Simak, Begini Perbedaan Gempa Megathrust dengan Gempa Biasa

Gempa megathrust memiliki potensi untuk menghasilkan gempa bumi yang sangat besar, dengan magnitudo bisa mencapai lebih dari 9,0 skala Richter.

oleh Panji Prayitno diperbarui 22 Agu 2024, 15:00 WIB
Gempa di Megathrust Selat Sunda (M8,7) dan Megathrust Mentawai-Suberut (M8,9) boleh dikata 'tinggal menunggu waktu' karena kedua wilayah tersebut sudah ratusan tahun belum terjadi gempa besar. (Liputan6.com/ Dok BMKG)

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia merupakan salah satu negara yang sering dilanda gempa bumi karena letaknya di kawasan Cincin Api Pasifik. Gempa bumi di Indonesia dapat terjadi akibat aktivitas tektonik di sepanjang batas lempeng yang bergerak saling bertumbukan.

Gempa megathrust dan gempa bumi biasa adalah dua kategori utama yang sering dibahas, terutama karena dampak destruktifnya. Namun, meski keduanya sama-sama disebabkan oleh aktivitas tektonik, terdapat beberapa perbedaan mendasar yang perlu dipahami antara gempa megathrust dan gempa biasa.

Gempa megathrust adalah jenis gempa bumi yang terjadi di zona subduksi, yaitu area di mana satu lempeng tektonik menyusup di bawah lempeng lainnya. Zona ini biasanya berada di kedalaman lebih dari 100 kilometer di bawah permukaan bumi.

Gempa megathrust memiliki potensi untuk menghasilkan gempa bumi yang sangat besar, dengan magnitudo bisa mencapai lebih dari 9,0 skala Richter. Kekuatan ini jauh lebih besar dibandingkan gempa biasa, yang umumnya memiliki magnitudo di bawah 7,0 skala Richter.

Perbedaan utama ini menjadikan gempa megathrust sebagai salah satu jenis gempa yang paling ditakuti di dunia. Selain itu, gempa megathrust cenderung memiliki durasi getaran yang lebih lama dibandingkan dengan gempa biasa.

Durasi gempa megathrust bisa berlangsung selama beberapa menit, sementara gempa biasa umumnya hanya berlangsung beberapa detik hingga satu menit. Durasi getaran yang lebih lama ini meningkatkan potensi kerusakan infrastruktur dan risiko bagi keselamatan manusia.

Getaran panjang dari gempa megathrust juga lebih mungkin menyebabkan tanah longsor, likuefaksi, dan tsunami, terutama jika pusat gempa berada di bawah laut. Dari segi mekanisme, gempa megathrust biasanya melibatkan pergerakan vertikal yang signifikan pada lempeng yang bertumbukan.

Hal ini berbeda dengan gempa biasa, yang sering kali diakibatkan oleh pergerakan horizontal di sepanjang patahan. Pergerakan vertikal inilah yang menyebabkan terjadinya pengangkatan atau penurunan dasar laut, yang pada gilirannya dapat memicu gelombang tsunami yang mematikan.


Siap Siaga

Tsunami akibat gempa megathrust bisa mencapai puluhan meter tingginya dan dapat menyapu wilayah pesisir dalam waktu singkat, menyebabkan kehancuran yang luas.

Perbedaan lainnya adalah kedalaman episenter gempa. Gempa megathrust umumnya memiliki episenter yang lebih dalam dibandingkan gempa biasa.

Kedalaman episenter yang lebih dalam dapat mengurangi intensitas getaran di permukaan bumi, namun tidak mengurangi potensi kerusakan jika gempa tersebut memiliki magnitudo besar.

Sebaliknya, gempa biasa dengan episenter yang lebih dangkal meskipun memiliki magnitudo yang lebih rendah, sering kali terasa lebih kuat di permukaan dan dapat menyebabkan kerusakan lokal yang signifikan. Perlu diperhatikan bahwa gempa megathrust memiliki periode ulang yang lebih lama dibandingkan gempa biasa.

Karena gempa ini membutuhkan akumulasi energi yang sangat besar di zona subduksi, maka waktu yang dibutuhkan untuk terjadinya gempa megathrust berikutnya bisa mencapai ratusan tahun.

Sebaliknya, gempa biasa, terutama yang terjadi di patahan lokal, dapat terjadi lebih sering, tergantung pada aktivitas tektonik di wilayah tersebut. Kesadaran dan kesiapsiagaan adalah kunci untuk meminimalkan dampak dari bencana gempa bumi, baik itu megathrust maupun gempa biasa.

 

Penulis: Belvana Fasya Saad

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya