Liputan6.com, Jakarta Pemerintah Indonesia tengah gencar membangun berbagai infrastruktur di seluruh penjuru negeri sebagai bagian dari upaya memperkuat fondasi ekonomi dan meningkatkan konektivitas antarwilayah. Terkait hal itu, Ketua Badan Anggaran DPR RI, Said Abdullah, mendukung upaya pemerintah membangun banyak infrastruktur.
Meski demikian, Said menekankan pembangunan infrastruktur yang banyak menyerap anggaran negara harus dapat menopang kemandirian pangan, kemandirian energi dan kemandirian peningkatan sumber daya manusia (SDM).
Advertisement
"Kebijakan fiskal harus mendorong penguatan program infrastruktur, terutama infrastruktur yang menopang ketiga program di atas (Kemandirian pangan, energi, dan SDM). Dengan demikian belanja infrastruktur bisa lebih fokus, apalagi kita tidak memiliki ruang fiskal yang longgar karena tergerus berbagai kewajiban mandatory, subsidi, dan kewajiban pembayaran bunga dan pokok utang," kata Said Abdullah.
Dalam hal kemandirian pangan, Said menjelaskan sejak 2014 sampai 2023 jumlah kumulatif impor beras nasional mencapai 8,95 juta ton beras. Kalau dihitung pada periode 2019-2023, nilai impor beras nasional mencapai 1,95 miliar USD. Impor gula juga tidak kalah fantastis, tahun lalu jumlahnya mencapai 5,07 juta ton dengan nilai 2,88 miliar USD. Komoditas lainnya seperti kedelai, susu, jagung, daging sapi, sayuran, buah semuanya impor.
Said menyebutkan pada tahun 2023 lalu, ekspor hasil pertanian kita 6,5 miliar USD, sedangkan nilai impornya mencapai 11,59 miliar USD, sehingga defisit impor hasil pertanian mencapai 5,0 miliar USD.
"Kita perlu program kemandirian pangan yang lebih fokus, yakni mendorong pangan pokok agar tidak bertumpu pada beras, sebab kita memiliki keanekaragaman pangan pokok yang beragam; umbi, sagu, dan sorgum. Program teknologi pangan harus mendorong tumbuhnya industrial farming, optimalisasi lahan tidak produktif, serta meningkatkan hasil laut sebagai kekayaan pangan masa depan yang lebih sehat," ujar Said.
Said Dorong Kebijakan Energi Baru dan Terbarukan Lebih Progresif
Dalam hal kemandirian energi, Said mencatat dalam rentang 2015-2023 impor minyak mentah Indonesia mencapai 69,3 miliar USD, sementara ekspor hanya 30,1 miliar USD. Sehingga ada defisit 39,2 miliar USD. Demikian juga dengan nilai impor hasil minyak mencapai 165,2 miliar USD, sedangkan nilai ekspor hanya 17,9 miliar USD yang berakibat defisit sangat dalam 147,3 miliar USD.
"Sejak konversi program minyak tanah ke LPG, kebutuhan impor LPG kita terus meningkat. Dalam rentang 2015-2023, kebutuhan impor LPG kita mencapai 51,4 juta ton, dilain pihak setiap tahun kita bisa ekspor gas alam dengan nilai yang cukup fantastis. Periode 2015-2023 nilai ekspor gas alam kita mencapai 70,2 miliar USD," ujar Said Abdullah.
Bercermin dari hal tersebut, Said menyarankan agar bauran kebijakan energi baru dan terbarukan kedepan harus lebih progresif. Pada tahun 2015 bauran energi terbarukan masih 4,9 persen, di tahun 2022 bauran energi terbarukan mencapai 12,3 persen, meskipun tumbuh baik, namun butuh lompatan yang lebih besar, karena itu dibutuhkan kebijakan afirmasi. Menurut Said, proporsi bauran energi baru dan terbarukan lima tahun kedepan idealnya minimal mencapai 30 persen.
Di sektor tenaga kerja Indonesia, Said menyayangkan dari jumlah 142,1 juta pekerja, sebanyak 54,6 persen diantaranya lulusan SMP ke bawah. Hal ini, kata dia menunjukkan bahwa sebagian besar tenaga kerja Indonesia terserap di sektor informal.
"Dengan demikian, kita belum mendapatkan manfaat maksimal dari bonus demografi," kata Said.
(*)
Advertisement