Mereka yang Memikul Cerita Genosida dari Rakhine

Tujuh tahun penduduk Rohingya di Negara Bagian Rakhine terusir dari kampung halamannya melalui operasi militer Myanmar. Peristiwa itu kelak diingat sebagai peringatan genosida Rohingya. Beberapa kisah berdasarkan pengakuan para korban kami tuangkan di sini:

oleh Rino Abonita diperbarui 25 Agu 2024, 02:00 WIB
Seorang pengungsi di Kamp 16 Kutupalong, Cox's Bazar mengangkat tabung gas (Liputan6.com/Rino Abonita)

Liputan6.com, Aceh - Rohingya yang dinyatakan sebagai etnis minoritas paling “teraniaya” di dunia oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menempati Myanmar selama berabad-abad.

Namun, sejak Myanmar merdeka dari Inggris pada akhir 1940-an, perlahan mereka mulai disingkirkan.

Myanmar pun mulai memberlakukan sistem apartheid yang menempatkan etnis Rohingya sebagai kelompok nonwarga negara.

Apa yang terjadi bahkan jauh lebih buruk dari segregasi rasial di Afrika Selatan.

Serangkaian agenda pengusiran terhadap etnis Rohingya di Myanmar yang tercatat pernah dilangsungkan yakni Operasi Nagamin pada 1978, Operasi Pyi Thaya pada 1992, hingga yang paling anyar “operasi pembersihan” oleh militer Myanmar pada tahun 2017.

Operasi yang terakhir disebut menciptakan rantai pengungsian secara besar-besaran menuju negara tetangga, yakni Bangladesh.

Human Rights Watch dalam laporan mereka menyebut lebih dari 700.000 penduduk Rohingya di Negara Bagian Rakhine berupaya melarikan diri dari kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida yang dilancarkan oleh militer Myanmar.

Laporan yang sama mengungkap sekitar 600.000 orang Rohingya terkurung di dalam desa dan kamp-kamp kumuh serta hidup di dalam kekangan di Myanmar.

Rumah-rumah dibakar, ribuan keluarga dibunuh dan terpisah dari sanak saudara di tengah masifnya pelanggaran hak asasi manusia, bunyi laporan badan pengungsi dunia UNHCR.

Dibantu oleh Asia Justice And Rights (AJAR), awal Maret silam saya berkesempatan beranjangsana ke Cox’s Bazar, Bangladesh, lumbung pengungsian terbesar di dunia yang menampung satu juta lebih orang Rohingya.

Di kamp 16, waktu menjelang tengah hari dan berdebu ketika satu per satu kisah yang memilukan saya tangkap melalui alat perekam.

Di salah satu sudut ruangan berdinding anyaman bambu dan gelap, ada Rohima Khatun yang melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana helikopter memborbardir rumah penduduk.

Di Myanmar, Rohima dan keluarganya tinggal di Kha Maung Seik, sebuah desa di kotapraja Maungdaw, Negara Bagian Rakhine yang lebih dikenal dengan nama Foira Bazar.

Jumat 25 Agustus 2017 atau beberapa hari setelah perayaan iduladha, Rohima dan keluarganya terpaksa meninggalkan dari Foira Bazar—tanggal tersebut kelak dikekalkan sebagai hari peringatan genosida Rohingya.

“Melihat anak-anak tewas dan orang-orang melarikan diri dari tempat itu, kami pun berpikir bahwa helikopter juga akan menuju ke tempat kami, maka kami pun memutuskan untuk ikut mengungsi,” tutur Rohima.

Mereka tidak sempat membawa apa pun, hanya sehelai baju di badan karena berpikir mereka pasti akan segera kembali ke rumah setelah situasi membaik.

Mereka memutuskan bersembunyi, tetapi mimpi buruk rupanya semakin panjang sewaktu helikopter menjatuhkan mortir ke atas rumah mereka.

Dalam sekelebat mata, Rohima tersadar bahwa ia dan keluarganya kini tengah berlari di jalanan desa dalam perasaan berkecamuk, menghindari sergapan tentara yang telah menyebar di mana-mana.

Rohima lari dengan menyapih dua anaknya, salah satunya masih berupa bayi berusia 20 hari, sementara mereka kekurangan makanan untuk mendukung asupan gizi bayi tersebut.

“Saya biasa memberikan makanan tambahan kepada anak saya, jadi saya sangat menderita,” tutur Rohima.

