Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Sigit Reliantoro menyatakan bahwa kualitas udara di sekitar Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) pada tahun ini lebih baik dari 2023. Ada beberapa faktor penyumbang perbaikan tersebut.
Salah satunya dipengaruhi La Nina. Ia menyebut dibandingkan tahun lalu, musim kemarau tahun ini jauh lebih pendek. Bahkan, hujan masih turun pada Juli dan Agustus, walau diperkirakan akan berkurang pada September 2024.
Advertisement
"Oktober diharapkan normal lagi, ada hujan sehingga udara lebih bersih," kata Sigit dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu (21/8/2024).
Ia juga menyebut program elektrifikasi kendaraan mulai berdampak. Semakin banyak yang beralih dari menggunakan kendaraan berbahan bakar minyak bumi menjadi kendaraan listrik di seputar Jabodetabek dianggap bisa menurunkan emisi gas buang dan meningkatkan kualitas udara Jabodetabek. Selain itu, masyarakat semakin banyak yang menggunakan sepeda atau transportasi umum lantaran lebih terintegrasi dari sebelumnya.
"Orang mulai senang menggunakan kendaraan umum, kampanye kendaraan listrik juga masif sekali, mudah-mudahan bisa terus ditingkatkan," imbuhnya.
Di sisi lain, pihaknya akan memantau ketat kendaraan truk atau yang bertonase besar lainnya karena dinyatakan berkontribusi signifikan terhadap peningkatan emisi di Jakarta. Ada pula rencana mengubah bahan bakar sulfur (BBM sulfur) menjadi 50 dari dulunya 2000an yang mulai diujicobakan pemerintah pada 17 Agustus 2024.
Kandungan sulfur di BBM menentukan nilai oktan yang menunjukkan seberapa baik kualitas BBM tersebut untuk kendaraan diesel. Semakin rendah kandungan sulfurnya, semakin ramah lingkungan bahan bakar tersebut.
Penambahan Alat Pemantauan Kualitas Udara
Agar pemantauan lebih akurat, pemerintah berencana untuk menambah stasiun pemantauan kualitas udara di sejumlah titik, tidak hanya di Jabodetabek, tapi seluruh Indonesia. Sigit mengungkapkan pada tahun ini, pemerintah berencana menambah 60 titik lagi sehingga total ada 130an stasiun pemantauan kualitas udara di Indonesia, termasuk di Karawang yang masih bolong.
"Setiap peralatan akan dikalibrasi. Kalau sistem error, kami langsung kirim orang untuk kalibrasi. Kalibrasi dengan peralatan gas referrence, kemudian disesuaikan datanya sehingga dijamin sesuai standar," ujarnya.
Di Jakarta, ia mengungkapkan penambahan alat pemantauan udara akan dilakukan pemerintah Daerah Khusus Jakarta. Saat ini, total ada 17 stasiun pemantau udara yang tersebar di Jabodetabek karena mengendalikan pencemaran udara di Jakarta harus terintegrasi dengan kota/kabupaten sekelilingnya. Itu lantaran mobilitas di kawasan Jabodetabek sangat tinggi.
"Sebenarnya, kalau dilihat dari trennya, (17 stasiun pemantauan kualitas udara) sudah bisa menangkap ada masalah kualitas udara, sumbernya dari mana, dengan ini saja sudah bisa jalan. Tapi, dengan penambahan, pixelnya bisa semakin rapat," kata Sigit.
Advertisement
KLHK Sanksi Administrasi 11 Perusahaan Gara-gara Cemarkan Udara Jabodetabek
Dalam kesempatan yang sama, Dirjen Penegakan Hukum (Gakuum) KLHK sekaligus Ketua Tim Satgas Pengendalian Pencemaran Udara Jabodetabek Rasio Ridho Sani menyatakan telah menghentikan operasional 11 perusahaan yang berada di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Mereka terkait dengan kegiatan atau usaha yang menyebabkan polusi udara.
Ke-11 perusahaan itu adalah PT MMLN, PT XYSI, PT BAI, PT GIS dan PT IMP di Kabupaten Tangerang; PT RGL dan PT CBS di Kabupaten Serang; PT III, PT WJSI dan PT EMI di Kabupaten Bekasi; serta PT ASI di Kabupaten Karawang. PT MMLN dan PT RGM bergerak di bidang pengelolaan limbah B3, sedangkan sembilan perusahaan lainnya bergerak di peleburan atau pengolahan logam.
"Langkah-langkah penting yang kami lakukan untuk memastikan adanya kepatuhan dan juga menjadi pembelajaran atau efek jera bagi kegiatan usaha lainnya," kata Roy, sapaan akrabnya.
Ke-11 perusahaan merupakan bagian dari 230 usaha atau perusahaan yang menjadi target pengawasan KLHK pada 2024. Dari 230 perusahaan tersebut, 51 di antaranya telah diperiksa oleh Pengawas Lingkungan Hidup dan ditemukan hanya tiga perusahaan yang taat.
Sanksi Pidana untuk Pencemar Udara
Selanjutnya KLHK merekomendasikan tiga perusahaan dilakukan penegakan hukum pidana, 44 perusahaan akan dikenakan sanksi administatif oleh KLHK, dan satu perusahaan direkomendasikan untuk dikenakan sanksi pidana dan sanksi administratif. Sementara, satu perusahaan yang diserahkan ke pemerintah daerah (pemda) untuk tindak lanjut sanksi administratif.
"Saya sudah perintahkan kepada pengawas, apabila terjadi pelanggaran oleh kegiatan atau usaha dan berpotensi menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup khususnya kualitas udara maka lakukan langkah-langkah penghentian kegiatan tersebut," kata Rasio.
Dia juga sudah meminta ketika terdapat potensi pidana dari kegiatan atau usaha yang menimbulkan pencemaran udara, dapat dilakukan penegakan hukum tindak pidana dengan ancaman hukuman penjara maksimal 12 tahun dan denda Rp12 miliar, seusai Pasal 98 UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
"Kalau kejahatan dilakukan oleh korporasi, dapat dikenakan pidana tambahan berupa perampasan keuntungan dan pemulihan lingkungan. Karena ini berkaitan dengan kualitas hidup masyarakat, kami juga bisa ajukan gugatan perdata yang dalam kasus lingkungan hidup dan karhutla, tingkat keberhasilan kami tinggi di semua tingkat pengadilan," ucapnya.
Advertisement