Indonesia Lirik Potensi Bahan Bahan Penerbangan Berkelanjutan dari Kelapa Sawit

Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kemenko Bidang Perekonomian Dida Gardera berharap SAF akan memainkan peran penting masa depan penerbangan berkelanjutan.

oleh Agustina Melani diperbarui 23 Agu 2024, 22:25 WIB
Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Dida Gardera. (Foto: ekon.go.id)

Liputan6.com, Jakarta - Bahan Bakar Penerbangan Berkelanjutan (Sustainable Aviation Fuel/SAF) semakin diakui sebagai solusi utama untuk mengurangi emisi karbon dioksida (CO2) dalam sektor penerbangan internasional. Bahan bakar tersebut berpotensi besar dalam mendukung pencapaian target pengurangan emisi global.

Dalam upaya tersebut, peran aktif semua pemangku kepentingan, termasuk Pemerintah, produsen bahan bakar, produsen pesawat, maskapai, bandara, investor, dan lembaga keuangan sangat penting.

Saat mempresentasikan materi berjudul “Indonesia’s Potential for Sustainable Aviation Fuel (SAF) Development pada hari kedua seminar “2024 ICAO APAC Regional Seminar on Environment”, Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Dida Gardera menyampaikan sejumlah poin utama.

Pertama, mengenai pasar dan potensi Indonesia. Negara ini merupakan salah satu pasar industri penerbangan terbesar di dunia dengan 251 bandara yang ada dan 50 bandara baru dalam rencana. Sebagai produsen minyak kelapa sawit terbesar global, Indonesia memproduksi 3,9 juta ton used cooking oil (UCO) pada 2023 dan berencana memproduksi 238 juta liter SAF per tahun pada 2026.

“Poin kedua adalah manfaat dan tantangan SAF. Bahan bakar itu dapat membantu mengurangi emisi gas rumah kaca dan dianggap sebagai energi bersih. Namun, penggunaannya secara komersial masih menghadapi tantangan, seperti keterbatasan bahan baku, biaya tinggi, dan infrastruktur belum memadai,” ujar Deputi Dida seperti dikutip dari keterangan resmi, Jumat (23/8/2024).

Ketiga, mengenai uji coba SAF di Indonesia. Pengujian SAF telah dilakukan di Indonesia sejak 2020 dengan hasil uji coba yang berhasil termasuk co-process J2.4 dan uji terbang pada berbagai jenis pesawat. Uji terbang terbaru pada kuartal ketiga 2023 di Garuda Boeing 737-800 menunjukkan tidak adanya perbedaan kinerja dibandingkan bahan bakar fosil konvensional.

 

 


Potensi PKE

2024 ICAO APAC Regional Seminar on Environment. (Foto: ekon.go.id)

Keempat, tentang potensi Palm Kernel Expeller (PKE) atau bungkil sawit. Hal yang merupakan produk sampingan dari proses ekstraksi minyak kelapa sawit itu berpotensi diubah menjadi bioethanol yang dapat digunakan sebagai bahan baku SAF. Satu ton PKE dapat menghasilkan 250 liter bioethanol, dengan potensi PKE yang diperkirakan mencapai 6 juta ton per tahun. Indonesia sedang dalam proses mengusulkan PKE sebagai sumber bahan bakar SAF yang masuk dalam daftar CORSIA.

"Seminar ini menegaskan komitmen Indonesia untuk berkontribusi dalam pengembangan SAF dan pengurangan emisi global. Dengan langkah-langkah strategis yang diambil, diharapkan SAF akan memainkan peran penting dalam masa depan penerbangan yang lebih berkelanjutan,” ujar Deputi Dida.

Adapun Deputi Bidang Koordinasi Pangan dan Agribisnis Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Dida Gardera berpartisipasi dalam acara “2024 ICAO APAC Regional Seminar on Environment” yang diselenggarakan di Bangkok, Thailand, pada 7-8 Agustus 2024.

Seminar ini diselenggarakan oleh International Civil Aviation Organization (ICAO) dan dihadiri berbagai perwakilan industri dan lembaga internasional, termasuk Civil Aviation Authority dari beberapa negara Asia Pasifik.

Acara ini dimulai dengan sambutan dari Jane Hupe dari ICAO Headquarters dan Suttipong Koongpol dari Civil Aviation Authority of Thailand (CAAT). Pada hari pertama, peserta seminar mendengarkan paparan dari perwakilan dari Department of Civil Aviation of Brunei Darussalam, Japan Civil Aviation Bureau, Civil Aviation Authority of Malaysia, Civil Aviation Authority of Singapore, dan Civil Aviation Authority of Thailand.

Kemudian, pada hari kedua seminar menampilkan pembicara dari Civil Aviation Authority of Vietnam, Airbus, Boeing, All Nippon Airways (ANA), Topsoe, FlyORO, Bangchak Corporation, Air Asia, Neste, MUFG Bank, dan IRENA.


Tekan Emisi Gas Rumah Kaca, Perusahaan Tambang Perlu Inovasi

Ilustrasi emisi karbon (unsplash)

Sebelumnya, Nickel Industries melalui anak perusahaannya, PT Hengjaya Mineralindo menawarkan inovasi yang dapat mengatasi tantangan iklim dan pembangunan. Khususnya dalam menekan pembuangan emisi gas rumah kaca (GRK) di sektor industri pertambangan.

Berdasarkan data yang terhimpun dalam Laporan Iklim dan Pembangunan Negara (2023), emisi di Indonesia memiliki angka rata-rata tahunan setara dengan 1.495 juta ton karbon dioksida (C02) ekuivalen (MtCO2eq) pada 2018-2020.

Angka ini terbilang tinggi dibandingkan dengan negara-negara setara secara struktural. Secara historis pun, deforestasi dan kebakaran hutan telah menjadi faktor penyumbang emisi GRK di Indonesia dengan persentase 42 persen.

Sustainability Manager Nickel Industries Muchtazar menyampaikan, pihaknya telah mendorong inovasi dalam bentuk program lingkungan, mulai dari efisiensi energi, pengurangan emisi, pengelolaan limbah non-B3, pengurangan limbah B3, konservasi air, pengelolaan keanekaragaman hayati.

"Program-program lingkungan ini tidak hanya dijalankan secara internal, melainkan juga eksternal dengan melibatkan masyarakat lokal. Seperti halnya pada program mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, Metana Bumi (Menanam Tanpa Merusak Bumi)," ujarnya, Jumat (22/12/2023).

 


Program Lingkungan

Muchtazar menjelaskan, program-program lingkungan yang dijalankan oleh perusahaan selalu dikembangkan dan dievaluasi secara terus menerus. Guna memastikan tidak terjadi pencemaran atau kerusakan terhadap ekosistem lingkungan darat maupun air di wilayah pertambangan perusahaan.

"Kami bekerjasama secara internal maupun eksternal dalam mewujudkan pengelolaan lingkungan yang baik sesuai dengan aturan-aturan yang telah berlaku di Indonesia. Bahkan, kami juga mendorong karyawan untuk bisa berinovasi di bidang lingkungan, sehingga perubahan dapat terjadi secara baik," ungkapnya.

Melalui PT Hengjaya Mineralindo, Nickel Industries pun sukses menggondol penghargaan PROPER Hijau untuk kedua kalinya dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2023. Menurut Muchtazar, prestasi ini sebagai bukti nyata perusahaan dalam pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan.

"Keberhasilan kami saat ini tidak terlepas dari dukungan manajemen dan seluruh tim di lapangan dalam memastikan upaya lingkungan terkelola secara baik. Sehingga dapat membantu pemerintah Indonesia dalam memenuhi target iklim dan Pembangunan berkelanjutan," tuturnya.

 

Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya