Atmosfer Jadi Keruh Dampak Erupsi Gunung Merapi, BRIN Teliti dengan Menggunakan Data Satelit

Di wilayah Gunung Merapi terjadi turbiditas atmosfer berasal dari awan panas (wedus gembel) dan debu vulkanik yang dihasilkan saat erupsi.

oleh Arie Nugraha diperbarui 22 Agu 2024, 04:00 WIB
Awan panas dari bahan vulkanik mengalir menuruni lereng Gunung Merapi saat terjadi letusan di Sleman, Yogyakarta (27/1/2021). Gunung berapi paling aktif di Indonesia meletus pada Rabu dengan sungai lava dan awan gas yang membakar mengalir 1.500 meter (4.900 kaki) ke bawahnya. lereng. (AP Photo/Slam

Liputan6.com, Bandung - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melakukan penelitian terkait erupsi Gunung Merapi yang memiliki dampak signifikan terhadap kekeruhan atmosfer atau turbiditas.

Pasalnya tingkat kekeruhan atmosfer ini memengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia. Menurut Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN Lilik Slamet Supriatin, turbiditas atmosfer dapat disebabkan oleh faktor alami dan aktivitas antropogenik, seperti kebakaran hutan, polusi udara, serta badai debu dan pasir.

"Turbiditas berdampak pada berkurangnya visibilitas, gangguan kesehatan, gangguan pemandangan kota, serta koefisien pemadaman," ujar Lilik dalam kolokium 'Pengaruh Kekeruhan (Turbiditas) Atmosfer pada Gross Primary Productivity (GPP) di Taman Nasional Gunung Merapi', ditulis Senin (19/8/2024).

Lilik mengatakan di wilayah Gunung Merapi terjadi turbiditas atmosfer berasal dari awan panas (wedus gembel) dan debu vulkanik yang dihasilkan saat erupsi.

Koefisien pemadaman menunjukkan berkurangnya cahaya matahari yang diterima di suatu permukaan.

"Pada hari yang bersih, koefisien ini berada di angka 30 persen, sementara pada hari yang terpolusi mencapai 65 persen," kata Lilik.

Lilik menjelaskan perubahan 10 hingga 20 persen pada koefisien pemadaman dapat mengakibatkan penurunan visibilitas hingga 50 persen.

Latar belakang penelitian yang dilakukan oleh Lilik dan tim Kelompok Riset Lingkungan Atmosfer dan Aplikasinya adalah untuk mengukur turbiditas menggunakan teknik penginderaan jauh, yaitu mengambil data GPP atau produktivitas primer kotor dari satelit.

"Kami mengukur indeks turbiditas dari rasio antara radiasi global yang diukur di permukaan dengan radiasi global di puncak atmosfer," ungkap Lilik.

Namun lanjut Lilik, karena kesulitan mendapatkan instrumen pengukuran radiasi di permukaan, mereka menghitung indeks turbiditas menggunakan teknik penginderaan jauh, yaitu mengambil data produktivitas primer kotor dari satelit.

Teknik pengukuran produktivitas primer kotor yang digunakan meliputi teknik hasil panen, oksigen, dekomposisi sampah, radioaktif, serta penginderaan jauh.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai GPP sebelum, selama, dan setelah erupsi Gunung Merapi.

"Kami juga ingin mengetahui koefisien pemadaman akibat erupsi dengan pendekatan nilai GPP, untuk merumuskan perubahan komponen neraca radiasi gelombang pendek akibat erupsi," sebut Lilik.

Lilik menyebutkan dari pemantauan satelit Aqua dan Terra MODIS, Lilik memperoleh data yang menunjukkan penurunan produktivitas primer kotor yang signifikan pada erupsi tahun 2006, 2010, dan 2023.

Pada erupsi 2006, penurunan produktivitas primer kotor sebesar 3 persen tercatat antara pra dan pasca-erupsi.

Lalu pada erupsi 2010, penurunan produktivitas primer kotor mencapai 36 persen. Sedangkan, pada erupsi 2023, penurunan produktivitas primer kotor sebesar 11 persen.

"Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh energi kalor, jangkauan luncuran lahar panas, dan awan panas yang lebih besar pada erupsi 2010," ungkap Lilik.