Di saat yang sama, keluarga Rohima juga mesti membopong kakek dari sebelah ibunya.

Orang tua itu terpaksa digendong oleh menantu laki-laki dan putra dari menantunya secara bergantian.

Setelah ayah Rohima Khatun meninggal, ia dan keluarganya diurus oleh kakeknya.

Karena harus menggendong orang tua yang lumpuh, rombongan itu terkadang terpisah agak jauh dari regu Rohima Khatun berada.

Kesulitan berjalan cepat membuat keberadaan rombongan yang terakhir diketahui oleh pasukan militer Myanmar.

Di atas gunung, terdapat pos-pos militer dengan prajurit senapan runduk yang memantau selama 24 jam penuh.

Salah satu prajurit itu memuntahkan peluru ke arah kakek Rohima.

Amat memilukan karena Rohima dan keluarganya tidak dapat berbuat apa-apa, dan hanya melihat apa yang terjadi dari kejauhan.

Mereka harus menahan diri agar tidak berteriak histeris karena itu akan membuat keberadaan mereka diketahui.

Rombongan Rohima Khatun saat itu telah sampai di seberang, bersembunyi di antara rimbunan hutan di balik pagar kawat berduri yang membatasi Myanmar dan Bangladesh.

Mereka meringkuk ketakutan di dalam persembunyian sembari menahan ledakan emosi.

“Kami dapat melihat tentara-tentara itu, tetapi mereka tidak dapat melihat kami karena kami bersembunyi di dalam hutan. Jika kami meninggalkan tempat itu, maka kami tidak bisa menghadiri pemakamannya [sang kakek], itulah sebabnya kami menunggu sampai tentara-tentara itu pergi,” kisah Rohima.

Setelah merasa situasi telah aman, baru mereka menghampiri jenazahnya kemudian menggotong tubuh yang kaku itu hingga mencapai Bangladesh.

Mereka menanam orang tua itu di suatu tempat yang tidak dikenal kemudian mendirikan salat jenazah sebagai upaya terakhir untuk mengenang sang kakek sebelum melanjutkan perjalanan.

Melewati perjalanan beberapa hari, Rohima dan keluarganya akhirnya sampai di sebuah desa dan menginap selama lima hari di sana.

Sempat tidur di atas tanah terbuka, Rohima dan keluarganya diberi makanan serta pakaian oleh penduduk setempat sebelum diberitahu mengenai adanya kamp pengungsian di Kutupalong.

 

Simak Video Pilihan Ini:


Momok yang Menghantui Kamp

Suasana Kamp 14 Kutupalong, Cox's Bazar (Liputan6.com/Rino Abonita)

Sementara itu, Rofika, 19 tahun, seorang perempuan yang kini tinggal di kamp 16 di Kutupalong, Cox’s Bazar, bercerita bahwa dalam upaya pelarian pada 2017, pasukan militer Myanmar menembak kaki ayahnya, memaksa orang tua itu berjalan dengan bantuan penyangga atau kruk hingga saat ini.

“Mereka menembak pada malam hari sebelum Magrib, saat hari mulai gelap,” cerita Rofika.

Ia merupakan gadis berumur 13 tahun yang mencari perlindungan ke Bangladesh bersama ratusan keluarga lainnya ketika ayahnya ditembak di tengah areal persawahan.

Mereka berteriak histeris, tetapi tidak dapat berbuat apa pun kecuali memeluk dan membopongnya dengan bantuan penduduk setempat. 

Ayah Rofika ditandu ke sebuah desa bernama Fathia, di Myanmar, sebelum tiba di Bangladesh.

Hari mencekam yang meledak pada Agustus 2017 juga dialami oleh Shohida, berasal dari Desa Narain Chaung, Kota Buthidaung, yang merupakan bagian dari Negara Bagian Rakhine, Myanmar.

“Kami menginap satu malam di rumah setelah serangan dimulai. Keesokan harinya kami keluar rumah ketika mereka menembak lebih banyak. Tembakan itu tidak mengenai kami, tetapi kami hampir tidak mendengar suara karena ada barak di dekat kami. Jadi kami meninggalkan rumah dan pindah ke desa lain di mana kami tinggal selama empat malam untuk melihat bagaimana situasinya,” tutur Shohida.

Asap membubung tinggi di segenap penjuru pertanda rumah penduduk mulai dibakar, sementara Shohida bersama ibu dan saudara-saudaranya, secara bergantian menggendong nenek mereka yang buta demi mencari desa yang kemungkinan masih bisa ditempati selama pelarian.

Melewati perjalanan berat sepanjang 14 hari hingga mencapai Bangladesh, rombongan itu banyak melihat ceceran darah dan mayat tergeletak di areal persawahan.

Sempat menyeberangi sungai, Shohida dan keluarganya tiba di Bangladesh pada 12 September 2017 dan sempat menginap selama dua hari di desa terdekat sebelum menuju ke kamp pengungsian di Kutupalong.

Mereka sempat tinggal di kamp pengungsi di Balukhali selama lebih kurang enam bulan sebelum dipindahkan.

Kamp Balukhali bertetangga dengan kamp Kutupalong, pada Maret 2021 dilanda kebakaran masif yang menghancurkan sejumlah infrastruktur hingga menewaskan belasan orang.

Kamp Kutupalong terbagi atas beberapa unit kamp serta blok-data Komisi Bantuan dan Repatriasi Pengungsi Bangladesh tahun 2020 menyebutkan bahwa kamp Kutupalong terdiri dari Kamp 1E, 1W, 2E, 2W, 3, 4, 4 Extension, 5, 6, 7, 8E, 8W, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 20 Extension.

Setelah terjadi peningkatan pengungsi dari Myanmar pada 2017, kamp itu diisi oleh hampir satu juta pengungsi dengan luas areal lahan mencapai 13 kilometer persegi.

Salah satu kamp di Balukhali, yang merupakan kamp yang sempat ditempati oleh Shohida dilanda kebakaran dahsyat pada 5 Maret 2023 dan menyebabkan 5000 pengungsi kehilangan tempat tinggal.

Sebuah laporan menyebut sekitar 2.800 rumah serta 155 fasilitas seperti klinik kesehatan, sekolah, dan pusat kegiatan komunitas hangus bersama kebakaran yang berlangsung selama tiga jam itu.

Kebakaran kembali terjadi pada 7 Januari 2024, menghanguskan Kamp 5, salah satu dari 33 kamp yang ada di Cox’s Bazar.

Ada kekhawatiran bahwa kebakaran-kebakaran ini terjadi karena disengaja, apalagi investigasi otoritas setempat mengungkap adanya “sabotase terencana” yang diciptakan oleh geng bersenjata yang terlibat perebutan teritorial.

Kendati tidak secara spesifik menyebutkan kelompok mana yang bertikai, tetapi kebakaran pada 5 Maret 2023 itu secara kebetulan terjadi dua minggu setelah terjadinya pertempuran antara Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) dengan Rohingya Solidarity Organisation (RSO).

Perang antargeng ini berdampak pada pengungsi, membuat mereka hidup di ambang ketakutan terutama menjelang malam hari.

“Sekarang kami memang dalam keadaan damai, tetapi kami berada dalam masalah baru karena kami tidak tahu kapan dan siapa yang akan datang untuk membakar kamp-kamp kami. Jadi kami sebenarnya tidak aman di sini.

Kami takut jika malam hari tiba, suara tembakan itu terdengar sampai ke kamp 16. Kami tidak bisa tidur mulai jam 6 sore karena suara tembakan itu membuat kami takut,” Rofika terdengar khawatir, dalam wawancara awal Maret silam di Cox’s Bazar.

“Kami takut tembakan itu akan mengenai kami,” lagi-lagi hal itu ditegaskan oleh Rofika.

Rofika sempat mendengar cerita bahwa seorang perempuan di kamp 15, Jamtoli, tewas akibat terkena tembakan saat hendak bangkit dari tempat tidurnya.

Rofika yakin bahwa peluru yang melesat secara tidak sengaja mengenai perempuan malang itu ketika dua kelompok sedang bertempur di kawasan itu.

Menurut Rofika, kedua kelompok bersenjata yang dimaksud itu merupakan Harakah al-Yaqin atau ARSA (Arakan Rohingya Salvation Army) dan Rohingya Solidarity Organisation (RSO).

“Siang malam kedua kelompok ini [ARSA vs RSO] saling bertempur dan saling bunuh satu sama lain. Jadi saat mereka saling menembak itulah wanita tadi tertembak secara tidak sengaja,” sebut Rofika.


Rindu Kampung Halaman

Seorang pengungsi di Kamp 14 Kutupalong, Cox's Bazar menuruni bukit tempat selter pengungsi didirikan (Liputan6.com/Rino Abonita)

Berkuasanya rezim yang mengerdilkan Rohingya pasca 1962 telah menginiasi pembentukan pelbagai kelompok perlawanan.

Seperti Rohingya Independence Force, Rohingya Solidarity Organisation (RSO), Arakan Rohingya Islamic Front, Rohingya Solidarity Alliance, dan Rohingya Patriotic Front hingga yang paling mencuri perhatian belakangan ini, ARSA.

Sementara itu, terdapat tiga kelompok militansi di Myanmar, yakni selain ARSA dan RSO, terdapat AA atau Arakan Army/Arakha Army, sayap militer United League of Arakan (ULA).

Myanmar sendiri telah diwarnai sejumlah pemberontakan untuk pembebasan yang sebagian besarnya berlatar belakang etnis sejak 1948.

Kelompok-kelompok “perlawanan” ini dengan kaki tangannya kadang kala merangsek masuk ke dalam kamp untuk menarik uang sebagai pajak perjuangan dari pengungsi dan melakukan perekrutan dengan target anak muda.

Namun, mereka melancarkan aksinya dengan balutan pemaksaan serta kekerasan sehingga menimbulkan antipati.

Selain itu, kamp pengungsian Cox’s Bazar ternyata juga memiliki musuh alami yang mengintai, yakni bencana alam seperti longsor dan banjir bandang yang memakan korban jiwa.

Dibangun di atas lahan yang sebelumnya merupakan hutan yang sengaja digunduli atau deforestasi, selter di kamp pengungsian tersebar tak merata, berdiri di atas tanah yang landai dan curam yang menyembul di atas tebing dan bukit.

Kebanyakan selter terbuat dari anyaman bambu dengan dinding terpal bahkan sebagian masih berlantaikan tanah liat.

Ketika hujan besar datang kamp akan kebanjiran, sebaliknya panas akan mendera secara tak tertahankan apabila siang terik terjadi.

Kompleksitas masalah di kamp serta munculnya harapan membuat para pengungsi tergoda untuk meninggalkan kamp dengan bantuan penyelundup manusia.

Para penyelundup menjanjikan kehidupan yang lebih baik di luar sana.

Biaya untuk jasa penyelundupan manusia ini mencapai belasan hingga puluhan juta.

Orang-orang pun mulai meninggalkan kamp, keluar dari Cox's Bazar dengan perahu penyelundup.

Namun, perjalanan yang harus mereka lewati adalah sebuah pertaruhan antara hidup dan mati, banyak di antara orang-orang ini yang mati sekarat karena kekurangan makanan dan terpaksa jasadnya harus dilarung ke laut.

Indonesia terutama Aceh jadi salah satu langganan pendaratan bagi kapal-kapal penyelundup manusia Rohingya.

Banyak yang mendarat dalam kondisi memilukan, bahkan belasan dari pengungsi ditemukan sudah menjadi mayat karena kapal yang mereka tumpangi terbalik sebelum mendarat di kawasan barat selatan Aceh pada Maret lalu.

Setelah mendarat di Aceh dan ditempatkan di penampungan sementara masalah lain pun datang.

Hasutan kebencian menyasar pengungsi Rohingya mengayau berbagai platform media sosial. 

Selain dibombardir melalui unggahan netizen, narasi "negatif" yang berseliweran di media sosial berkembang biak melalui media massa melalui judul-judul berita penuh stereotipe.

Aktivis kemanusiaan percaya bahwa gelombang hasutan kebencian ini tidak muncul dengan sendirinya, tetapi ada kekuatan besar yang menggerakkan termasuk juga dugaan adanya pengerahan pendengung atau buzzer.

Indonesia sendiri belum meratifikasi Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi, yang menjadi penyebab tidak adanya mekanisme yang lengkap di tingkat lokal dan pusat dalam penangangan pengungsi di Aceh.

Sebenarnya ada langkah penanganan yang bisa diambil mengikuti Perpres 125/2016 telah diatur mekanisme perlindungan dan penanganan pengungsi tersebut.

Namun, hal yang tak kalah penting ialah adanya upaya untuk mendorong adanya advokasi di tingkat global untuk mengembalikan para pengungsi ke tanah kelahiran mereka di Rakhine.

“Saya akan pergi ke mana pun seandainya saya mendapat kesempatan. Tetapi saya ingat masa lalu, saya sangat merindukan Myanmar karena itu adalah tanah air kami sendiri," ungkap Rohima.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya