Liputan6.com, Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora terhadap UU Pilkada. Dalam putusannya, MK menyatakan partai atau gabungan partai politik peserta Pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD.
Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia Fahri Hamzah mengatakan, Partai Gelora dan Partai Buruh mengajukan gugatan ke MK pada tanggal 20 Mei 2024, jauh sebelum riuh pilkada.
Advertisement
Lalu, untuk materi gugatannya itu adalah khusus untuk partai non seat, agar suara sahnya dijadikan threshold meski tak ada kursi.
"Jadi, suara sah non seat dimasukan dalam syarat perhitungan 25 persen suara sah," kata Fahri dalam keterangannya, Selasa (20/8).
Oleh karena itu, materi gugatan disebutnya sama sekali tidak menyentuh syarat 20 persen kursi dan 25 persen suara sah.
"Tapi MK membuat ultra petita atas sesuatu yang tidak dimohonkan penggugat, dengan menurunkan threshold suara sah dari 25 persen menjadi tergantung jumlah penduduk," sebutnya.
Sebab, di sisi lain syarat 25 persen kursi dijelaskannya masih berlaku dalam UU.
"Keberlakuan putusan MK ini memerlukan aturan baru (PKPU) untuk memastikan syarat partai non kursi untuk ikut pilkada. Karena gugatan khusus terkait prasyarat partai non seat," pungkasnya.
Kabulkan Sebagian Gugatan
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan dari Partai Buruh dan Partai Gelora terkait Undang-Undang Pilkada. Hasilnya, sebuah partai atau gabungan partai politik dapat mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD, tentunya dengan syarat tertentu.
Putusan atas perkara Nomor 60/PUU-XXII/2024 tersebut telah dibacakan majelis hakim dalam sidang di Gedung MK, Jakarta Pusat, Selasa (20/8). MK menyatakan, Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Pilkada inkonstitusional.
Advertisement
Bunyi Pasal
Adapun isi Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Pilkada adalah, “Dalam hal Partai Politik atau gabungan Partai Politik mengusulkan pasangan calon menggunakan ketentuan memperoleh paling sedikit 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketentuan itu hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.”
Hakim MK Enny Nurbaningsih menyampaikan, esensi dari Pasal tersebut sebenarnya sama dengan Pasal 59 ayat (1) Undang-Undang 32 Tahun 2004 yang telah dinyatakan inkonstitusional sebelumnya.
"Pasal 40 ayat (3) UU 10 Tahun 2016 telah kehilangan pijakan dan tidak ada relevansinya untuk dipertahankan, sehingga harus pula dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945," tutur Enny dalam persidangan.
Sumber: Nur Habibie/Merdeka.com