, seraya menambahkan bahwa orang-orang di industri perlu bekerja sama untuk membuka musala tersebut. Menurut Organisasi Pariwisata Nasional Jepang, jumlah pengunjung ke Jepang dari Indonesia, Malaysia, dan Turki melampaui 870.000 pada 2023, naik 2,7 kali lipat dari satu dekade lalu.

 


Komentar Anti-muslim Muncul dari Warganet

ilustrasi sholat. ©2020 Merdeka.com

Inisiatif tersebut disambut positif sejumlah warganet. Namun, kolom komentar justru didominasi suara bernada anti-muslim. Dalam kolom komentar di berita yang diunggah ulang oleh Japan Today, salah satunya tak setuju dengan penyediaan musala karena menganggap tempat duduk dan tempat istirahat lebih berguna untuk lebih banyak orang.

"Mal dan fasilitas lainnya di Jepang biasanya memiliki tempat duduk umum yang sangat sedikit dibandingkan dengan kebanyakan negara maju lainnya. Akan lebih baik jika mereka menggunakan ruang, sumber daya, dan uang untuk menyediakan tempat duduk dan tempat istirahat bagi semua orang, bukan untuk kelompok terpilih yang relatif kecil," komentar seorang warganet.

"Sebuah analogi yang oke dari sudut pandang penganut kepercayaan tapi juga tidak benar-benar tepat. Kamar mandi dan ruang menyusui memenuhi kebutuhan dasar manusia; lainnya hanya memenuhi sebuah pilihan," imbuh warganet berbeda.

Ada pula warganet yang menyindir bahwa fasilitas itu semata untuk meningkatkan penjualan pusat perbelanjaan dan mal. "Perusahaan ritel tersebut hanya ingin menarik lebih banyak pelanggan dan meningkatkan penjualannya dengan menyediakan musala. Tampaknya tidak berbahaya sampai Anda melihat apa yang terjadi di beberapa negara Eropa," kata warganet dalam komentar bernada Islamofobia.


Wisata Medis di Jepang

Darma Satyanegara, Direktur Kyoai Medical Services. (dok. JCB Indonesia)

Selain menggarap segmen muslim, Jepang juga mulai menggarap wisata medis yang kini menyasar warga kalangan atas di Indonesia. Layanan utama yang ditawarkan adalah medical check-up secara menyeluruh dan detail.

JCB Indonesia menggandeng One Medica di Jepang dan Kyoai Medical Services yang berbasis di Jakarta untuk memfasilitasi layanan tersebut. Utamanya membantu mengatasi kendala bahasa yang menyulitkan pasien dari Indonesia mengecek kondisi kesehatannya di negeri matahari terbit.

"Jepang termasuk terdepan dalam kemajuan medisnya. Standar sehatnya tertinggi di dunia. Banyak yang ingin medical check up di Jepang, tapi terbentur kendala-kendala. Kami hadir membantu agar calon klien, khususnya pengguna JCB tidak ragu medical check-up di Jepang," ujar Darma Satyanegara, Direktur Kyoai Medical Services, dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis, 15 Agustus 2024.

General Manager of Medical and Sales Kyoai Medical Service, Aini Chandika menjelaskan tiga tujuan utama seseorang menjalani pemeriksaan kesehatan. Pertama adalah mendeteksi penyakit sedini mungkin dan mencegah penyakit berkembang menjadi masalah serius. Kedua, memahami faktor risiko kesehatan sehingga bisa dikendalikan. Terakhir, mendapakan rekomendasi gaya hidup sehat yang sesuai dengan kondisi masing-masing pasien. Tujuannya untuk mempertahankan dan bahkan meningkatkan kualitas hidup.


Alasan Jepang Dipertimbangkan Jadi Destinasi Wisata Medis

Ilustrasi medical check up. (dok. Pete Linforth/Pixabay)

Dari sederet pilihan, Aini menyatakan Jepang patut diperhitungkan sebagai destinasi tujuan wisata medis lantaran beberapa faktor. Pertama, Jepang masuk dalam lima besar negara di dunia dengan angka harapan hidup terpanjang. 

"Jepang capai 84,5 tahun, sedangkan di Indonesia 68,3 tahun. Bahkan data Kemenkes Jepang pada 2023 mencatat angka harapan hidup wanita Jepang mencapai 87,14 tahun," ujarnya.

Tak hanya umur panjang, tapi juga usia panjang yang berkualitas. Menurut Aini, angka harapan hidup sehat warga Jepang mencapai 73,4 tahun, sedangkan di Indonesia hanya 60,7 tahun.

"Pola hidup dan pemeriksaan kesehatan sudah sangat baik di Jepang. Sudah lebih terarah, khususnya terkait kanker dan penyakit kardiovaskular. Mereka ada analisa medis dengan sistem terstandarisasi untuk pencegahan dini kanker," sambung Aini.

Aini menguraikan tahapan pencegahan kanker yang diterapkan Jepang. Pada 1984, Jepang memulainya dengan pendekatan mengobati pasien yang sudah terdeteksi kanker. Pada 1994, mereka mengembangkan sistem yang fokus pada deteksi dini penyakit kanker. Pada 2004, pendekatan deteksi dini bergeser ke mencegah terjadinya penyakit kanker. Hal serupa juga berlaku bagi pencegahan penykit kardiovaskular seperti stroke dan hipertensi.

"Sistematisasi ini pegang peranan penting untuk tingginya angka harapan hidup di Jepang," ucapnya.

 

Infografis: 4 Unsur Wisata Ramah Lingkungan atau Berkelanjutan

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya