Pejabat PBB Sebut Kematian Jadi Satu-satunya Kepastian bagi Warga Gaza

Krisis kemanusiaan di Gaza semakin memburuk dengan meningkatnya jumlah korban jiwa, terutama di kalangan perempuan dan anak-anak.

oleh Asnida Riani diperbarui 21 Agu 2024, 13:00 WIB
Ribuan pengungsi dari Kota Gaza dan bagian utara Jalur Gaza telah mendirikan tenda-tenda hingga menjadi pemukiman yang luas di kota tersebut, termasuk di sepanjang pantai Laut Mediterania. (AP Photo/Abdel Kareem Hana)

Liputan6.com, Jakarta - Di Gaza, kematian tampaknya jadi "satu-satunya kepastian" bagi 2,4 juta warga Palestina yang tidak memiliki cara melarikan diri dari pemboman Israel yang tiada henti, kata seorang pejabat PBB pada Selasa, 20 Agustus 2024. Ia menceritakan keputusasaan yang semakin meningkat di seluruh wilayah tersebut.

"Rasanya seperti orang-orang sedang menunggu kematian. Kematian tampaknya jadi satu-satunya kepastian dalam situasi ini," Louise Wateridge, juru bicara badan PBB untuk pengungsi Palestina, yang juga dikenal sebagai UNRWA, mengatakan pada AFP, dikutip dari CNA, Rabu (21/8/2024).

Selama dua minggu terakhir, Wateridge berada di Jalur Gaza, menyaksikan krisis kemanusiaan, ketakutan akan kematian, dan penyebaran penyakit saat perang berkecamuk. "Tidak ada tempat di Jalur Gaza yang aman, sama sekali tidak ada tempat yang aman. Ini benar-benar menghancurkan," kata Wateridge dari daerah Nuseirat di Gaza tengah yang jadi target rutin serangan udara Israel.

Sejak pertempuran pecah pada Oktober 2023, pasukan Israel telah menggempur Gaza dari udara, darat, dan laut, menghancurkan sebagian besar wilayah tersebut jadi puing-puing. Memasuki bulan ke-11, perang tersebut telah menciptakan krisis kemanusiaan yang akut.

Ratusan ribu orang, yang sebagian besar telah mengungsi beberapa kali, kehabisan makanan pokok dan air bersih. "Kami menghadapi tantangan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam hal penyebaran penyakit yang berkaitan dengan kebersihan. Sebagian dari ini disebabkan pengepungan yang diberlakukan Israel di Jalur Gaza," kata Wateridge.

Puluhan ribu orang telah berlindung di sekolah-sekolah di seluruh Jalur Gaza, yang semakin sering jadi sasaran rudal Israel. Militer Israel mengklaim, sekolah-sekolah ini telah digunakan sebagai pusat komando dan kendali Hamas, tuduhan yang telah dibantah kelompok tersebut.

"Bahkan sekolah tidak lagi jadi tempat yang aman," kata Wateridge. "Rasanya seperti Anda tidak pernah lebih dari beberapa blok dari garis depan."

 


Warga Gaza Enggan Pindah-Pindah Mengungsi

Badan pertahanan sipil di Jalur Gaza yang dikuasai Hamas mengatakan ada tiga serangan udara dalam waktu kurang dari satu jam pada hari Selasa (16/7/2024), termasuk terhadap sebuah sekolah. (Eyad BABA/AFP)

Lelah bereaksi terhadap perintah evakuasi "berkelanjutan" militer Israel, semakin banyak warga Gaza enggan untuk terus berpindah dari satu tempat ke tempat lain, kata Wateridge. "Mereka merasa seperti dikejar-kejar dalam lingkaran. Berpindah jadi sangat merepotkan karena cuaca panas, anak-anak kecil, orang tua, dan orang dengan disabilitas," katanya.

Banyak warga Gaza yang diwawancarai AFP mengatakan mereka tidak ingin lagi memindahkan keluarga, tenda, dan beberapa barang yang masih mereka miliki. Mereka mengkritik apa yang digambarkan sebagai kurangnya kejelasan dalam perintah evakuasi Israel, termasuk peta yang dijatuhkan dari pesawat.