Faktor lain yang memengaruhi penurunan produktivitas primer kotor adalah waktu erupsi yang bertepatan dengan posisi matahari terhadap bumi, serta jenis tanaman yang terlibat dalam proses fotosintesis.

"Penelitian ini mengambil data di Taman Nasional Gunung Merapi," jelas Lilik.

 


Awan Panas Sejauh 1,6 Km ke Arah Kali Bebeng

Dilansir Kanal Regional, Liputan6, Gunung Merapi yang berada di perbatasan Jawa Tengah (Jateng) dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada Minggu meluncurkan guguran lava sebanyak 13 kali dengan jarak luncur maksimum 1,6 kilometer.

Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta Agus Budi Santoso dalam keterangan di Yogyakarta, Minggu (18/8/2024), menjelaskan berdasarkan pengamatan pukul 00.00 -06.00 WIB, guguran lava Gunung Merapi meluncur ke arah Kali Bebeng.

"Teramati 13 kali guguran lava ke arah Kali Bebeng (barat daya) dengan jarak luncur maksimum 1.600 meter," kata Agus, dilansir dari Antara.

Selama periode pengamatan itu, Gunung Merapi juga mengalami 49 kali gempa guguran dengan amplitudo 4-31 mm selama 0.12-167.72 detik dan dua kali gempa tektonik jauh dengan amplitudo 6-18 mm selama 182.84 - 224.08 detik.

Laporan BPPTKG periode 9-15 Agustus 2024, morfologi kubah barat daya Gunung Merapi teramati adanya perubahan akibat aktivitas pertumbuhan kubah, sedangkan untuk morfologi kubah tengah relatif sama.

Berdasarkan analisis foto udara, volume kubah barat daya terukur sebesar 2.671.500 meter kubik dan kubah tengah sebesar 2.366.900 meter kubik.

Agus menyatakan hingga saat ini BPPTKG masih mempertahankan status Gunung Merapi pada Level III atau Siaga.

Untuk mengantisipasi potensi bahaya erupsi Gunung Merapi, BPPTKG mengimbau masyarakat agar tidak melakukan kegiatan apapun di daerah potensi bahaya.

Guguran lava dan awan panas dari Gunung Merapi bisa berdampak ke area dalam sektor selatan-barat daya yang meliputi Sungai Boyong (sejauh maksimal lima kilometer) serta Sungai Bedog, Krasak, dan Bebeng (sejauh maksimal tujuh kilometer).

Pada sektor tenggara meliputi Sungai Woro sejauh maksimal tiga kilometer dan Sungai Gendol lima kilometer. Sedangkan lontaran material vulkanik bila terjadi letusan eksplosif dapat menjangkau radius tiga kilometer dari puncak.

Jika terjadi erupsi eksplosif, ujarnya, maka lontaran material vulkanik dari Gunung Merapi dapat menjangkau area dalam radius tiga kilometer dari puncak gunung.

 


Status Gunung Merapi

Status terkahir Gunung Merapi dilaporkan Badan Geologi soal rekapitulasi kejadian awan panas guguran (APG) tanggal 17 Agustus 2024 pukul 18.00-24.00 WIB yakni pada pukul 20.50 WIB dengan amplitudo 53 mm, berdurasi 108 detik, jarak luncur 1.000 m ke arah Barat Daya (Kali Bebeng) dengan Arah angin ke Barat.

Dilansir laman Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), pada 11 Maret 2024 menerbitkan siaran media tingkat aktivitas Gunung Merapi menjadi Siaga atau Level III sejak tanggal 5 November 2020.

Gunung Merapi dinyatakan memasuki masa erupsi efusif (petusan dengan gas lemah) pada tanggal 4 Januari 2021 yang ditandai dengan aktivitas berupa pertumbuhan kubah lava, guguran, dan awan panas guguran.

Saat itu dilaporkan Gunung Merapi memiliki 2 kubah lava, yaitu kubah lava barat daya dan kubah lava tengah kawah.

Berdasarkan analisis foto udara tanggal 13 Januari 2023 volume kubah lava barat daya terhitung sebesar 1.598.700 m3 (kubik) dan kubah tengah sebesar 2.267.400 m3.

Kedua kubah lava ini apabila longsor secara masif berpotensi menimbulkan awan panas sejauh maksimal 7 km ke arah barat daya dan 5 km ke arah selatan-tenggara.

Pada tanggal yang sama pukul 12.12 WIB terjadi rentetan awan panas guguran di Gunung Merapi bersumber dari longsoran kubah lava barat daya.

Hingga pukul 15.00 WIB siang, tercatat 21 kali awan panas guguran dengan jarak luncur maksimal kurang lebih 4 km ke arah barat daya yaitu di alur Kali Bebeng dan Krasak.

Pada saat kejadian, angin di sekitar Gunung Merapi bertiup ke arah barat laut-utara. Awan panas guguran ini menyebabkan hujan abu ke beberapa tempat terutama di sisi barat laut-utara Gunung Merapi dan mencapai Kota Magelang.

Aktivitas erupsi saat ini terhitung masih tinggi; pada minggu ini guguran lava teramati sebanyak 19 kali ke arah barat daya (hulu Kali Boyong, Kali Bebeng dan Kali Sat/Putih) dengan jarak luncur maksimal 1.200 m.

Suara guguran terdengar dari Pos Kaliurang dan Pos Babadan sebanyak 6 kali dengan intensitas kecil hingga sedang. Aktivitas vulkanik internal juga masih tinggi ditunjukkan oleh data seismisitas dan deformasi.

Seismisitas internal seperti gempa vulkanik dalam (VTA) terjadi sebanyak 77 kejadian/hari, gempa vulkanik dangkal (VTB) 1 kejadian/hari, gempa Multifase (MP) 6 kejadian/hari, dan gempa guguran sebanyak 44 kejadian/hari. Sedangkan laju deformasi EDM RB1 sebesar 0.5 cm/hari.

Berdasarkan hasil pemantauan visual dan instrumental, maka PVMBG Badan Goleogi Kementerian ESDM menyatakan aktivitas vulkanik Gunung Merapi masih berada pada tingkat Siaga (Level III) hingga kini.

Potensi bahaya saat ini masih tetap berupa guguran lava dan awan panas pada sektor selatan–barat daya meliputi Sungai Boyong sejauh maksimal 5 km, Sungai Bedog, Krasak, Bebeng sejauh maksimal 7 km. Pada sektor tenggara meliputi Sungai Woro sejauh maksimal 3 km dan Sungai Gendol 5 km. Sedangkan lontaran material vulkanik bila terjadi letusan eksplosif dapat menjangkau radius 3 km dari puncak.

 


Rekomendasi PVMBG

Sebanyak 4 rekomendasi diterbitkan oleh PVMBG Badan Geologi Kementerian ESDM erkait dengan aktivitas saat ini, kepada para pemangku kepentingan dalam penanggulangan bencana Gunung Merapi. Dinataranya adalah:

1. Pemerintah Kabupaten Sleman, Kabupaten Magelang, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Klaten agar melakukan upaya–upaya mitigasi dalam menghadapi ancaman bahaya erupsi Gunung Merapi yang terjadi saat ini.

2. Masyarakat agar tidak melakukan kegiatan apapun di daerah potensi bahaya.\

3. Masyarakat agar mengantisipasi gangguan akibat abu vulkanik dari erupsi Gunung Merapi serta mewaspadai bahaya lahar terutama saat terjadi hujan di seputar Gunung Merapi.

4. Masyarakat dapat mengakses informasi resmi aktivitas Gunung Merapi melalui aplikasi Magma Indonesia, website bpptkg.esdm.go.id, media sosial BPPTKG, radio komunikasi pada frekuensi 172.000 MHz, Pos Pengamatan Gunung Merapi terdekat, dan kantor BPPTKG, Jalan Cendana No. 15 Yogyakarta, telepon (0274) 514192.

Badan Geologi melalui PVMBG-BPPTKG terus berupaya dalam mitigasi bahaya Gunung Merapi, baik melalui pemantauan, penilaian bahaya, penyebaran informasi, dan sosialisasi aktivitas Gunung Merapi.

Masyarakat diimbau untuk selalu mengikuti informasi aktivitas Gunung Merapi dari sumber yang terpercaya dan mengikuti rekomendasi dari Badan Geologi, pemerintah daerah, dan BPBD setempat.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya