Liputan6.com, Jakarta - Kasus Mpox atau dulu disebut cacar monyet (monkeypox) tengah melonjak di beberapa negara di Afrika. Bahkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkannya dalam status darurat kesehatan global (PHEIC).
Mengingat hal tersebut, setiap negara kini perlu memiliki kewaspadaan termasuk Indonesia. Sejauh ini, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) sudah melakukan mitigasi.
Advertisement
“Kita sudah melakukan mitigasi untuk Mpox ini, sebenarnya Mpox ini bukan masalah yang baru. Beberapa tahun lalu sejak 2022 sudah teridentifikasi,” kata Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono di Jakarta, Selasa (20/8/2024).
“Kita terus akan melakukan mitigasi Mpox ini, kita lakukan langkah-langkah strategis untuk surveilans, penjagaan supaya Mpox ini tidak menjadi masalah bagi kesehatan di Indonesia,” tambah Dante.
Hingga 17 Agustus 2024, Kementerian Kesehatan mengatakan ada 88 kasus terkonfirmasi Mpox.
Selama 2022 hingga 2024, jika dilihat tren mingguannya, periode dengan kasus Mpox terbanyak terjadi pada Oktober 2023.
Dari 88 kasus terkonfirmasi, pasien yang sudah sembuh sebanyak 87 kasus. Secara rinci, kasus tersebar di:
- DKI Jakarta sebanyak 59 kasus konfirmasi;
- Jawa Barat 13 kasus konfirmasi;
- Banten 9 konfirmasi;
- Jawa Timur 3 konfirmasi;
- Daerah Istimewa Yogyakarta 3 konfirmasi; dan
- Kepulauan Riau 1 konfirmasi kasus Mpox.
54 Kasus Penuhi Kriteria untuk WGS
Plh. Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes RI dokter Yudhi Pramono, MARS mengatakan, dari 88 kasus yang dikonfirmasi, ada 54 kasus memenuhi kriteria untuk dilakukan whole genome sequencing (WGS). Pemeriksaan WGS dilakukan guna mengetahui varian virusnya.
"Dari 54 kasus ini seluruhnya varian Clade IIB. Clade II ini mayoritas menyebarkan wabah Mpox pada 2022 hingga saat ini dengan fatalitas lebih rendah dan ditularkan sebagian besar dari kontak seksual," ujar Yudhi pada konferensi pers Perkembangan Kasus Mpox di Indonesia, Minggu (18/8/2024).
Clade Monkeypox virus memiliki dua Clade yakni Clade I berasal dari Afrika Tengah (Congo Basin) dengan subclade 1a. Subclade 1a ini memiliki case fatality rate (CFR) lebih tinggi daripada clade lain dan ditularkan melalui beberapa mode transmisi. Sementara itu, subclade 1b ditularkan sebagian besar dari kontak seksual dengan CFR 11 persen.
Sementara itu, Clade II berasal dari di Afrika Barat dengan subclade IIa dan IIb dengan CFR 3,6 persen. Clade II memiliki CFR rendah dengan kasus sebagian besar berasal dari kontak seksual pada saat wabah pada 2022.
Advertisement
Disebut Silent Epidemic
WHO menetapkan status darurat kesehatan global pada Mpox per 14 Agustus 2024. Namun, menurut epidemiolog Dicky Budiman, sejak pencabutan PHEIC pada 2023, penyakit ini memang tidak benar-benar hilang.
“Ketika (status kedaruratan global) dicabut pada Mei 2023, Mpox ini sebetulnya silent epidemic artinya tidak hilang bahkan cenderung terus berkembang, menyebar. Dan tidak heran akhirnya bermutasi menjadi strain yang sekarang jadi leading untuk sebaran berikutnya,” kata Dicky kepada Health Liputan6.com melalui pesan suara, Sabtu (17/8/2024).
Dicky juga menyampaikan, sebelumnya Mpox terlokalisasi di Kongo, dan sekarang menyebar ke negara lain.
“Sebelumnya dia terlokalisasi di Kongo dan sekitarnya. Namun, sekarang nampaknya sudah menyebar karena karakteristik dari penyakit seperti ini, artinya penyakit yang berkaitan dengan kebiasaan sehari-hari (behavior) cenderung sulit diberantas,” papar Dicky.
Saran Penetapan PHEIC Berasal dari Komite Darurat Mpox
Organisasi Kesehatan Dunia di laman resminya menjelaskan, saran penetapan PHEIC pada Mpox diberikan oleh Komite Darurat Mpox.
Sebelum memberi saran ke Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, Komite Darurat Mpox melakukan kajian data dari para ahli WHO dan negara-negara terdampak.
Melihat data yang ada, Komite Darurat Mpox melihat bahwa ada potensi penyebaran lebih jauh ke negara-negara di Afrika dan mungkin di luar benua Afrika. Maka dari itu, disarankan status Mpox adalah PHEIC, seperti mengutip laman resmi WHO.
Saat menyatakan status Mpox sebagai PHEIC, Tedros menuturkan bahwa penyebaran penyakit yang menyerang area kulit itu amat cepat di Kongo timur. Lalu, pelaporan beberapa negara di sekitar Kongo juga mengkhawatirkan.
Maka dari itu perlu dilakukan koordinasi internasional untuk mencegah penyebaran wabah tersebut makin meluas.
Advertisement