Juga, ada keterbatasan komunikasi mengingat minimnya akses internet, listrik, dan jangkauan telekomunikasi di Gaza. Mereka yang masih pindah mengatakan bahwa ke mana pun pergi "ada tikus, mencit, kalajengking, dan kecoa," kata Wateridge.

Ia menambahkan bahwa serangga "menyebarkan penyakit dari satu tempat penampungan ke tempat penampungan lain."  Minggu lalu, Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan wilayah itu telah mencatat kasus polio pertama dalam 25 tahun.


Berharap Gencatan Senjata

Warga Palestina meninggalkan kamp pengungsi Maghazi di Jalur Gaza tengah, Sabtu, 17 Agustus 2024. (AP Photo/Abdel Kareem Hana)

Wateridge menyebut bahwa PBB sedang menunggu lampu hijau dari Israel untuk berpindah dari satu tenda ke tenda lain dan memvaksinasi anak-anak demi mencegah penyebaran polio. Meski pembicaraan telah menemui jalan buntu selama berbulan-bulan, Wateridge mengatakan, warga Gaza "selalu berharap akan adanya gencatan senjata" dan "mengawasi dengan saksama negosiasi tersebut."

Dalam beberapa hari mendatang, mediator internasional Amerika Serikat, Qatar, dan Mesir akan mengadakan putaran pembicaraan baru di Kairo untuk kembali mencoba mengamankan kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan Hamas. Bulan lalu, Gaza dilaporkan mengalami krisis pangan terburuk di dunia, menurut laporan PBB.

Laporan "Keamanan Pangan dan Gizi Dunia 2024" memberi gambaran suram tentang kelaparan dan ketahanan pangan global. Ini, sebut TRT World, dikutip Minggu, 28 Juli 2024, disusun bersama oleh Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), Program Pangan Dunia (WFP), Dana Internasional untuk Pembangunan Pertanian (IFAD), Dana Anak-anak PBB (UNICEF), dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Data menunjukkan, seluruh penduduk Gaza menderita kerawanan pangan yang parah, terutama akibat pengepungan Israel di daerah kantong tersebut. Angka ini mewakili lebih dari separuh penduduk di Sudan Selatan, Yaman, dan Suriah, serta hampir separuh di Haiti.


Gaza Catat Kerawanan Pangan Paling Parah

Warga berkerumun menunggu distribusi makanan di Rafah, Jalur Gaza selatan, Palestina, Rabu (8/11/2023). Sejak dimulainya perang Israel-Hamas, Israel membatasi jumlah makanan dan air yang diperbolehkan masuk ke wilayah Jalur Gaza sehingga menyebabkan kelaparan yang meluas di seluruh wilayah tersebut. (AP Photo/Hatem Ali)

Laporan tersebut mengungkap bahwa antara 713 juta hingga 757 juta orang di seluruh dunia kekurangan gizi tahun lalu. Tercatat, rata-rata 733 juta orang menghadapi kelaparan, yang berarti bahwa satu dari setiap 11 orang berjuang melawan kelaparan.

Gaza, Sudan Selatan, Yaman, Suriah, dan Haiti memiliki jumlah penduduk terbesar yang menghadapi kerawanan pangan parah. Pada 2023, lebih dari 705 ribu orang di Burkina Faso, Gaza, Mali, Somalia, dan Sudan Selatan menghadapi "tingkat bencana" kerawanan pangan yang parah, dengan 576 ribu di antaranya berada di Gaza.

Menurut IPC, Gaza menghadapi "krisis pangan paling parah." Pada akhir tahun 2023, seluruh 2,2 juta penduduk Gaza diklasifikasikan menghadapi kondisi "krisis" tahap ketiga atau lebih buruk. Menurut laporan IPC yang dirilis pada 18 Maret 2024, lebih dari seperempat penduduk Gaza menghadapi kerawanan pangan yang parah pada tingkat "bencana."

Laporan tersebut memperingatkan bahwa jika konflik dan pembatasan bantuan kemanusiaan terus berlanjut, situasi ini dapat mengancam setengah dari populasi, yakni 1,1 juta orang, pada Juli 2024. Sekitar 13 juta orang di Suriah dan 18 juta orang di Yaman juga berjuang dengan tingkat kerawanan pangan yang parah.

 

Infografis Bocah Palestina Sekarat dan Mati Kelaparan di Gaza. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya