Liputan6.com, Jakarta - Perang Khaibar terjadi setelah Perjanjian Hudaibiyah antara Nabi Muhammad SAW dan kaum kafir Makkah. Perang ini berlangsung pada awal tahun 7 Hijriah, pertengahan bulan Muharram hingga meraih kemenangan di bulan Safar.
Diketahui Khaibar adalah satu wilayah pertanian yang terletak sekitar 165 km sebelah utara Madinah. Wilayah ini dihuni oleh gabungan orang-orang Arab dan Yahudi, kendati suku Arab Gathafan menganggap wilayah ini adalah wilayah mereka.
Perang Khaibar ini dilatarbelakangi akibat pengkhianatan yang dilakukan oleh Yahudi Bani an-Nadhir sehingga Nabi SAW mengusir mereka dari perkampungannya di Madinah sebagai hukuman.
Baca Juga
Advertisement
Banyak tokoh menonjol Bani an-Nadhir yang bermukim di Khaibar melakukan kegiatan menghasut dan memperburuk citra Nabi SAW.
Di samping itu, penduduk Khaibar juga menghimpun pasukan untuk memerangi kaum Muslimin dan mendorong Bani Quraizhah untuk melanggar perjanjian dan berkhianat.
Tak hanya itu, mereka juga menjalin kontak dengan orang-orang munafik yang merupakan duri dalam masyarakat Islam, berhubungan dengan penduduk suku Gathafan dan orang-orang Arab Badui, yang merupakan sayap ketiga dari pasukan musuh.
Ingin tahu kisah selengkapnya? Berikut ulasannya mengutip dari laman NU Online.
Saksikan Video Pilihan ini:
Pergerakan Kaum Muslimin Menuju Khaibar
Gerakan membahayakan mereka akan mengancam keamanan kaum Muslimin di Madinah. Selain faktor keamanan, Rasulullah juga melihat bahwa akses dakwah Islam akan tersendat jika membiarkan para pemuka Yahudi di Khaibar memainkan peran mereka.
Atas pertimbangan itu, langkah terbaik yang harus dilakukan adalah mengepung Khaibar yang merupakan benteng terakhir orang-orang Yahudi di Jazirah Arabia agar bisa memastikan dua hal tersebut berjalan lancar.
Rasulullah berangkat ke Khaibar dengan jumlah antara 1.400-1.600 balatentara. Pasukan tersebut adalah orang-orang yang ikut Rasulullah untuk melaksanakan umrah, meski terhadang oleh kaum kafir Mekkah sehingga terbentuk Perjanjian Hudaibiyah. Tentang jumlah pasukan antara 1.400-1.600, Quraish Shihab dalam sirah-nya menjelaskan bahwa jumlah itu sesuai dengan perbedaan pendapat riwayat hadis.
Pasukan kaum Muslimin yang dipimpin Rasulullah terdiri dari dua ratus ekor kuda serta beberapa orang wanita. Rasul SAW juga menyertakan istri beliau, Ummu Salamah atau Hindun binti Abu Umayyah bin Mughirah Al-Qurasyiyah Al-Makhzumiyah, karena sebelumnya telah ikut ke Hudaibiyah.
Advertisement
Strategi Perang
Strategi Rasulullah sebelum tiba di Khaibar adalah menghalau suku Arab Ghathafan yang menjalin kerja sama dengan orang-orang Yahudi Khaibar. Karen Armstrong dalam Muhammad Sang Nabi: Sebuah Biografi Kritis menjelaskan bahwa Khaibar adalah pemukiman yang sangat kuat dan konon sulit untuk dikalahkan. Meski terlihat kuat, pada kenyataannya mereka terpecah belah di dalam. Ternyata setiap suku di pemukiman itu memiliki otonomi, dan mereka sulit bersatu untuk melawan satu musuh bersama.
Kelemahan itu dimanfaatkan Rasulullah SAW untuk memecah belah mereka lebih dalam lagi, salah satunya dengan menghalau suku Arab Ghathafan. Rasul SAW dan pasukannya dalam perjalanan ini akhirnya bermarkas di satu tempat yang dapat menghalangi mereka menuju Khaibar. Setelah terhalang, mereka juga mendengar kegaduhan di pemukiman mereka dan menduga bahwa Nabi SAW dan pasukannya sedang menyerang pemukiman mereka.
Hal demikian membuat mereka mengurungkan niatnya untuk membantu orang-orang Yahudi Khaibar, mereka terpaksa kembali guna mempertahankan harta, benda, dan keluarga mereka. Menurut Quraish Shihab, tidak mustahil bahwa kegaduhan itu dilakukan oleh kaum Muslimin, atas perintah Nabi SAW, untuk mengelabui Ghathafan, sehingga mereka membiarkan orang-orang Yahudi menghadapi sendiri Nabi SAW dengan pasukan beliau.
Setelah tiba di Khaibar, tepatnya sebelum fajar, Rasulullah SAW dan pasukan melaksanakan Shalat Subuh di pinggiran kota dan begitu matahari terbit, Khaibar diserang. Kebiasaan Rasulullah jika hendak menyerbu suatu wilayah tidak di malam hari untuk menghindari mereka yang tidak mengangkat senjata.
Ketika pagi hari penduduk Khaibar keluar dari rumah sambil membawa sekop dan keranjang menuju kebun, mereka dikejutkan oleh serangan mendadak itu. Rasulullah SAW memulai gerakan, mereka berlarian ke benteng mereka sambil berteriak: “Muhammad datang dengan bala tentara.”
Kemenangan Umat Muslim
Pasukan Islam pertama kali menyerang Nathat di mana terdapat benteng Na’im. Selama dua hari kaum Muslimin berusaha menerobos benteng ini, tetapi selalu gagal. Saat itu, panji Rasulullah dipegang oleh Sayyidina Abu Bakar. Keesokan harinya Nabi SAW menyerahkan panji tersebut kepada seseorang yang bahkan beliau menjamin dengan ucapannya: “Kemenangan akan dianugerahkan Allah melalui dia,” yaitu Sayyidina Ali ra.
Ketangkasan Sayyidina Ali sebagai pemegang panji Rasulullah ditunjukkan ketika beliau dihadang oleh Marhab, tokoh Yahudi yang dikenal gagah berani. Namun, dia terlihat sombong dan membanggakan diri.
Terjadilah duel antara Sayyidina Ali dan Marhab, sehingga terpenggal kepala Marhab dari tangannya. Setelah kemenangan itu, akhirnya benteng Na’im bisa ditaklukkan. Lalu, tampil Yasir, saudara Marhab, tetapi dengan sigap Zubair ibn al-Awwam tampil ke depan dan berhasil membunuhnya.
Satu persatu benteng Yahudi ditaklukkan yang mengakibatkan bahan makanan dan harta benda dikuasai oleh pasukan Islam. Mereka akhirnya berlarian menuju wilayah Khaibar paruh kedua yang disebut al-Katibah untuk berlindung di benteng-benteng al-Qamush dan Sulalim. Pasukan Islam mengepung mereka selama 14 hari lamanya dan kemudian menyerah dan meminta berdamai.
Korban yang gugur dari pasukan Islam sebanyak 20 orang, Quraish Shihab menyebut riwayat lain 25 orang, sedang yang tewas dari kelompok Yahudi 93 orang.
Dampak dari kemenangan ini, kaum Muslimin yang sebelumnya batal umrah karena dihadang penduduk Kafir Makkah dalam peristiwa Hudaibiyah, akhirnya merasakan janji Allah pada Al-Quran surah Al-Fath ayat 20. Mereka meraih banyak harta rampasan, baik makanan maupun persenjataan, dari penaklukan Khaibar.
Tidak hanya itu, akses dakwah Islam juga semakin melebar karena kondisi keamanan Madinah meningkat, hal itu menumbuhkan ekonomi masyarakat Islam. Kaum Muhajir yang sebelumnya telah banyak menerima bantuan dari Anshar semisal pohon-pohon kurma, akhirnya sangat berterima kasih kepada mereka. Sebab, harta yang dibagikan Rasul SAW kepada para Muhajir dari rampasan perang telah mencukupi kebutuhan mereka.
Advertisement