Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia menyatakan Mahkamah Konstitusi (MK) kerap kali memberi kejutan di menit akhir Pemilu. Diketahui, MK mengabulkan sebagian gugatan dari Partai Buruh dan Partai Gelora terkait Undang-Undang Pilkada.
Menurut Doli, keputusan MK sangat mendadak dan mengagetkan karena terjadi mendekati deadline Pilkada.
Advertisement
“Putusan mahkamah konstitusi ini selalu menjadi kejutan ya. Ini kan kita sisa tinggal kurang lebih seminggu lagi mulai pendaftaran, tiba-tiba kebijakkan baru. Kita sama-sama tahu putusan Mahkamah Konstitusi itu final and binding,” kata Doli di JCC Senayan, Selasa (20/8/2024).
Meski demikian, Doli yang juga Ketua Komisi II itu mengaku sudah berkomunikasi dengan Ketua KPU, dan akan menggelar Rapat Dengar Pendapat pada Senin (26/8/2024).
“Sudah kita jadwalkan hari Senin, tanggal 26 itu akan ada RDP yang akan membahas 3 rancangan PKPU dan 2 rancangan pembawaslu. Mungkin hari sabtu kami akan konsinyering dulu. Nah bahan ini nanti akan kami bahas di konsinyering di hari sabtu. Mudah-mudahan di hari senin nanti akan ada ya putusan,” .
“Tata peraturan perundangan kita, putusan ini nanti akan dituangkan di PKPU,” sambungnya.
Menurut Doli, putusan MK itu akan mengubah konstalasi politik di Pilkada seluruh Indonesia, bukan hanya Jakarta.
“Tentu ini akan mengubah baik dari perspektif politik, akan merubah konstelasi politik. Tapi persoalannya apakah dalam sisa 7 hari ini, ini akan baik atau tidak gitu ya. Makanya nanti akan kita pelajari,” kata dia.
Kabulkan Gugatan Buruh dan Gelora
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan dari Partai Buruh dan Partai Gelora terkait Undang-Undang Pilkada. Hasilnya, sebuah partai atau gabungan partai politik dapat mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD. Tentunya dengan syarat tertentu.
Putusan atas perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024 tersebut telah dibacakan majelis hakim dalam sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (20/8/2024). MK menyatakan, Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Pilkada inkonstitusional.
Adapun isi Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Pilkada adalah, "Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah."
Hakim Mahkamah Konstitusi Enny Nurbaningsih menyampaikan, esensi dari Pasal tersebut sebenarnya sama dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang 32 Tahun 2004 yang telah dinyatakan inkonstitusional sebelumnya.
"Pasal 40 ayat (3) UU 10 Tahun 2016 telah kehilangan pijakan dan tidak ada relevansinya untuk dipertahankan, sehingga harus pula dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945," tutur Enny dalam persidangan.
Inkonstitusionalitas Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Pilkada tersebut tentu berdampak pada pasal lain, seperti Pasal 40 ayat (1).
"Keberadaan pasal a quo merupakan tindak lanjut dari Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016, maka terhadap hal demikian Mahkamah harus pula menilai konstitusionalitas yang utuh terhadap norma Pasal 40 ayat (1) UU 10/2016," ungkapnya.
Advertisement
Sebelum Diubah
Adapun isi pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Pilkada sebelum diubah yakni, "Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan."