Respons Pedagang Warung soal Larangan Jual Rokok Eceran

Para pedagang kecil melakukan aksi damai yaitu dengan mengibarkan bendera setengah tiang di depan warungnya.

oleh Tim Regional diperbarui 22 Agu 2024, 18:40 WIB
Ilustrasi Rokok. Foto: Ade Nasihudin (15/9/2020).

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan atau PP Kesehatan.

Salah satu hal yang diatur dalam PP Kesehatan ini yaitu soal larangan penjualan rokok eceran. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 434 yang berbunyi:

(1) Setiap Orang dilarang menjual produk tembakau dan rokok elektronik:

  • menggunakan mesin layan diri
  • kepada setiap orang di bawah usia 21 (dua puluh satu) tahun dan perempuan hamil
  • secara eceran satuan perbatang, kecuali bagi produk tembakau berupa cerutu dan rokok elektronik
  • dengan menempatkan produk tembakau dan rokok elektronik pada area sekitar pintu masuk dan keluar atau pada tempat yang sering dilalui
  • dalam radius 200 (dua ratus) meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak
  • dan menggunakan jasa situs web atau aplikasi elektronik komersial dan media sosial.

(2) Ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f bagi jasa situs web atau aplikasi elektronik komersial dikecualikan jika terdapat verifikasi umur.

Peraturan tersebut mendapat respons dari pedagang. Mereka melakukan aksi damai yaitu dengan mengibarkan bendera setengah tiang di depan warungnya. Langkah ini diambil untuk mengekspresikan rasa kekecewaan para pedagang atas PP 28/2024 yang dianggap membatasi hak mereka untuk berdagang dan mencari nafkah.

“Kami mengibarkan bendera setengah tiang sebagai bentuk protes. Peraturan ini tidak memikirkan nasib rakyat kecil seperti kami,” ungkap Mamat, seorang pemilik warung di Jakarta, Kamis (22/8/2024).

Ia memohon kepada pemerintah untuk meninjau kembali aturan tersebut dan mencari solusi yang lebih adil bagi semua pihak.PP 28/2024 tidak hanya menuai kecaman, tetapi juga dianggap sebagai bentuk pengekangan yang membatasi kebebasan ekonomi pedagag kecil.

“Seharusnya, para pedagang kecil itu diberikan perlindungan dan dukungan, bukan malah dibebani dengan aturan berlebihan yang menambah penderitaan kami. Kami menuntut keadilan dankebebasan ekonomi," ujarnya.

Para pedagang warung tersebut meminta pemerintah untuk mendengarkan suara mereka dengan meninjau kembali PP 28/2024.

“Kami minta pemerintah cari solusi yang lebih adil. Jangan lupakan kami, para pedagangkecil, yang hanya berjuang hari demi hari untuk mengisi perut keluarga kami,” lanjut Mamat.

Mamat menambahkan melalui aksi pengibaran setengah tiang dapat menggerakan hati pemerintah untukbertindak demi kesejahteraan semua lapisan masyarakat, termasuk bagi para pedagang kecil.

 

 


Rokok Komoditas Utama Omzet Penjualan

Wakil Ketua Umum DPP Asosiasi Koperasi dan Ritel Indonesia (Akrindo), Anang Zunaedi, menilai sejumlah aturan bagi produk tembakau, khususnya larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak serta penjualan rokok eceran, akan mempersulit kondisi pedagang koperasi dan ritel yang tersebar di berbagai wilayah.

“Karena selama ini, rokok merupakan komoditas utama yang membantu omzet penjualan hingga 50%. Aturan ini jelas akan mempersulit pelaku usaha seperti kami,” ungkap Anang dikutip Sabtu (3/8/2024).

Anang melanjutkan selama ini pembeli rokok dari para peritel adalah para konsumen dewasa yang berada di sekitar kawasan koperasi maupun pedagang ritel. Apalagi, banyak pedagang yang sudah ada terlebih dulu dibandingkan dengan satuan pendidikan maupun tempat bermain anak.

“Pemerintah seharusnya memikirkan posisi pedagang ritel yang sudah ada sebelum fasilitas pendidikan dan tempat bermain anak tersebut didirikan.” terangnya.

Selain itu, Anang juga menyatakan dengan adanya pelarangan tersebut terdapat potensi peralihan konsumsi ke rokok ilegal yang dapat menekan para peritel yang telah patuh untuk menjual rokok legal sesuai hukumnya. Penerapan regulasi ini dapat menyulitkan masyarakat dan pengawasannya juga masih menjadi pertanyaan.

 

Infografis UU MK Sudah Berapa Kali Diubah? (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya