‘Peringatan Darurat’ Bikin Revisi UU Pilkada Batal, Bagaimana Nasib Anies dan Kaesang?

Sejumlah tokoh, aktivis hingga artis berdemonstrasi pada Kamis (22/8/2024) di sejumlah titik Jakarta. Aksi itu membuahkan hasil: DPR membatalkan pengesahan Revisi Undang-Undang Pilkada dan kembali ke putusan MK.

oleh Muhammad Ali diperbarui 23 Agu 2024, 00:00 WIB
Anies dan Kaesang di Pilkada 2024. (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Gelombang unjuk rasa terjadi di sejumlah tempat di Indonesia pada Kamis (22/8/2024). Gedung DPR di Jakarta menjadi salah satu lokasi berkumpulnya massa dari berbagai elemen mahasiswa, buruh, dan kelompok aktivis lainnya. Di depan gedung parlemen itu, unjuk rasa sempat ricuh.

Aksi ini merupakan bagian dari gerakan Garuda Pancasila berlatar warna biru bertuliskan Peringatan Darurat yang menjadi simbol perlawanan. Gerakan mengawal konstitusi digaungkan warganet bersamaan dengan viralnya Garuda Biru.

Saat turun ke jalan, massa membakar ban bekas serta melemparkan botol-botol ke arah barikade petugas yang berada di dalam kawasan Gedung DPR/MPR. Sebagian dari massa berusaha merobohkan tembok dan pagar yang menjadi penghalang antara massa dan aparat kepolisian yang berjaga.

Upaya itu membuahkan hasil. Sebagian tembok berhasil dijebol dan porak-poranda. Massa kemudian mencoba merangsek masuk ke dalam. Tapi, usaha sia-sia karena kepolisian langsung membuat barikade.

Melihat respons kepolisian, massa pun melemparkan sejumlah benda ke arah polisi. Lemparan tersebut dihalau dengan tameng sehingga tidak satupun yang menembus ke pengamanan.

Pangkal kericuhan ini bermula dari sikap Badan Legislatif (Baleg) DPR yang merevisi Undang Undang Pilkada pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024.

Putusan MK Nomor 60 memutuskan setiap partai politik bisa mengusulkan calonnya sendiri meski tak punya kursi di DPRD. Sedangkan putusan MK Nomor 70 memutuskan bahwa usia pencalonan seorang kepala daerah terhitung pada saat ditetapkan, bukan saat dilantik.

Pengunjuk rasa berupaya merangsek ke dalam dengan menjebol pagar gedung DPR. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Menurut Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, keputusan MK merupakan putusan dari lembaga kekuasaan kehakiman yang bersifat final dan mengikat yang berlaku serta-merta bagi semua pihak. Karena itu, semua pihak harus patut menghormati dan mengikuti apa yang sudah diputuskan dalam putusan MK.

"Ketika sudah ada putusan MK yang mengubah undang-undang, maka pelaksanaannya tidak perlu menyertakan perubahan undang-undang sebagai tindak lanjut dari putusan MK tersebut. Di banyak pengalaman pemilu dan Pilkada kita, keputusan MK bahkan bisa dioperasionalisasikan secara teknis hanya dengan mengubah peraturan KPU," ujar Titi, Kamis (22/8/2024).

"Langkah-langkah dari DPR yang ingin mengubah apa yang menjadi isi keputusan MK, tentu saja tindakan yang inkonstitusional bertentangan dengan konstitusi dan bisa disebut sebagai pembegalan atau pembangkangan terhadap konstitusi," Titi menambahkan.

Pakar hukum kepemiluan Universitas Indonesia ini menegaskan, Mahkamah Konstitusi adalah institusi yang diberi wewenang oleh undang-undang dasar untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar. Karena itu, DPR seharusnya patuh pada keputusan MK.

"Nah kalau kemudian DPR menyimpang atau kemudian mengingkari, tidak melaksanakan, menolak untuk melaksanakan keputusan MK terkait terkait dengan syarat usia ataupun ambang batas perolehan suara untuk pengusulan atau mendaftarkan pasangan calon dari jalur partai politik atau gabungan partai politik, itu bisa mengancam konstitusionalitas dan legitimasi Pilkada serentak 2024. ," dia menerangkan.

Titi menegaskan, putusan MK sudah jelas dalam putusan Nomor 60 tahun 2024 bahwa persyaratan pengusungan pasangan calon dari jalur partai politik atau gabungan partai politik baik bagi mereka yang punya kursi atau tidak punya kursi di DPRD adalah sebagaimana yang ada di dalam amar putusan MK, di mana persentasenya disetarakan dengan persentase untuk pengusungan calon perseorangan di Pilkada antara 6 setengah sampai 10%.

"Lalu kemudian terkait dengan syarat usia diputuskan Nomor 70 Tahun 2024. Pertimbangan hukum MK juga sangat tegas bahwa syarat usia itu bermuara pada pemenuhan syarat tersebut saat penetapan pasangan calon oleh MK," tegas dia.

Jadi kalau sampai DPR kemudian secara sengaja menyimpangi apa yang ada di dalam keputusan Mahkamah Konstitusi, ini bisa berdampak pada kekacauan dan amburadulnya proses Pilkada 2024. Karena menurutnya, jika Revisi Undang-Undang Pemilu 2024 disahkan, pasti UU itu akan langsung diuji ke Mahkamah Konstitusi dan bisa dipastikan juga akan dibatalkan kembali oleh MK.

"Kalau sampai terjadi, pilkada bisa amburadul dan akan jadi noda kotor demokrasi yang mencoreng DPR dan Pemerintah. Kalau sudah demikian, bagaimana kepastian hukum penyelenggaraan Pilkada 2024," ucap Titi.

Selain itu, Titi menambahkan, hal itu juga bisa menimbulkan ketidakpuasan dan perlawanan publik di mana bisa saja masyarakat kemudian melakukan pembangkangan sosial atau pembangkangan publik terhadap pelaksanaan Pilkada 2024. Ini sangat mungkin dilakukan gerakan boikot dan bisa meluas.

"Ada ketidakpercayaan atas proses Pilkada yang sedang berlangsung," ujar dia.

Bila demikian, yang merugi tentu negara atas segala biaya, tenaga, energi, waktu yang sudah didedikasikan untuk penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024. Selain itu, partai politik juga akan semakin terdegradasi kredibilitasnya di mata publik dan yang paling rugi citra buruk akhir masa jabatan periode kedua Presiden Jokowi yang meninggalkan catatan buruk terkait jalannya demokrasi Indonesia.

Berikutnya, lanjut Titi, ialah ketika Pak Prabowo ingin memulai kepemimpinan baru, justru diawali dengan skandal luar biasa pembangkangan terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang melibatkan partai-partai yang menjadi bagian dari pengusungan atau pencalonan di pilpres yang lalu.

"Tapi saya meyakini bahwa khususnya Pak Prabowo yang memiliki komitmen demokrasi untuk menyelamatkan konstitusionalitas dan legitimasi Pilkada serentak 2024, di mana semua aturan main yang sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi itu akan diikuti secara konsisten dan tanpa kecuali oleh semua pihak, termasuk partai-partai politik di bawah Koalisi Indonesia Maju beserta semua anggota yang jadi bagian dari koalisi pencalonan di Pilkada serentak 2024," dia menandaskan.

Sedangkan Pakar Hukum Tata Negara Mahfud Md menilai kedudukan putusan MK lebih tinggi ketimbang Mahkamah Agung. Hal ini lantaran MK memutus perkara terkait dengan undang-undang dasar, sementara MA memutuskan terkait dengan peraturan KPU.

"MA itu kan memutus peraturan KPU. Sedangkan MK memutuskan undang undang, lebih tinggi undang undang kan, peraturan KPU itu harus mengikut yang undang undang. Yang undang undang itu ya putusan MK," kata mantan hakim MK tersebut.

Infografis Rencana Rapat Paripurna Kilat DPR Pengesahan RUU Pilkada. (Liputan6.com/Abdillah)

Pengesahan Revisi UU Pilkada Batal

Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad menjamin DPR tidak akan mengadakan rapat paripurna terkait revisi Undang-Undang Pilkada (UU Pilkada). Sehingga aturan pendaftaran calon kepala daerah di Pilkada 2024 akan menggunakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

"Dengan tidak jadinya disahkan revisi UU Pilkada pada tanggal 22 Agustus hari ini maka yang berlaku pada saat pendaftar pada tanggal 27 Agustus, adalah hasil keputusan judicial review MK yang diajukan Partai Buruh dan Partai Gelora," kata Dasco, saat dikonfirmasi, Kamis (22/8/2024).

Dasco kembali memastikan tidak akan menggelar rapat paripurna yang semula ditunda. Dasco menilai, jika rapat paripurna dilanjutkan dia khawatir demonstrasi semakin rusuh.

"Enggak ada. Karena hari paripurna kan Selasa dan Kamis. Selasa sudah pendaftaran. Masa kita paripurna kan pada saat pendaftaran? Malah bikin chaos dong," tegas dia.

"Engga ada (rapat paripurna malam ini). Gua jamin. Enggak ada," imbuh Dasco.

Sementara itu, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi menyampaikan pemerintah menghormati Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perubahan ambang batas pencalonan Pilkada 2024. Pemerintah juga menghormati putusan MK tentang syarat calon usia kepala daerah dihitung saat penetapan pasangan calon.

"Kalau untuk putusan MK kita harus menghormati. Jadi dari pihak pemerintah menghormati apapun yang menjadi putusan MK," kata Hasan kepada wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (21/8/2024).

"Ada 2 putusan MK kemarin kan, dan dua-duanya kita hormati untuk itu. Enggak ada sikap lain selain menghormati putusan MK," sambungnya.

Dia enggan berkomentar soal DPR yang menolak untuk mengakomodasi putusan MK soal syarat usia calon kepala daerah. Hasan menuturkan DPR juga memiliki hak sebagai lembaga legislatif untuk membentuk undang-undang.

"Kayak seperti MK misalnya, juga menjalankan kewenangannya untuk mereview atau membahas permohonan masyarakat yang ingin judicial review, dan mereka sudah mengeluarkan putusan. Tapi kita juga harus menghormati hak DPR sebagai lembaga legislatif yang punya kewenangan juga membentuk undang-undang," jelasnya.

Hasan pun meminta semua pihak tak berprasangka buruk terkait putusan tersebut. Dia mengatakan masyarakat pun dapat menyaksikan langsung sidang pembahasan RUU Pilkada 2024 melalui media televisi.

"Jadi saya minta jangan berprasangka macam-macam dulu. Kan sidangnya live ya, temen-temen bisa liat live ya, sidang-sidang di DPR itu apakah kemudian mereka mengakomodir keputusan lembaga-lembaga tinggi negara tadi atau tidak? Apakah mereka sejalan dengan keputusan lembaga-lembaga negara tadi atau tidak?" tutur Hasan.

Hasan Nasbi juga menanggapi soal viralnya tagar 'Peringatan Darurat' di media sosial X, usai DPR melakukan revisi undang-undang (RUU) Pilkada, Rabu, 22 Agustus 2024. Dia tak mau ambil pusing soal viralnya tagar tersebut sebab merupakan bagian dari kebebasan berekspresi masyarakat.

"Enggak ada tanggapan. Kan enggak apa-apa kan, biarkan aja, itu bagian dari kebebasan berekspresi," kata Hasan.

Dia menilai tak ada yang perlu ditakuti dan dikhawatirkan dengan sorotan internasional terhadap viralnya tagar 'Peringatan Darurat'. Hasan menyebut perbedaan pendapat merupakan hal biasa yang terjadi di negara demokrasi seperti, Indonesia.

"Ya kenapa kita harus takut disorot? Maksudnya itu perkembangan yang berkembang di Indonesia. Ada perbedaan pendapat, ada penyampaian ekspresi, kita hormati saja. Enggak usah khawatir dengan itu. Kita juga engga khawatir dengan itu," jelas Hasan.

Di sisi lain, Hasan menyampaikan bahwa pemerintah akan mengikuti aturan terakhir yang berlaku terkait Pilkada. Dalam hal ini, apabila DPR tidak mengesahkan Undang-Undang Pilkada hingga 27 Agustus 2024, maka pemerintah akan mengikuti aturan terakhir yaitu putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

"Pemerintah juga berada pada posisi yang sama seperti sebelumnya yaitu, mengikuti aturan yang berlaku. Jadi selama tidak ada aturan yang baru, maka pemerintah akan ikut menjalankan aturan-aturan yang saat ini masih berlaku. Jadi begitu posisi pemerintah," tutur Hasan.


Nasib Anies dan Kaesang

Anies Baswedan dan Kaesang Pangarep. (Liputan6.com)

MK melalui putusannya nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024 memberikan angin segar untuk alam demokrasi di Indonesia. Obesitas koalisi yang merangkul hampir semua partai di parlemen dipatahkan dengan putusan MK nomor 60 yang memutuskan setiap partai politik bisa mengusulkan calonnya sendiri meski tak punya kursi di DPRD.

Pun dengan putusan MK nomor 70 yang memutuskan bahwa pencalonan seorang kepala daerah berusia 30 tahun terhitung pada saat ditetapkan, bukan saat dilantik. Putusan progresif tersebut sempat dipatahkan dengan rapat kilat revisi Undang-Undang Pilkada oleh Baleg DPR bersama pemerintah.

Mereka bersepakat, aturan partai tak punya kursi untuk mengusung calon kepala daerah hanya berlaku bagi partai non-parlemen. Sementara aturan batas usia kepala daerah mengacu pada putusan Mahkamah Agung (MA) yakni sejak saat dilantik, bukan merujuk putusan MK.

Seruan turun ke jalan menolak Revisi UU Pilkada yang dilakukan DPR pun riuh. Sejumlah tokoh, aktivis hingga artis berdemonstrasi pada Kamis (22/8/2024) di sejumlah titik Jakarta. Aksi itu membuahkan hasil: DPR membatalkan pengesahan Revisi Undang-Undang Pilkada dan kembali ke putusan MK.

Pengamat politik Selamat Ginting menilai Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 mengubah peta politik dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. "Beberapa partai bisa mengusung sendirian, koalisi-koalisi bisa saja bubar," ujar Selamat saat dihubungi.

Dengan kembali ke putusan MK, ia berpendapat beberapa partai seperti Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bisa mengusung calon dalam Pilkada 2024 tanpa harus menggandeng partai lain karena ambang batas pencalonannya sudah berubah. Begitu pula, sambung dia, dengan berbagai partai lain yang bisa berpikir ulang untuk mengajukan kadernya sendiri.

Menurut Selamat, PDIP bisa saja mendukung Anies Baswedan dalam Pilkada Jakarta karena elektabilitas Anies yang sangat tinggi dan tidak tertandingi hingga saat ini. Partai berlogo banteng itu kemungkinan menduetkan Anies dengan para kadernya, seperti Prasetyo Edi Marsudi, Rano Karno, hingga Hendar Prihadi.

"Tinggal PDIP mempertimbangkan mana tiga kadernya yang paling cocok untuk mendampingi Anies Baswedan. Tapi bisa juga PDIP mengusung kadernya sendiri seperti Ahok, itu juga bisa dimajukan," ungkapnya.

Lalu bagaimana nasib Kaesang? Putra bungsu Jokowi itu diga sang-gadang akan maju di Pilkada Jawa Tengah. Yang terbaru, Partai Nasdem pun telah mendeklarasikan dukungan terhadap pasangan Ahmad Luthfi dan Kaesang di Pilkada Jawa Tengah.

Namun Kaesang yang kini tercatat masih berusia 29 tahun bakal gagal mencalonkan diri setelah DPR batal mengesahkan Revisi Undang-Undang Pilkada dan kembali ke putusan MK. Pasalnya, Kaesang baru akan genap berusia 30 tahun di hari ulang tahunnya pada 25 Desember 2024, setelah tahapan penetapan pencalonan Pilkada 2024 dilakukan.


RUU Pilkada Tuai Pro-Kontra

Baleg DPR membantah bahwa rapat panitia kerja (panja) terkait Revisi Undang-Undang (RUU) Pilkada. (Delvira Hutabarat).

Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) I Dewa Gede Palguna angkat suara soal rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dan pemerintah yang hasilnya dinilai membangkang terhadap putusan Mahkamah Konstitusi terkait putusan 60 dan 70 tahun 2024 yang dibacakan Rabu, (21/8/2024). Namun secara kelembagaan, MKMK tidak berwenang untuk melakukan apa pun.

"Cara ini, buat saya pribadi, adalah pembangkangan secara telanjang terhadap putusan pengadilan, c.q. Mahkamah Konstitusi yang tidak lain adalah lembaga negara yang oleh Konstitusi (UUD 1945) ditugasi untuk mengawal UUD 1945," kata Palguna kepada awak media, Rabu (21/8/2024).

"MKMK kan tidak perlu bersikap apa-apa, kami tidak punya kewenangan memeriksa Baleg DPR," imbuh dia.

Palguna pun menyerahkan keputusan Parlemen kepada rakyat dan elemen sipil termasuk civitas akademika untuk menindaklanjuti situasi hari ini. Menurut dia, MK hanya bisa kembali bertindak ketika ada permohonan.

“Tinggal kelakuan itu dihadapkan dengan rakyat dan kalangan civil society serta kalangan kampus. Itu pun jika mereka belum kecapean. MK adalah pengadilan yang sebagaimana galibnya pengadilan, baru bisa bertindak kalau ada permohonan,” dia menandasi.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Indonesia Law and Democracy Studies (ILDES) Juhaidy Rizaldy menilai, mestinya MK mempertimbangkan putusan Mahkamah Agung (MA), yang mengatur syarat usia calon kepala daerah dihitung saat pelantikan calon terpilih.

"Sudah ada Putusan Mahkamah Agung (MA), ya masa MK tidak mempertimbangkan hal itu, MK sebagai pengadilan konstitusi harus mengilhami seluruh hukum yang telah terjadi di Indonesia apalagi MA yang sejajar dengan MK dalam lingkup kekuasaan kehakiman," kata Rizaldi, Rabu (21/8).

Rizaldy merasa kasihan dengan para mahasiswa hukum yang menyaksikan hal ini. Menurutnya, perlu ada penegasan dalam hal-hal tertentu dalam hukum.

"Hukum itu harus berlaku sesuai dengan konteks yang jelas dan tegas, agar tidak muncul penafsiran lain," ujarnya.

Rizaldy kemudian merujuk sikap DPR dan pemerintah membentuk Panja untuk merevisi putusan MK. Menurutnya, DPR dan Pemerintah tidak mengikuti arahan MK karena putusannya tidak tegas dan kurang jelas pelaksanannya.

"Kedua perihal tahapan pilkada sudah dekat dan sangat fundamental perubahannya," ucapnya.

Adapun Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Achmad Baidowi menyebut pihaknya lebih condong merujuk pada putusan Mahkamah Agung (MA) ketimbang Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai norma hukum dalam menyepakati ketentuan batas usia minimum calon kepala daerah untuk maju pilkada karena lebih eksplisit.

"Atas dasar norma hukum yang lebih eksplisit itulah kemudian kami yang memiliki pandangan hukum, semua fraksi, mayoritas fraksi itu menyepakati memilih yang jelas saja yang sudah berbunyi dalam putusan," kata Awiek, sapaan karibnya, ditemui usai Rapat Panitia Kerja (Panja) RUU Pilkada Badan Legislasi DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (21/8/2024).

Dia menjelaskan bahwa MA dan MK merupakan dua lembaga hukum yang setingkat. Namun, dia mengatakan bahwa putusan MA No.23 P/HUM/2024 lebih jelas mengatur tentang persyaratan usia calon kepala daerah.

"Mahkamah Agung sudah memutuskan terkait dengan klausul usia itu secara jelas, eksplisit menegaskan bahwa calon gubernur atau calon wakil gubernur bersyarat berusia 30 tahun saat pelantikan. Itu bunyi putusan Mahkamah Agung, dan itu bunyi hukum, jelas itu," ucapnya yang dikutip dari Antara.

Sementara itu, dia menyebut putusan MK Nomor 70/PUU-XXII/2024 menolak pengubahan syarat usia minimum calon kepala daerah yang dihitung saat pelantikan pasangan calon terpilih, sebagaimana merujuk pada putusan MA.

"Kemarin putusannya menolak. Menolak itu bukan berarti membatalkan pasal yang sudah ada dan tidak menghapus, tidak mengubah pasal yang ada. Pasal yang ada di Undang-Undang Pilkada itu hanya disebut usia 30 tahun, tidak disebutkan kapan," ujarnya.

Atas dasar itu, Awiek menyebut putusan yang lebih tegas dengan menyebutkan usia 30 tahun disertai dengan keterangan waktu dihitung sejak pelantikan, lebih dipilih pihaknya sebab dianggap mampu memberikan kepastian.

"Nah, bunyi putusan MK kan teman-teman sudah bisa lihat sendiri. Jadi supaya tidak ada kebimbangan, supaya tidak ada kebuntuan maka perlu politik hukum untuk menjembatani persoalan ini dengan melakukan revisi terhadap undang-undang yang kebetulan revisi undang-undang ini sudah diusulkan sejak bulan November 2023," kata dia.

Dia juga menyebut MK tak memiliki kewenangan dalam merumuskan undang-undang sebab menjadi kewenangan DPR RI dan Pemerintah, termasuk dalam hal merumuskan ketentuan batas usia minimum calon kepala daerah untuk maju pilkada melalui revisi UU Pilkada.

"Yang diamanatkan oleh konstitusi itu membentuk undang-undang adalah Pemerintah bersama DPR. Mahkamah Konstitusi sifatnya adalah negatif legislacy, jadi membatalkan ataupun menolak. Bukan merumuskan norma. Merumuskan norma, membuat norma itu tugasnya pembentuk undang-undang," kata dia.


DPR Berkuasa Bentuk UU

Massa aksi unjuk rasa kawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU Pilkada berhasil menggeruduk halaman Gedung MK, Jakarta Pusat. (Nanda Perdana Putra).

Sebelumnya, Baleg DPR RI menyepakati daftar inventarisasi masalah (DIM) revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) terkait batas usia minimum calon kepala daerah untuk maju pilkada merujuk pada putusan Mahkamah Agung (MA) yang dihitung sejak pelantikan.

"Setuju ya merujuk pada putusan Mahkamah Agung, ya? Lanjut?” tanya Wakil Ketua Baleg DPR RI Achmad Baidowi atau Awiek saat memimpin rapat Panitia Kerja (Panja) RUU Pilkada di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu.

Rumusan DIM nomor 72 yang disetujui Panja RUU Pilkada itu berbunyi: "d. berusia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur, serta 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati serta calon walikota dan calon wakil walikota terhitung sejak pelantikan pasangan terpilih."

Adapun pada Sebelumnya, Selasa (20/8), Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan dua putusan krusial yang terkait dengan tahapan pencalonan kepala daerah, yakni Putusan Nomor 60/PUU/XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024.

Putusan Nomor 60/PUU/XXII/2024 mengubah ambang batas pencalonan partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusung pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah.

Sementara itu, Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024 menegaskan bahwa batas usia minimum calon kepala daerah dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Putusan itu menggugurkan tafsir putusan Mahkamah Agung (MA) sebelumnya yang menyebut bahwa batas usia itu dihitung sejak pasangan calon terpilih dilantik.

Anggota Baleg dari Fraksi Demokrat DPR, Benny Harman menyatakan, MK tidak bisa sesuka hati membuat undang-undang. Ia mengingatkan hanya DPR yang memiliki hak membuat undang-undang.

“Kita menghormati kedua lembaga ini, sama-sama lembaga tinggi negara, MK juga jangan anggap hebat sekali, suka-suka bikin undang-undang, suka-suka bikin aturan, ambil alih kewenangan kita ini, buat aturan lagi, kita tolonglah,” kata Benny dalam rapat Panja Baleg DPR, Rabu 21 Agustus 2024.

Sementara itu, dalam rapat pengambilan putusan tingkat 1 RUU Pilkada, Fraksi Gerindra DPR menyebut MK berupaya membegal hak DPR sebagai pembuat undang-undang.

“Kita selamatkan hak konstitusi rakyat yang dibebankan di pundak kita untuk menyusun UU sebagaimana diatur di pasal 20 UUD 1945 dari pembegalan yang dlakukan oleh pihak lain (MK),” kata Anggota Baleg dari Gerindra Habiburokhman dalam rapat.

Habiburokhman menyebut pihak lain yakni MK tidak memiliki hak menyusun UU. “Pihak lain tersebut sesungguhnya tidak memiliki hak menyusun UU, tetapi seolah mengambil peran sebagai pihak yang berhak menyusun UU,” kata dia.

Menurut Habiburokhman, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membolehkan partai politik tanpa kursi di DPRD mengusung calon di pilkada itu hanya membuat kegaduhan saja.

“Kita merestorasi kerusakan yang timbul akibat kegaduhan politik beberapa hari ini, akibat adanya penyamarataan membabi buta terhadap partai peraih kursi dengan partai yang tidak meraih kursi di DPR,” tegasnya.

Senada dengan Benny dan Habib, Pimpinan Panja Baleg Achmad Baidowi (Awiek) menegaskan, DPR lah yang berkuasa membentuk UU. “Yang penting kami mengingatkan bahwa sesuai dengan UUD 1945 Pasal 20, bahwa DPR memegang kekuasaan dalam pembentukan UU, itu klir. Ya terserah DPR gitu kan,” kata Awiek.

Warganet ramai-ramai mengunggah gambar lambang Burung Garuda dengan latar belakangan berwarna biru tua bertuliskan 'Peringatan Darurat'.

Unggahan ini menjadi trending topic di platform X alias Twitter dengan Peringatan Darurat. Unggahan yang sama juga dibagikan sejumlah warganet via Instagram Stories.

Pantauan Tekno Liputan6.com, Rabu (21/8/2024), gerakan massal tersebut merupakan ajakan kepada masyarakat untuk mengawal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dan jalannya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada 2024).

Respons ini mencuat setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyepakati revisi Undang-Undang Pilkada yang menganulir putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 yang menetapkan syarat baru dalam pengajuan calon kepala daerah.

"Semua berjalan secara terang2an dan secara ugal-ugalan. Kalau bukan kita yang mempertahankan dan memperjuangkan keadilan di negara ini, siapa lagi? Demokrasi telah di rusak sama tangan2 para penguasa," kicau @non***

"Sebagai orang awam, tanpa kelas. Dengan kondisi 'peringatan darurat' seperti ini, apa yang bisa saya lakukan?," tulis @bay***

"Negara kita lagi dikuasai oleh entah manusia atau bukan. Mereka seenak jidat ubah Undang-undang dan aturan demi kepentingan mereka sendiri, KPK dilumpuhkan, alam dirusak, penjahat HAM dijadikan presiden, terus mau kuasain sisanya lewat anak-anak mereka," kata @iwi***

"Jaga Demokrasi, Jaga Generasi, Jaga Masa Depan Bangsa," timpal seorang warganet @wah***.

 


Infografis Beda Putusan MK dan DPR Terkait Revisi UU Pilkada

Infografis Beda Putusan MK dan DPR Terkait Revisi UU Pilkada. (Liputan6.com/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya